Sepulang dari pesantren, berkeluarga dan bermasyarakat, santri juga dituntut untuk bekerja sebagai bentuk tanggung jawab kepada anugerah Allah berupa hidup. Mendialogkan ilmu dengan kehidupan tentu gampang-gampang sulit.
Oleh karena itu, sebelum pulang biasanya pesantren mewajibkan santri untuk mengajar di pesantren dan di luar daerah, bahkan di luar pulau dengan menjadi guru tugas selama minimal satu tahun. Hal ini jauh lebih baik daripada KKN yang notabene agenda tahunan perguruan tinggi.Â
KKN atau pengabdian masyarakat biasanya hanya 30-40 hari dan berkelompok. Tetapi santri datang hanya sendirian atau minimal berdua di daerah asing untuk belajar mengabdi dan melayani masyarakat setidaknya selama 12 purnama.
Tantangan dalam bermasyarakat, bagaimana membangun sinergi antara agama dan negara acap kali membenturkan kaum sarungan untuk kreatif dan inovatif serta fleksibel dalam berpikir dan bertindak. Islam itu satu, mazhabnya banyak. Indonesia itu satu, perbedaan pendapat dan benturan kepentingan penduduknya teramat banyak dan kompleks.
Oleh karena itu, biasanya santri tidak pilih-pilih kerja, tidak melulu mengajar. Kiai juga tidak hanya mendidik santri, tapi juga mata pencaharian. Hal ini jelas berbeda dengan (oknum) ustaz-ustaz TV dan dai-dai musiman yang melulu menganggap dakwah sebagai mata pencaharian. Ujung-ujungnya, jual agama, makan dari agama, dan lalu berpolitik praktis dengan berkendara agama. Ini sangat berbahaya bagi kemanusiaan, keagamaan, dan keindonesiaan tentu saja.
Nah, dalam bekerja, apakah Anda sungguh-sungguh menyukai dan menikmati pekerjaan dan kesibukan Anda selama ini? Adakah sisa-sisa kemalasan purba yang selalu membekap Anda setiap kali hendak berangkat beraktivitas? Ataukah pekerjaan Anda---setelah dipikir-pikir, itu pun kalau tidak salah dan sesat pikir---sedemikian menyiksa hingga Anda dapati diri Anda seolah menjadi mesin nan ringkih? Masih adakah produktifitas di sisa usia Anda kini?
Sesekali bacalah buku Self-esteem and Peak Performance-nya Jack Canfield, juga Life with Passion-nya Les Brown, atau bahkan The Joy of Working-nya Denis Withly. Saya menemukan buku-buku itu di perpustakaan kiai saya sewaktu di pesantren. Tanpa pikir panjang, saya memberanikan diri untuk meminjam dan lalu melahap habis seluruh isinya.
Secara umum, hasilnya sangat mengerikan dan mencengangkan. Ternyata lebih dari 90% penduduk planet bumi ini membenci pekerjaan dan rutinitas mereka. Ada puluhan apa, ratusan mengapa, dan ribuan bagaimana yang berhamburan dari fakta-fakta riset dalam buku-buku tersebut. Tetapi, inilah hidup yang Anda jalani. Jika pun Anda enggan menjalani dan melalui, maka kehidupanlah yang justru akan melalui Anda. Konsekuensi logisnya, Anda akan terus-menerus ditindas dan digilas.
Hidup bukan tentang apa dan siapa serta deretan fakta di luar sana. Hidup (sepenuhnya) adalah tentang diri Anda sendiri. Anda boleh berpretensi dan berteori yang paling teori soal hidup:Â
hidup adalah proses,
hidup adalah perjuangan,Â
hidup adalah pengorbanan,Â
hidup adalah pertarungan,Â
hidup adalah ujian,Â
hidup adalah kebahagiaan,Â
hidup adalah anugerah,Â
hidup adalah berbagi,Â
hidup adalah bersyukur,Â
hidup adalah menipu dan menebar kepalsuan,Â
hidup adalah menindas sebelum ditindas,Â
hidup adalah pura-pura,Â
hidup adalah permainan dan senda gurau,Â
hidup adalah menjual agama dan mengebiri moralitas,Â
hidup adalah melarikan diri dari kematian,Â
hidup adalah mengada bersama-sama,Â
hidup adalah...(teruskan sendiri).
Apa pun itu, hidup adalah tentang diri Anda sendiri, bukan tentang orang lain---life is you, it's all about you.
Tetapi faktanya, masing-masing manusia terjebak pada kubangan faktisitas dan (lalu) aktivitas. Anda kerap mengeluh,Â
"Saya bosan menjadi buruh, saya diperbudak pekerjaan, sampai kapan saya menjadi karyawan dan bawahan, kalau terus-terusan menjadi guru dan tenaga kesehatan honorer bisa mati muda?"
Nah, jika Anda mencintai apa yang Anda lakukan, jika Anda mencintai tugas-tugas dan kewajiban, Anda tidak perlu bekerja pada siapa pun sepanjang hidup Anda.Â
Orang-orang bahagia tidak menunggu dan berhitung apa yang akan terjadi, mereka hanya berfokus memberikan penghargaan pada dirinya (self-esteem) dengan memuliakan orang lain sebagai manusia.Â
Maka, sangat jauh dari keliru jika Kiai selalu mengingatkan para santri bahwa "dia yang melayani orang lain dengan kebaikan, telah melayani dirinya sendiri."
Artikel ini dinukil dari cetakan kedua buku Peradaban Sarung buah-pena Ach. Dhofir Zuhry halaman 248-251. Buku ini sudah diterbitkan oleh penerbit Elex Media Komputindo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H