Mohon tunggu...
Sukma
Sukma Mohon Tunggu... Freelancer - Membaca dan menulis akan membuka pikiran

Awali dengan mimpi, mulailah dengan tindakan, iringi dengan doa dan keyakinan, nikmati segala prosesnya, syukuri segala hasilnya,

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tantangan Berat Nadiem Makarim dalam Membangun Pendidikan Nasional

21 November 2019   05:45 Diperbarui: 21 November 2019   23:25 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari akun instagram @nadimmakarim_

Indonesia telah memiliki menteri pendidikan dan kebudayaan baru untuk masa pemerintahan periode kedua presiden Jokowi. Ia adalah Nadiem anwar makarims, sosok menteri muda yang baru berusia 35 tahun. Penyandang gelar Master Business of Administration (MBA) dari Harvard University ini adalah pendiri salah satu Unicorn terbesar di Indonesia saat ini yaitu Go jek yang ia dirikan pada tahun 2011 lalu. Tahun 2019 ini, Nadiem dipercaya presiden Jokowi untuk menjabat sebagai mentri pendidikan dan kebudayaan untuk 5 tahun ke depan. 

Nadiem sendiri tidak main-main dengan amanah besar yang dipercayakan presiden kepadanya. Pada 100 hari kerjanya ia menjanjikan akan membuat perubahan system belajar berbasis aplikasi. Ini merupakan sebuah ide besar dalam menghadapi revolusi 4.0 di bidang pendidikan.

Namun tantangan Nadiem sebenarnya bukanlah itu, bagi Nadiem dalam membangun pendidikan nasional melainkan pemerataan pendidikan bagi seluruh wilayah Indonesia. Presiden telah mengingatkan Nadiem agar tak hanya berfokus pada pendidikan di pulau jawa saja, ataupun kota-kota besar, melainkan juga untuk pendidikan di daerah pelosok dan pedalaman di seluruh wilayah Indonesia. 

Presiden berharap besar pada Nadiem agar mampu mengurangi kesenjangan yang sangat jauh antara pendidikan di perkotaan dengan pendidikan di daerah pedalaman negeri ini. Selain itu presiden Jokowi juga berharap Nadiem mampu membuat terobosan baru untuk meningkatkan kualitas SDM secara signifikan.

Pendidikan kita masih jauh tertinggal dari Negara maju, Negara kita di bidang pendidikan setidaknya membutuhkan waktu 128 tahun untuk menyamakan diri dengan pendidikan di Negara maju seperti yang pernah dinyatakan Prof. Lant Pritchett dari Harvard University. 

Ironi memang, tapi itulah keadaan kita saat ini, pendidikan kita belum merata di setiap daerah, kualitas sarana dan pra sarana pendidikan kita masih rendah terutama di wilayah pedalaman. 

Wajah pendidikan kita saat ini terlihat begitu senjang antara kota-kota besar dengan daerah pedalaman. Inilah tantangan berat sesungguhanya Nadiem makarim dalam membangun pendidikan nasional.

Tantangan Nadiem di jenjang pendidikan tinggi adalah meningkatkan daya saing pendidikan tinggi kita dengan Negara lain di dunia. Universitas kita di Indonesia saat ini memang dapat bersaing dengan universitas lain di dunia, menurut data www.topuniversities.com, Universitas Indonesia (UI) berada di peringkat 296 dunia dan 57 Asia, atau juga Universitas Gadjah Mada (UGMI yang berada di peringkat 320 dunia dan 74 Asia. 

Namun jika dibandingkan dengan pendidikan tinggi di Singapura, kita masih kalah jauh. Menurut sumber yang sama National University of Singapura (NUS) berada di peringkat 11 Dunia dan Nanyang Technological University (NTU) Singapura di peringkat 12 dunia. 

Beda jauh memang dengan Universitas ternama yang kita miliki. Dunia perguruan tinggi saat ini tengah menanti terobosan baru apa yang akan diciptakan Nadiem untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi.

Tantangan yang jauh lebih berat di pundak Nadiem adalah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah kita yang jauh tertinggal saat ini. Masih tingginya angka tidak sekolah dan angka putus sekolah di daerah, terutama daerah timur menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita masih sangat rendah. Minat baca kita pun di Indonesia masih termasuk yang rendah, 

Program for International Student Assessment (PISA) mencatat tahun 2015 tingkat literasi baca kita di Indonesia berada pada urutan ke 62 dari 70 Negara yang di survey. Posisi tersebut cukup rendah bagi Negara sebesar Indonesia.

Potret akses pendidikan kita yang tertinggal terlihat jelas di daerah pedalaman. Bagi kita yang tinggal di daerah perkotaan, kita dapat mengakses kualitas pendidikan yang baik, bahkan kita bisa memilih di sekolah mana kita akan memberikan pendidikan untuk anak-anak kita, kita bisa membandingkan kualitas antar sekolah untuk memilih fasilitas dan kualitas pendidikan terbaik, tapi kondisi berbeda 1800 ada di daerah pelosok dan pedalaman. 

Jangankan memilih sekolah dengan fasilitas dan kualitas pendidikan terbaik, ada satu sekolah saja di sana itu sudah patut di syukuri. Dengan segala keterbatasannya, ada yang kondisi sekolah sangat tidak layak tapi masih digunakan untuk belajar, ada ruang kelas yang terbatas, sehingga satu ruang kelas digunakan untuk beberapa kelas secara bergantian.

Di Provinsi Sumatera barat ini, kita bisa melihat kondisi pendidikan di salah satu daerah pedalaman di Kabupaten Solok, tepatnya di Jorong Sariak Laweh, Nagari Tanjung balik Sumiso. Terletak di tengah kawasan hutan lindung, akses jalan kesana sangat tidak layak dilalui, apalagi jika sudah memasuki musim hujan, jalan bahkan tidak bisa dilalui sama sekali. 

Dengan kondisi yang demikian bagaimana kita bisa membangun pendidikan yang berkualitas. Guru yang mengajar berjumlah terbatas, sehingga pembelajaran dilakukan secara bergantian, jika satu kelas tengah belajar, maka kelas lain harus menunggu waktu untuk belajar dengan guru yang sama. 

Padahal pada saat yang sama banyak guru di kota yang kekurangan jam mengajar, belum lagi status guru yang honorer dengan gaji yang tidak seberapa, biaya untuk kesana saja belum tentu mampu ditutupi oleh gaji honor tersebut. Memiliki pendidikan yang berkualitas layaknya seperti Kota Padang saja seolah menjadi mimpi disana. 

Potret wilayah timur dan perbatasan lebih buruk lagi, ada sekolah yang dengan satu ruang kelas saja untuk belajar beberapa kelas, ada juga sekolah yang terbuka dan tidak memiliki dinding sama sekali, ada sekolah yang tidak memiliki guru sama sekali, atau satu guru yang harus mengajar banyak kelas tanpa di gaji atau juga kondisi anak seumuran siswa SMA baru menyeleseikan pendidikan SD. 

Akses untuk mendapat pendidikan yang layak saja begitu sulit di daerah pedalaman, bagaimana kita bisa mengejar status Negara maju dengan pendidikan yang masih sangat senjang antar daerah.

Tantangan Nadiem lainnya adalah peningkatan kompetensi guru. Kualitas guru masih menjadi masalah saat ini, hasil uji kompetensi guru (UKG) secara nasional mendapat nilai rata-rata 53 dari nilai 100. 

Kondisi di wilayah kota tentu lebih baik dari pedalaman, kebanyakan wilayah pedalaman dan pelosok negeri dilayani oleh para guru honorer dengan gaji yang tak seberapa dan latar belakang pendidikan yang terbatas, sedangkan guru-guru yang berkualitas lebih memilih mengajar di kota setelah berstatus ASN, akses kehidupan yang masih tertinggal di wilayah pedalaman membuat para guru lebih memilih mengajar di kota.

Jika kita melihat guru yang mengabdi di pedalaman, itulah guru-guru luar biasa yang tulus mengabdi untuk negeri dengan segala keterbatasan untuk bertahan hidup. Para guru tersebut mengajar dengan tantangan tingkat buta huruf yang tinggi dan kesadaran tentang pentingnya untuk sekolah yang masih rendah. 

Kita juga harus ketahui bersama, masih banyak penduduk kita di daerah pedalaman yang memandang pendidikan bukanlah sebagai sesuatu yang sangat penting, jadi tak heran angka putus sekolah dan anak tidak bersekolah masih tinggi di daerah pedalaman. 

Tantangan berat bagi Nadiem dalam melakukan peningkatan kompetensi guru terutama di pedalaman dan pemerataan penyebaran guru mengajar bagi setiap sekolah, agar tidak terjadi lagi peristiwa sekolah yang tidak memiliki guru sama sekali atau mengalami kekurangan guru untuk mengajar.

Mengejar pembangunan pendidikan yang berkualitas di Indonesia secara merata tidak bisa dilakukan secara instan oleh. Nadiem membutuhkan dukungan pemerataan pembangunan di berbagai bidang terutama infrastruktur dan ekonomi untuk mengejar kesenjangan pendidikan ini. 

Walaupun UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, anggaran pendidikan 20% baik dari APBD maupun APBN, namun anggaran tersebut tidak akan berdampak langsung bagi pendidikan di pedalaman jika sector pendukung pendidikan seperti ekonomi dan infrastruktur tidak diperbaiki. Belum lagi penggunaan anggaran tersebut yang tidak langsung focus pada pemerataan pendidikan. 

Pendidikan yang berkualitas di pelosok seolah hanya menjadi mimpi dan angan yang melayang di angkasa. Butuh waktu panjang dengan usaha yang serius dan konsisten penuh komitmen dari para pemangku kekuasaan untuk mewujudkannya.

Tantangan berat memang bagi Nadiem ditengah tingginya ekspetasi masyarakat luas pada dirinya untuk mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional. 

Kiprah Nadiem sebagi Mendikbud telah dimulai, tberdasarkan APBN 2020, setidaknya ia memiliki modal anggaran 500 triliun rupiah yang bisa dimanfaatkan dalam mengimplementaikan strateginya untuk membangun pendidikan nasional. 

Menarik kita tunggu seperti apa strategi yang akan dilakukan seorang Nadiem anwar makarim dalam mengejar kesenjangan pendidikan antara daerah pedalaman dengan kota, dan antara Negara kita dengan Negara maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun