Mohon tunggu...
Leony Sondang Suryani
Leony Sondang Suryani Mohon Tunggu... -

Leony Sondang Suryani, hanya anak bangsa biasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demi Tuhan, Demi Negara, atau Demi Keegoisan Semata ?

16 November 2016   22:52 Diperbarui: 16 November 2016   23:16 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Bukan saja bangsa Indonesia yang ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih; yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw.; orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!" (Ir. Soekarno, pada pidato 1 Juni 1945, mengenai prinsip Ketuhanan)

Masih segar diingatan kita bersama, ketika 30.000 lebih demonstran turun ke jalan untuk bergabung dalam aksi unjuk rasa nasional di depan Istana Negara besok terkait dengan dugaan penistaan agama oleh calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Yang mana inti dari aksi tersebut adalah bertujuan mendesak polisi menuntaskan perkara dugaan penistaan agama oleh Ahok. Massa meminta Ahok dihukum karena dianggap telah menistakan agama ketika mengutip Surat Al-Maidah dalam kunjungan ke Kepulauan Seribu, September lalu. Di satu sisi, mungkin para pejuang reformasi harus berbahagia melihat kenyataan di masa kini bahwa salah satu cita-cita reformasi yaitu adanya kemerdekaan berserikat,berkumpul dan mengeluarkan pendapat yg diatur dalam pasal 28E ayat 3 pasca amandemen ke-2 UUD NRI 1945 telah terwujud secara nyata lewat berbagai aksi demo yg terjadi hingga saat ini. Setidaknya bangsa kita telah berhasil maju beberapa langkah dalam mewujudkan kebebasan berpendapat yang mau tidak mau harus kita syukuri bersama.

Setidaknya di satu sisi, ketika media heboh memberitakan demo tersebut, ketika masyarakat sibuk menuliskan opini tentang demonstrasi tersebut dan mengaitkannya dengan agama di media sosial, tanpa ingin menduga yang tidak-tidak, saya berusaha untuk melihat dari sisi keberhasilan masyarakat dalam mewujudkan kebebasan berpendapat tersebut. Hingga tibalah hari ini, ketika saya berobat ke Puskesmas pagi tadi, dan tanpa sengaja mata saya teralihkan kepada berita di televisi dimana hari ini, Gubernur Basuki Tjahja Purnama yang didemo minggu lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama. Sehingga ini menunjukkan bahwa tuntutan demo minggu lalu ternyata sudah ya 25% terpenuhi mungkin? Bagaimanapun juga penetapan Basuki Tjahja Purnama sebagai tersangka adalah suatu bukti bahwa pihak kepolisian serius dalam upaya penegakkan hukum bukan?

Namun beberapa jam setelah itu, ternyata saya harus tertawa miris, ketika berbagai media kemudian memberitakan terkait statement "suatu lembaga yang mengayomi suatu kaum" pasca penetapan Ahok sebagai tersangka, lembaga tersebut menyarankan agar Ahok mundur dari pencalonan. :)))

Setidaknya dalam hal ini saya mencermati 2 hal yang menarik untuk dibahas. Pertama, kedudukkan lembaga tersebut dan kaitannya dengan pilkada DKI hingga begitu bersemangatnya campur tangan, dan yang kedua adalah kaitan antara statament kaum-kaum yang mendukung aksi ini sebelum unjuk rasa minggu lalu yang menyatakan bahwa unjuk rasa ini murni sebagai aksi untuk membela agama dan kitab suci yang telah dihina oleh orang kafir serta suatu kenyataan saat ini yang terwakili lewat pernyataan lembaga besar tadi agar Ahok mengundurkan diri dari pencalonan.

Pertama, menjadi suatu pertanyaan besar bagi saya atau mungkin bagi banyak orang di negara ini, mengapa pilkada DKI Jakarta menjadi sasaran empuk dari berbagai pihak serta menimbulkan berbagai kontroversi.  Saya bahkan belum memahami korelasi antara kedudukan lembaga, organisasi keagamaan tersebut dengan pilkada kali ini. Mengapa ? Bagi saya, seharusnya lembaga dan organisasi yang menjadi wadah dari aspirasi masyarakat terkait agama, seharusnya terbebas dari urusan-urusan politik dan seharusnya pula urusan-urusan seperti ini terbebas dari urusan-urusan keagamaan. 

Mengapa demikian ? Perlu kita sadari dan kita pegang teguh, bahwa kita berada pada negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman yang kemudian tertuang dalam nilai-nilai Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara kita. Karena bagaimanapun juga Pancasila yang kita agung-agungkan tersebut sejatinya merupakan suatu jaminan bagi setiap golongan untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang terbebas dari kepentingan satu golongan saja. 

Pun, ketika kemudian organisasi dan lembaga bahkan segelintir orang tersebut mengaitkan keterlibatan mereka dengan berlindung pada statement "Membela agama dan kitab suci yang dihina oleh si kafir Ahok" sebagaimana menjadi pokok pikiran saya yang kedua, justru hal ini terpatahkan dengan sendirinya ketika si lembaga besar tersebut mengeluarkan statement agar Ahok mundur dari pencalonan. Atau secara sederhana dapat saya katakan, sebenarnya apa motivasi dibalik unjuk rasa ini ? Tuhan, kitab suci, atau kepentinganmu ? Bukankah yang begitu semangatnya mendukung aksi ini lah yang kemudian membuka topengnya sendiri dan memperlihatkan koreng yang selama ini disembunyikan di balik topeng tersebut ? :)

Kemudian mari kita layangkan sejenak ingatan kita kepada kasus bom yang terjadi di suatu gereja di Samarinda, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berlindung di balik nama agama untuk menyerang sekelompok orang dari agama lain yang sedang beribadah dan kemudian kejadian ini mengakibatkan matinya seorang balita dan terlukanya beberapa anak lainnya. Yang kemudian diketahui, bahwa aksi ini dilakukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam jaringan bernama JAT (Jamaah Anshorut Tauhid).

 Tidak kawan, saya tidak sedang menyudutkan siapa-siapa, tidak sedang berpikiran negatif atau berusaha mempengaruhimu untuk mengaitkan hal ini dengan unjuk rasa di atas. Tapi di sini saya sedang membawa 2 contoh masalah yang terjadi di bangsa ini, yang dipelopori orang-orang tak bertanggungjawab yang dengan semena-mena menjadikan agama sebagai topeng dan senjata untuk menyerang orang lain, untuk menyakiti orang lain, juga untuk memperoleh apa yang menjadi kepentingan dan keegoisan pribadi. Justru di sini saya ingin mengajak siapa pun yang membaca tulisan ini untuk membuka mata dan melihat, betapa mengerikannya keadaan bangsa kita. 

Begitu pedihnya ketika kita melihat agama yang seharusnya menjadi jalan dan upaya yang membawa kita kepada kebaikan dan mendekatkan diri kita kepada Tuhan yang kita percayai masing-masing kemudian harus ternodai oleh kelakuan-kelakuan mereka yang mencampuradukkan agama dengan kepentingan mereka, dengan kehidupan politik, dengan kehidupan bernegara. Yang mana hal ini saya tegaskan, justru merupakan upaya mematikan semangat persatuan, ah tidak, mungkin lebih tepatnya mematikan Pancasila itu sendiri. Bahkan bisa saya katakan, justru yang menghina agama dan ajaran kitab suci itu sejatinya orang-orang tidak bertanggung jawab ini yang menjadikan agama sebagai topeng. Miris bukan ?

Ada suatu hal yang melintas di pikiran saya ketika melihat maraknya permasalahan yang melibatkan orang-orang yang berusaha mencampuradukkan urusan agama dengan kehidupan berbangsa bernegara, bahwa demokrasi yg ada saat ini ternyata adalah demokrasi yang kebablasan. Mengapa demikian ? Karena ternyata, demokrasi kini mulai tidak mengacu dan bahkan menggeser nilai-nilai Pancasila itu sendiri yg seharusnya menjadi roh utama dlm kehidupan negara yg demokratis.  

Seringkali manusia membungkus kepentingan diri dan golongan dgn sebuah topeng indah bernama agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan saya yakini, selama pemikiran-pemikiran sempit oknum-oknum ini tidak diberantas dan terus dikembangkan, permasalahan ini pasti akan terus menerus terjadi. Permasalahan  dengan mengatasnamakan agama tentunya tidak akan pernah selesai dan justru menjadi senjata utama yang menghancurkan bangsa ini.  Padahal, negara kita adalah negara Pancasila, yang kemudian menjadi landasan lahirnya konsep  religious-nation state yang merupakan buah pikir Prof.Mahfud MD. Dimana beliau pernah berpendapat bahwa "Negara Indonesia bukanlah negara sekuler namun bukan pula negara agama.. 

Namun negara Indonesia adl negara Pancasila dgn paham Religious Nation–State atau negara yang berke-Tuhan-an yg merupakan pilar kebangsaan yang sesuai dengan Republik Indonesia yang bersifat plural, majemuk dan multikultural." Yang mana Prof. Mahfud MD juga menegaskan bahwa Pancasila yang digali oleh para Founding Fathers (Bapak Pendiri Bangsa) negara RI merupakan State Fundamental Norm atau Norma Fundamental Negara yang sangat sesuai dengan corak dan sifat RI sebagai sebuah Religious Nation-State. “Pancasila mengandung nilai-nilai dasar Negara Republik Indonesia seperti Ke-Tuhan-an, Keadilan Sosial, Persatuan atau Gotong Royong, Toleransi dan Kemanusiaan sehingga rakyat Indonesia yang berbeda-beda ini dapat bekerja di dalam kerangka visi yang sama. 

Artinya, dalam hal ini Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika atau United in Diversity tersebut merupakan salah satu pilar kebangsaan Indonesia yang mengakui fakta adanya berbagai macam identitas yang berbeda-beda diantara bangsa Indonesia sekaligus suatu jaminan eksistesi dan keberlangsungan berbagai macam identitas tersebut untuk hidup dan tumbuh berkembang di Indonesia. Maka dari hal ini dapat kita tarik benang merah, bahwa seharusnya dalam kehidupan bukan nilai 1 agama yang kita jadikan acuan, tidak bisa pula kita paksakan apa yang kita percayai menjadi satu-satunya pilar yang menopang bangsa ini. Namun seharusnya untuk menjadi suatu bangsa yang besar, untuk menghindari adanya perpecahan dalam suatu bangsa, maka hargai lah perbedaan-perbedaan tersebut sebagai identitas dari bangsa dan justru perbedaan-perbedaan itulah yang menjadi perekat kita sebagai satu bangsa dan menjadi pilar-pilar dalam kehidupan demokrasi kita.  

Sebagaimana pendapat dari Ir. Soekarno, founding people Bangsa Indonesia yang menyatakan "Demokrasi yang harus kita jalankan adlaah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan rakyat itu"

Mari saudara sebangsa dan setanah airku, kita rekatkan kembali perbedaan-perbedaan yang indah itu, sebab untuk menjawab tantangan dan permasalahan sejatinya tidak ada langkah yang lebih baik dibanding menyadarkan diri kita sendiri pentingnya mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam diri kita, diri bangsa Indonesia sebagai suatu langkah agar bangsa kita tetap menjadi bangsa yang besar.

"Nasionalisme tidak hanya bersandar pada apa yang bisa kita lawan, melainkan juga pada apa yang bisa kita tawarkan. Nasionalisme sejati haruslah berarti bukan sekadar mempertahankan, melainkan juga memperbaiki kedaan negeri. " , "Indonesia telah memiliki prinsip dan praktik multikultural yang kuat secara politik maupun secara sosial. Semangat persatuan dalam keragaman terpatri dalam semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Inilah modal penting bagi bangsa ini, yang harus terus dirawat dan dikembangkan secara positif dan progresif." -Yudi Latif, Mata Air Keteladanan-

Salam,

Leony Panjaitan, hanya anak bangsa yang resah dan gelisah melihat tipisnya semangat persatuan bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun