Mohon tunggu...
Ahmad Nurholis
Ahmad Nurholis Mohon Tunggu... -

pecandu kopi, pencinta seni. Gemar bergumul dengan kata dan bercinta dengan angka. Traveler plat merah di Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi Kalosi

2 Juni 2014   08:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suhu kontestasi politik Pilpres 2014 semakin hari semakin memanas hingga mendekati titik didih di tanggal 9 Juli 2014. Sebuah pendewasaan berdemokrasi yang perlu dijaga keberlangsungannya dengan diwarnai kompetisi yang sehat, cerdas dan bermartabat. Kegamangan mulai terjadi dan memaksa saya mencoba “turun tangan” mengipas-ngipas udara polusi kampanye hitam berbau SARA atau mungkin fitnah yang merebak di dunia maya. Ku buka lemari, ada kopi Kalosi dari Enrekang-Sulsel, akhirnya kuputuskan untuk berkoalisi malam ini.

? tanda tanya ?

Apakah Tuhan telah melimpahkan kewenangan kepada sekelompok manusia untuk menilai gradasi keimanan hambanya ? bahkan perlu diklarifikasi dengan bukti visual atau tantangan lomba beribadah. Apakah legitimasi kesolehan calon pemimpin telah diberikan kepada sekelompok orang yang mengusung bendera agama ?. Jika kita mengetahui “agenda tersembunyi” agama atau pihak lain, apakah sepatutnya ditebar di ranah publik dengan telanjang? Apakah mimbar ibadah yang sepatutnya suci dan tidak tendensius telah kehabisan tema untuk disampaikan? Apakah tidak ada analogi yang lebih indah menyamakan Pilpres dengan perang? Apakah perlu “menjual hadist” dengan menunjukan ciri fisik calon pemimpin yang didukungnya?. Saya kira agama yang saya anut adalah rahmat untuk alam semesta, tanpa harus arogan mengakui yang paling benar dan tidak dijadikan komoditas musiman. Sadarkah kita bahwa kita tidak punya agenda agama substansial yang diperjuangkan. Saya kira itu hanya polarisasi dukungan saja, tidak alamiah dan kimiawi ideologi, mungkin?

? tanda tanya ?

Semua agama tidak memberikan garis tegas antara nilai religi dan sekularitas, satu sama lain saling memberi nafasnya. Contoh kegagalan sudah dihadapkan dari runtuhnya komunisme Soviet dan sekularisme Turki. Sepatutnya kita bangga dengan Pancasila yang digali dari akar budaya nusantara dengan pluralisme menurut definisi yang sebenarnya, bukan definisi menurut pihak tertentu yang bersisian dengan liberalisme. Rakyat Indonesia perlu diberikan edukasi politik yang berkualitas karena saat ini sudah memasuki masa “baligh” bereformasi. Harus disyukuri bahwa buah perjuangan Wiji Tukul dan kawan-kawan telah melahirkan figur Jokowi, Ahmad Heryawan, Ridwan Kamil, Risma dan kepala derah yang berkualitas dan tidak tersorot tampias lampu media. Kebebasan berpendapat atau stabilitas ekonomi yang masih terjaga adalah bukti yang tidak perlu kita menutup mata atau kikir mengapresiasi, walaupun masih ada kekurangan disana-sini.

Yang perlu dilakukan rakyat sebagai calon pemilih adalah mengidentifikasi masalah-masalah, menilik rekam jejak capres, cawapres dan tim di belakangnya serta berekspektasi pada mereka untuk menyelesaikan solusi kini dan tantanganke depan. Bukan saatnya lagi mengomentari gaya kepemimpinan dari penampakan luar, bukan saatnya lagi mendiskreditkan kemampuan lawan dengan puisi, bukan saatnya lagi menggosok-gosok isu yang di daur ulang. Kerja politik tim sukses, relawan dan mesin politik partai sudah saatnya beroperasi. Apa artinya deklarasi berbagai elemen bangsa tanpa kerja nyata dan pengaruh signifikan dalam mendongrak elektabilitas. Saat ini rakyat sedang disajikan berbagai pilihan menu dan cita rasa calon pemimpin. Karakter pekerja keras, cepat dan suka terobosan atau tegas dan berwibawa, silahkan pilih, tanpa harus saling menjatuhkan pendukung satu sama lainnya. Sekitar 40% pemilih galau (swing voters) merupakan garapan seksi determinasi kemenangan. Kepada peserta, tim pendukung maupun simpatisan-simpatisan diharapkan bisa bermain cantik dan elegan, tak ada gesekan atau benturan yang melukai kerukunan berbangsa. Wasit (KPU) sudah meniup peluitnya.

Harapan Saya sebagai PNS juga sebagai warga negara cukup sederhana. Selain kesejahteraan dan kesempatan berkembang, anak-anak saya butuh sekolah sebagai taman berfikir dan panggung luhur beretika, bukan sekadar mencari nilai dan menggapai gelar. Siapkan sumber daya untuk mereka bersaing di era pasar bebas dan bonus demografi. Biarkan mereka berlari-larian dikelilingi rindangnya pepohonan diantara himpitan hutan beton. Sediakan mereka alternatif bahan bakar atau energi terbarukan untuk menunjang aktivitasnya kelak. Saya siap dipimpin Presiden siapa saja karena saya siap bekerja dengan Anda, walaupun peran dan tugas saat ini berada di elemen kecil roda pemerintahan Anda. Saya punya hak pilih, tapi tak mau mengumbar keberpihakan dengan berbagi link situs, menulis status pengamat amatiran atau sindiran fans militan yang cuma tahu di permukaan, karena khawatirnya pilihan saya tidak sesuai ekspektasi dan kecewa pada akhirnya.

Selamat memilih…

el-bantani

pecandu kopi, penikmat seni & belajar mengamati politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun