GADUH “PUTIH” & “HITAM” DI FREEPORT
Kepretan berikutnya adalah tentang perpanjangan kontrak Freeport. Si Rajawali tukang kepret menuding, bahwa menteri ESDM sudah keblinger. Gelanggang publik pun menjadi gaduh, tapi yang berwarna putih karena berpihak kepada rakyat dan bangsa. Melalui upaya pengajuan perubahan suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang memungkinkan seluruh perusahaan tambang, termasuk Freeport, ia berusaha untuk mempercepat proses perpanjangan kontrak-kontrak tambang di negeri ini. Dengan tanpa berdosa pula, si menteri ESDM menyurati para pimpinan Freeport tentang upayanya mengubah PP ini.
Kasus ini (kisah dibalik perpanjangan kontrak Freeport) mengingatkan kita ke tahun 1991, saat menteri ESDM kala itu, Ginandjar Kartasasmita, mempercepat perpanjangan kontrak Freeport yang akhirnya menghasilkan Kontrak Karya (KK) Jilid 2. Dalam kasus perpanjangan kontrak Freeport saat ini, untungnya surat-surat si menteri ESDM tersebar luas ke publik, sehingga publik menjadi sadar betapa bermental inlandernya pejabat kita. Si menteri ESDM dan timya pun sempat membela diri beberapa saat, menyerang si Rajawali secara terbuka dalam berbagai aspek, hingga kesalahan penyebutan satuan cadangan emas (troy onz disebut ton) yang memang selip dilakukan si Rajawali sempat menjadi bulan-bulannya tim mereka. Meskipun dari tim mereka juga kelimpungan tak bisa menjawab, saat dibongkar bahwa angka 18 milyar dollar AS yang dijanjikan Freeport (juga dikutip oleh menteri ESDM di surat-suratnya) sebagai investasi bila kontraknya diperpanjang tak lebih dari penjumlahan capex yang disisihkan dari revenue penjualan tambang Freeport yang setiap tahunnya berkisar 900an ribu dollar AS sejak 2021 hingga 2041. Lucunya, seorang pejabat yang baru dilantik sebagai Kepala KSP malah sempat menyatakan (sebelum kemudian dicabutnya), bahwa bila investasi Freeport yang 18 milyar dollar AS tersebut batal maka 25% APBN akan jebol (!!??).
Lapisan lain dari tim mereka yang lebih senior, seorang ekonom mantan Gubernur BI, bahkan sampai tega memvonis bahwa kontrak Freeport harus diperpanjang karena Bangsa Indonesia tidak memiliki kemampuan finansial dan teknis untuk menjalankan tambang di Timika ini. Betapa para pemuja ideologi neoliberal, yang melanggengkan nekolim di Dunia Ketiga, sudah menampakkan dirinya mendukung si menteri ESDM. Sampai akhirnya Presiden Jokowi sendiri yang secara tegas menyatakan bahwa “tidak ada perubahan PP-PP-an” untuk mempercepat perpanjangan kontrak Freeport, sehingga waktu untuk negosiasi perpanjangan tetap di tahun 2019 sesuai UU yang berlaku. Perdebatan pun selesai, dan menteri ESDM dan seluruh timnya yang bermazhab neoliberal kehilangan muka.
Namun, ternyata si menteri ESDM tak jadi lama-lama kehilangan muka. Hanya beberapa hari setelahnya, berbekal rekaman dari Presdir Freeport yang diperdengarkan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, yang kemudian sangat heboh (bukan gaduh) di publik sehingga dijuluki sebagai rekaman “Papa Minta Saham”, si menteri ESDM mendapatkan kembali dukungan publik. Seperti diketahui, dalam rekaman tersebut terungkap upaya SN (saat itu pimpinan DPR) dan MRC (pengusaha importir minyak yang dekat keluarga Cendana) menjadi makelar perpanjangan kontrak Freeport dengan barter saham sebesar Freeport 20% dan 51% saham rencana proyek pembangkit listrik di Papua. Apalagi tak lama berselang, dirinya mengembalikan gratifikasi perhiasan berlian senilai Rp 3,9 M ke KPK. Setidaknya jati diri si menteri ESDM yang tidak nasionalis, yang neoliberal, yang inlander, sejenak dilupakan publik (hanya segelintir pengamat kritis dan aktivis yang terus ingatkan hal ini), berganti menjadi si menteri ESDM yang pro terhadap transparansi dan pemberantasan KKN.
Benar memang, bahwa sejak dini, jauh sebelum diangkat menjadi menteri, bersama para tokoh penggiat anti korupsi (yang juga bermazhab neoliberal) dirinya aktif di Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), sebelum akhirnya bergabung di BRR Aceh-Nias (diajak Kuntoro Mangkusubroto), masuk menjadi petinggi di Indika Energy, dan terakhir diangkat menjadi dirut Pindad (kabarnya atas rekomendasi Syafrie Syamsuddin, kakak Presdir Freeport saat ini).
Namun, agar tidak terlalu berlama-lama terbuai dengan maneuver si menteri ESDM, saya menawarkan cara berpikir seperti ini kepada publik. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh si menteri ESDM dalam hal mempercepat perpanjangan kontrak Freeport di tahun 2015 ini secara prinsip tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh pendahulunya sesama menteri ESDM dahulu, Ginandjar Kartasasmita, di tahun 1991.
Bila dahulu Ginandjar atas jasanya mempercepat perpanjangan kontrak Freeport mendapatkan ganjaran saham dari Freeport sebesar 10%, yang “diwakilkannya” ke muridnya yang bernama Aburizal Bakrie/Ical (meskipun separuh saham tersebut dijual kembali ke Freeport tahun 1992, dan separuh sisanya dijual ke Bob Hasan tahun 1997- belakangan di tahun 2002 Bob Hasan menjualnya kembali ke Freeport), belum jelas diketahui apa yang didapat oleh si menteri ESDM dalam upayanya mempercepat perpanjangan kontrak Freeport di 2015. Apakah hanya sekedar kepuasan ideologinya (neoliberal) saja atau ada yang lain? Meskipun yang sudah ketahuan ke publik memang ada upaya dari SN (yang merupakan orang no dua di Partai Golkar setelah Ical) dan MRC, pengusaha yang dibesarkan Cendana dan mendukung kubu politik KMP –yang dimotori oleh Golkar Ical- di Pilpres 2014, mengikuti jejak langkah Ical membantu Ginandjar di tahun 1991. Bedanya, dahulu tahun 1991 para kapitalis rente ini hanya minta 10%, kini tahun 2015 mereka mintanya 20% plus yang lain-lain.
Kembali ke apa yang mungkin didapat oleh si menteri ESDM dengan mempercepat perpanjangan kontrak Freeport di tahun 2015, kita akan sedikit mengubah jalan pemikiran. Karena track recordnya sebagai pejuang anti korupsi, kecil kemungkinan si menteri ESDM menerima barang atau apapun yang menguntungkannya. Jadi kemungkinan besar aksinya ini menguntungkan pihak-pihak di luar dirinya.
Tapi, siapa saja pihak-pihak yang mungkin diuntungkan oleh aksi si menteri ESDM? Jawaban hipotetis saya ada tiga (3) pihak, yang sangat layak diberikan terima kasih setinggi-tinggi olehnya: (Pihak pertama adalah) Keluarga besar Syafri Syamsuddin- yang sudah berjasa membawanya menjadi dirut BUMN Pindad, jabatannya yang menjadikannya selangkah lagi menuju kursi menteri. Yang diberikannya ke keluarga Syafri Syamsuddin sebagai ucapan terima kasih adalah dengan merekomendasikan Freeport untuk mengangkat adik Syafri, Maroef, sebagai Presdir Freeport, yang disetujui oleh Freeport pada bulan Januari 2015 (3 bulan setelah dirinya dilantik sebagai menteri ESDM).
(Pihak kedua adalah) Keluarga besar Indika Energy- yang sudah memberikan kehormatan sebagai petinggi eksekutif perusahaan yang terpandang, selepas dari BRR Aceh-Nias. Beredar kabar bahwa Indika sudah/akan mendapatkan proyek pasokan bahan peledak, pembangkit listrik tenaga air, dll bila kontrak Freeport diperpanjang (http://www.kompasiana.com/mti/buka-dulu-topengmu-sudirman-said-iii_564dcdec717e615707947bea).
(Pihak ketiga adalah) Keluarga besar Wapres JK, yang kemungkinan besar memperjuangkan namanya sebagai menteri ESDM pertama di Kabinet Jokowi. Karena paling berjasa, maka kepada Wapres JK lah kesetiaan tertinggi si menteri ESDM terletak. Upeti yang diterima Wapres JK dari si menteri ESDM akan dijelaskan pada paragraf berikut.
Awalnya, seolah si menteri ESDM ingin menyaingi kepretan-kepretan si Rajawali Maritim dengan menciptakan kegaduhan yang seolah awalnya merupakan “putih” dengan membongkar rekaman Maroef Syamsuddin ke MKD DPR. Dikatakan, dengan upaya ini didukung penuh oleh Wapres JK. Ternyata setelah MKD bersidang dan memutuskan bahwa SN melakukan pelanggaran, dan akhirnya ybs mundur dari Ketua DPR.
Tapi kemudian bola panas politik di DPR malah mengarah ke terbentuknya Pansus Freeport. Bersamaan dengan itu, belum lama ini muncul kesaksian dari seorang politisi Gerindra yang memiliki bukti kunjungan Presiden Komisaris Freeport McMoran (induk Freeport Indonesia) James Moffett ke gedung kantor grup Bosowa untuk menemui adik ipar Wapres JK dan anaknya. Kabarnya pertemuan tersebut terjadi tepat pada saat si menteri ESDM sedang memperjuangkan percepatan perpanjangan kontrak Freeport. Bahkan terdapat kesaksian (yang lebih merupakan spekulasi, sehingga harus diverifikasi lagi), bahwa saat-saat itu juga Wapres JK sendiri secara pribadi sudah menerima kunjungan James Moffett ke rumah dinasnya (!).
Jika di kemudian hari nanati Pansus Freeport terbentuk, dan memang harus kita dorong, dan terbuktilah semua kisah gaduh hitam ini, maka yang dilakukan si menteri ESDM tak lebih dari gaduh hitam. Suatu kegaduhan yang tercipta untuk mempertahankan kekuasaan elit politik dan bisnis dengan jalan KKN serta tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan nasion.
Jika dalam percepatan perpanjangan kontrak Freeport dulu di tahun 1991 ada duet Ginandjar-Ical, maka di tahun 2015 ini ada duet si menteri ESDM-Wapres JK.
Kisah yang sebenarnya terjadi, kabarnya adalah duet si menteri ESDM – Wapres JK sukses menggagalkan upaya SN-MRC rebut saham Freeport. Sementara keluarga Wapres JK, melalui adik iparnya, berhasil memperoleh tawaran 40% saham smelter yang akan dibangun Freeport di Sungai Membramo, Papua, beserta proyek pembangunan PLTA yang menjual listrik untuk smelter tersebut. Sebagai barter untuk mega proyek inilah, Freeport minta diberikan jaminan percepatan perpanjangan kontrak.
Demi kesepakatan besar inilah James Moffett berkepentingan menemui Wapres JK dan adik iparnya, serta yang menjelaskan mengapa si menteri ESDM, yang memang sangat loyal kepada Wapres JK, terburu-buru (pada hari yang sama) membalas surat James Moffett yang meminta kepastian perpanjangan kontrak. Semoga cerita ini kelak terkonfirmasi di Pansus Freeport, dan akhirnya gaduh “hitam” dapat dikalahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H