Mohon tunggu...
Ghazian Al Wafi
Ghazian Al Wafi Mohon Tunggu... -

Another sunny day, and dreamin' far away. Dreaming on my pillow in the morning. Never been awake, I never seen a day break. Leaning on my pillow in the morning light

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Other Side Bupati ke 5 Kab. Banjarnegara, Soemitro Kolopaking

7 Maret 2016   18:53 Diperbarui: 7 Maret 2016   19:09 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Raden Adipati Arya Poerbonegoro Soemitro Kolopaking adalah bupati Kabupaten Banjarnegara ke 5 yang memerintah sejak 1927 sampai 1945, dan pada tahun 1945 terpilih menjadi seorang anggota BPUPKI. Ia adalah anak dari Raden Tumenggung Jayanegara II dengan pangkat "Adipati Arya" yang merupakan keturunan Kanjeng Raden Adipati Dipadiningrat. Sebagai bupati, ia mengalami 3 zaman, yaitu zaman Hindia Belanda, Jepangdan Republik Indonesia. 

Dan menerima sebutan "Gusti Kanjeng Bupati", lalu "Banjarnegara Ken Cho" dan terakhir sebagai "Bapak Bupati". Soemitro Kolopaking lahir di Papringan, Banyumas pada tanggal 14 Juni 1887. Ia mengenyam Sekolah Jawa (1893-1896), ELS (1896-1901), Gymnasium Willem III (1901-1907) dan dilanjut sebagai Mahasiswa Indologi di Leiden (1907-1914). Selama menjadi mahasiswa itu Soemitro melanglang buana ke berbagai negara untuk mencari tambahan dana kuliah.

[caption caption="Raden Adipati Arya Poerbonegoro Soemitro Kolopaking, Sumber : santijehannanda.wordpress.com"][/caption]

Dalam Buku Harry Poeze, “Di Negeri Penjajah”, menyebutkan bahwa Soemitro Kolopaking menentang kehendak ayahnya dengan bersekolah di HBS Batavia. Lalu pada usia 19 tahun (1906) pergi ke melanjutkan belajar ke Eropa menggunakan kapal sebagai penumpang kelas 4 dengan uang hanya f.15. Di Eropa, Soemitro banyak bepergian demi mencari tambahan biaya sekolah. Untuk hidup sehari-hari ia bekerja sebagai perawat domba di Leiden. Ia juga pernah pergi ke Jerman (1908) untuk bekerja menjadi buruh tambang batubara. Kembali ke Hindia Belanda, Soemitro bekerja di pabrik teh dan kina Pandjang Estate di Pangrango, kemudian mengikuti pendidikan komisaris polisi di Batavia. Setelah pendidikan inilah Soemitro mendapatkan tugas sebagai Gewestelijk Leider der Veldpolitie untuk Keresidenan Priangan yang berkedudukan di Bandung (1922). Inilah pertama kalinya orang pribumi mendapatkan pangkat dan jabatan setinggi itu dalam dinas kepolisian Hindia Belanda.

Kesuksesan Soemitro dalam menjalankan tugasnya sebagai Bupati Banjarnegara diakui oleh Van Goudoever dalam harian di Semarang De Locomotief, Februari 1926. Soemitro tercatat sangat berhasil mengembangkan pertanian di lahan tandus Banjarnegara. Selain itu ketika menemukan daerah yang mengandung tanah liat, Soemitro langsung memeriksakan tanah itu di Bandung dan meminta keterangan selengkapnya mengenai kemungkinan-kemungkinan penggunaannya. Kemudian ia mendirikan pabrik kecil yang membuat barang-barang keramik dari tanah liat itu, uang pada akhirnya menjadi cikal bakal sentra industri klampok. Lalu bersama istrinya, Anna Lasmanah, Semasa menjabat sebagai bupati di Banjarnegara, mereka berkeinginan kuat membangun sarana pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Upayanya diwujudkan tahun 1940 dengan mendirikan rumah sakit bersalin yang diberi nama Boedi Rahajoe pada tanggal 31 Agustus 1940.

Dana untuk pembangunan rumah sakit ini didapatkan dengan cara patungan yang disebut Gerakan Satoe Sen, setiap keluarga menyumbang masing-masing 1 sen. Kekurangannya sekitar 40.000 Gulden didapatkan dari sumbangan Bupati Banjarnegara. Lahan untuk pembangunan adalah pekarangan rumah milik H. Noor di Desa Kutabanjarnegara. Hasil rintisannya ini kelak menjadi RSUD Banjarnegara dan setahun lalu diubah namanya menjadi RSUD Hj. Anna Lasmanah Soemitro Kolopaking (2013).

Pada tahun 1945 setelah menjabat sebagai Bupati Banjarnegara, Soemitro Kolopaking kemudian menjadi Residen Pekalongan. Masih di tahun 1945, Soemitro terpilih menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada tahun 1951 Soemitro Kolopaking ditunjuk untuk menjadi Menteri Pertahanan RI namun menolaknya dan digantikan oleh Sewaka. Semasa di Bandung lah, Soemitro Kolopaking berkenalan dengan teosofi dan Freemasonry. Soemitro lebih aktif bergiat dalam komunitas Freemason. Sebelumnya Soemitro pernah mendirikan dan memimpin loji Serajoedal di Purwokerto yang beroperasi sampai 1942.

[caption caption="Pengurus, anggota dan undangan Loji Soerajodal (Lembah Serayu). Loji ini berdiri Purwokerta dan anggotanya banyak yang berkebangsaan Indonesia. Duduk di paling kiri, R.A.S Soemitro Kolopaking yang nantinya akan menjadi Suhu Agung Pertama dari Loge Agung Indonesia. Foto diambil tahun 1933. Sumber : Dok. Theo Stevens dalam bukuTarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia dan Indonesia 1764-1962"]

[/caption]

Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia, Loge Agung Provinsial Hindia Belanda mulai goyah. Theo Stevens melalui buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda 1764 – 1962 mencatat, awal dekade 1950-an, anggota tarekat bernama Liem Bwan Tjie yang belakangan dikenal sebagai pelopor arsitektur modern Indonesia, menulis laporan tentang perkumpulan kemasonan di bawah nama Purwa-Daksina.

Pada laporannya, Liem berkata, rencana pembentukan sebuah loji Indonesia telah muncul beberapa tahun sebelumnya. Namun, karena kesukaran penerjemahan teks pengajaan dari bahasa Belanda ke bahasa Indoneisa, loji tersebut tidak kunjung terbentuk.

Minimnya jumlah anggota yang berwarga negara Belanda turut menjadi penghambat pendirian Loji Purwa-Daksina. Liem menulis, kurangnya anggota Belanda itu ditakutkan akan berpengaruh pada mutu pelaksanaan pengajaran paham kemasonan. Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ketujuh, Sekretaris Agung di Den Haag mengumumkan adanya perhomonan pendirian Loji Purwa-Daksina. Pemohon surat itu adalah sembilan mason Indonesia, yaitu Sumitro Kolopaking, Soerjo, Wisaksono Wirjodihardjo, Soebali, Hoedioro Sontoyudo, Sutisno, Liem Bwan Tjie, Liem King Tjiauw dan Liem Mo Djan.

Surat pendirian Loji Purwa-Daksina akhirnya ditandatangani Suhu Agung Belanda pada 18 Oktober 1952. Melalui sidang resmi Pengurus Besar Provinsial bertanggal 31 Oktober 1952, penyerahan surat dari lembaga pusat kemasonan Belanda kepada ketua Loji Purwa-Daksina, Sumitro Kolopaking, dilakukan di Ruang Ksatria Loji Adhuc Stat. Pendirian Loji Purwa-Daksina lantas berlanjut pada pendirian empat loji Indonesia lainnya, yaitu Loji Bhakti di Semarang, Loji Dharma Bandung, dan Loji Pamitran Surabaya. Yang kemudian nantinya bergabung membentuk Loji Timur Agung Indonesia

Pada 16 Juni 1954, para ketua dari empat loji Indonesia berkumpul di Semarang untuk mendirikan Loge Agung Indonesia (LAI). Dua pekan setelahnya, pertemuan tersebut menyepakati susunan pengurus LAI, yakni Soemitro Kolopaking sebagai guru agung, Raden Soerjo menjadi wakil guru agung dan Raden Soeparto sebagai pengawas agung pertama.

 Para pengurus itu lantas mengirimkan permohonan kepada Pengurus Besar Kemasonan Belanda, bahwa penyebaran cita-cita masonik di antara penduduk Indoneisa hanya akan menghasilkan yang baik jika dilakukan dalam bahasa nasional. Puncaknya, pada 7 April 1955, jelang pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, suhu agung Belanda C.M.R Davidson melantik para pengurus LAI di Jakarta. Stevens berkata, sejak itulah tarekat kemasonan Indonesia berpisah dari lembaga kemasonan induk di Belanda. Dengan demikian Soemitro bisa dibilang sebagai Bapak Freemasonry Indonesia.

[caption caption="Para pengurus pertama Loge Agung Indonesia. Foto diambil dari buku "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962", yang ditulis TH Stevens. Sumber : Dok. Th. Stevens dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia dan Indonesia 1764-1962"]

[/caption]

Terlepas dari desas-desus yang masih terjadi hingga saat ini tentang gerakan freemansory, Soal siapa saja yang pernah berkecimpung dan meramaikan Kemasonan, apa saja yang mereka lakukan, bagaimana tanggapan miring soal organisasi rahasia ini, serta sisa-sisa sejarah ihwal pernah singgahnya organisasi Freemasonry di Indonesia. Melihat sosok Soemitro Kolopaking adalah contoh seseorang yang " modern " dengan terobosan-terobosan dan sumbangsihnya yang besar ketika memimpin Banjarnegara. Tentang segala kesalahan dalam penulisan, saya pribadi mohon maaf dan mohon koreksinya

Sumber : Buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 oleh Dr. Theo Stevens, CNN Indonesia, & Wikipedia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun