Mohon tunggu...
Elda Lafrilia Fitovtora
Elda Lafrilia Fitovtora Mohon Tunggu... Lainnya - Coffee Enthu

Nothing makes sense before coffee.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Kesadaran Akan Pentingnya Partisipasi Politik

30 Oktober 2020   17:58 Diperbarui: 30 Oktober 2020   18:01 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah terhitung 1,5 tahun setelah Pemilu terakhir dilaksanakan dan beberapa bulan lagi Pilkada serentak akan dilaksanakan hingga artikel ini diunggah. Pemilu 2019 kemarin pun menjadi pemilihan yang paling menakjubkan di dunia karena hanya dilaksanakan serentak pada satu hari saja dan skalanya yang sangat besar. Pelaksanaannya yang serentak hanya pada satu hari saja pun menjadi sejarah Pemilu yang serentak dilaksanakan pertama di Indonesia. Yang dimaksudkan dengan serentak tersebut ialah ketika rakyat Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota di waktu yang bersamaan.

Namun sayangnya, saat "Pesta Demokrasi" 2019 lalu penulis tidak turut berpartisipasi dan tidak menggunakan hak suara yang mana merupakan hak penduduk untuk memilih. Terdapat beberapa alasan dibalik penulis yang menjadi kaum "golput" disaat waktu yang bersamaan penulis sangat ingin melaksanakan salah satu kewajiban warga negara yaitu diwajibkan untuk mempergunakan hak suara yang telah dipercayakan. Faktor utama penghambat penulis untuk turut serta Pemilu 2019 lalu yaitu karena pemilih yang belum mempunyai E-KTP tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

Sedikit kilas balik ke tahun 2017 yang dimana sedang ramai-ramainya headline berita tentang korupsi E-KTP yang dilakukan oleh mantan Ketua DPR Republik Indonesia tercinta, Bapak Setya Novanto. Penulis merupakan salah satu "korban" dari tindak pidana tersebut, dampak yang masih penulis rasakan hingga saat ini tidak kunjung memiliki E-KTP yang konon tiap kali ditanya kepada yang bersangkutan bahwa blangko E-KTP sedang habis stock.

Atau di lain harinya pihak yang bersangkutan dengan E-KTP mengatakan bahwa punya saya sudah jadi tapi besar kemungkinan hilang entah kemana. Ataupun opsi yang sedikit membantu yaitu penulis harus mengurus ulang sesuai prosedur yang berlaku. Seperti yang kita ketahui bahwa proses mengurus hilangnya dokumen penting seperti KTP lumayan rumit karena harus mengurus beberapa dokumen terlebih dahulu. Terlebih, hilangnya bukan karena kelalaian penulis sendiri.

Faktor penghambat lainnya yang penulis rasakan yaitu mekanisme pengurusan surat pindah TPS sangatlah sulit. Beberapa pengawas TPS menginformasikan kepada penulis bahwa walau hanya menggunakan KTP berbentuk resi tetap bisa mengurus surat pindah pemilih atau formulir A5. Akan tetapi informasi tersebut disampaikan saat hampir tiba waktu pemilihan, sedangkan mekanisme pengurusannya paling lambat sebulan sebelum pelaksanaan atau H-30.

Beberapa pemilih lainnya harus ikut berkecil hati karena ada hal-hal yang tidak dapat diantisipasi hingga tidak ada waktu untuk mengurus surat pindah tersebut, ataupun karena adanya keterlambatan informasi yang diterima. Dengan berat hati penulis harus bersabar untuk berpartisipasi dalam "Pesta Rakyat" berikutnya karena kendala-kendala yang dialami.

Terdapat beberapa faktor penghambat lainnya selain yang penulis alami sendiri, seperti calon pemilih yang dengan sengaja menjadi golput karena apatis politik; informasi soal Pemilu yang terbilang cukup minim; dan pesimisme akan hasil dari penyelenggaraan Pemilu nantinya. Dari beberapa faktor penghambat Pemilu tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa ketidak ikut sertaan pemilih pada Pemilu juga berasal dari faktor internal dan faktor eksternal.

Singkatnya, faktor internal yang dimaksud yaitu faktor yang berasal dari si pemilih itu sendiri seperti memutuskan untuk golput karena apatis dan pesimisme politik ataupun adanya hambatan saat ingin berpartisipasi memilih semacam yang penulis alami sendiri. Dan faktor eksternalnya yakni faktor yang berasal dari pihak penyelenggara itu sendiri seperti informasi terkait Pemilu yang kurang dan beberapa mekanisme untuk pengurusan terkesan sulit ataupun rumit.

Seperti pengertian golongan putih yang kita ketahui, yaitu orang-orang yang bersikap untuk tidak memilih calon yang ditawarkan dalam pemilihan atau Pemilu karena alasan tertentu. Diluar faktor eksternal yang sudah penulis jelaskan tadi, yang menjadi kendala utama yakni kaum golput yang secara sadar tidak ikut serta dalam Pemilu karena adanya apatisme maupun pesimisme terhadap politik.

Pesimisme dan apatisme politik terjadi bukan hanya semata-mata para kaum golput malas untuk berpartisipasi dalam politik. Terdapat penyebab apatisme politik yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dari politik itu sendiri, seperti kecewa terhadap politik yang dialami di masa sebelumnya, kecewa terhadap politisi yang kerap kali mencenderai kepercayaan dari masyarakat, kecewa dan bosan dengan visi misi yang dijanjikan saat kampanye yang tidak kunjung terealisasikan, ataupun menganggap pemilihan bukan hal yang penting karena tidak terlalu berpengaruh atau berdampak langsung pada tiap individu.

Jika disimpulkan dari penyebab pesimisme dan apatisme politik yang telah diutarakan diatas, kemungkinan besar penyebab utama dari sikap tersebut yakni karena adanya kekecewaan akan politik itu sendiri. Dari rasa kecewa akan politik itu menimbulkan skeptis bagi mereka yang golput bahwa sistem politik sesuai dengan visi misi dikala kampanye tersebut tidak aka nada yang mampu mewujudkannya, jika memang terealisasikan pun tidak sepenuhnya sesuai "janji manis" yang diharapkan.

Sikap apatisme politik juga memiliki tingkatan rendah hingga ke tinggi, yang mana jika dibiarkan berlarut-larut pastinya memiliki dampak yang besar. Warga negara yang memilih bersikap apatis dengan politik akan sangat berpengaruh terhadap terciptanya kebijakan pemerintah, karena partisipasi politik dari tiap individu dalam pemilihan merupakan faktor pendukung untuk penetapan kebijakan publik di periode selanjutnya.

Menjadi golput memang bukanlah tindak pidana dan menjadi golput secara hukum bukanlah masalah karena tiap individu memiliki haknya dalam mengutarakan pikiran dan sikapnya. Sesuai dengan Pasal 28 e ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pikiran, sikap, yang sesuai dengan hati nuraninya.

Oleh karena itu, golput juga dianggap sebagai bagian ekspresi politik yang merupakan juga hak tiap warga negara untuk tidak memilih saat pemilihan berlangsung. Pun di dalam pasal UU Pemilu tidak terdapat larangan untuk bersikap golput dengan ancaman pidana. Sehingga para apatisme politik tidak merasakan adanya tekanan untuk wajib memilih saat Pemilu dan merasa haknya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi dalam UUD 1945.

Akan tetapi dengan adanya hak untuk menjadi golput bukan berarti kita harus membenarkan tindakan apatisme maupun pesimisme terhadap politik. Karena satu suara saat pemilihan sangat berpengaruh terhadap penentuan kebijakan di periode selanjutnya. Memberikan hak suara saat pemilihan pun bertujuan untuk membangun bangsa menjadi lebih baik dengan menandakan adanya partisipasi warga negara dalam politik.

Menjadi golput secara sadar merupakan hal yang merugikan untuk diri sendiri karena tidak menggunakan hak yang telah diberikan dan secara tidak sadar kaum golput memberikan potensi manipulasi suara. Karena dengan hak suara yang tidak digunakan memperbesar potensi manipulasi yang bisa saja berpindah ke perolehan suara kandidat secara tidak sah karena bersifat curang.

Oleh karena itu, partisipasi politik dalam pemilu merupakan salah satu bentuk perwujudan dari kesadaran akan politk. Masyarakat harus bisa membangun kesadaran akan politik karena tiap partisipasi yang dilakukan suatu hal yang sangat berpengaruh dalam proses demokrasi. Kesadaran ataupun kemauan tiap individu tidaklah dapat dipaksakan, akan tetapi bukan berarti tidak dapat diusahakan, kesadaran akan politik bisa diusahakan oleh tiap orang untuk menentukan atau menetapkan pilihannya.

Bentuk kesadaran dan  partisipasi politik bukanlah melulu tentang turut serta saat pemilu, bisa saja berupa hal sederhana seperti "membuka mata" dengan informasi politik terkini sembari berdiskusi tentang persoalan politik.

Pentingnya sosialisasi politik dan pendidikan politik sebagai perwujudan atas kesadaran akan politik bagi masyarakat. Konteks sosialisasi dan pendidikan politik tidak hanya melalui lembaga formal seperti pendidikan tetapi dapat melalui unit terkecil seperti keluarga ataupun media massa. Sangat banyak sarana untuk menumbuhkan kesadaran akan partisipasi politik. Jika masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukan perubahan dari sikap apatis dan pesimis terhadap politik dan menjadi bagian dari partisipasi politik, akan ada banyak sarana sosialisasi dan pendidikan politik, mulai dari keluarga, lembaga pendidikan formal maupun nonformal, teman sebaya, media massa, maupun mencoba langsung terjun ke organisasi politik. Semoga semakin banyak masyarakat yang memiliki kesadaran akan politik dan dapat berpartisipasi pada politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun