Mohon tunggu...
Elan Priananda
Elan Priananda Mohon Tunggu... -

Hanya perangkai kata, mencoba mengutarakan isi kepala melalui bahasa yang menjamah rasa... Journalism - Communication Program of Faculty of Social and Political Science Universitas Atma Jaya Yogyakarta (elanpriananda11@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berbenah dalam Bermedia Online di Era Digitalisasi dan Kemajuan Teknologi

15 April 2016   17:43 Diperbarui: 15 April 2016   17:59 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock.com"][/caption]Media di Indonesia telah memiliki perkembangan yang sangat maju. Melihat dari bagaimana dunia media cetak, secara perlahan mulai ditinggalkan karena munculnya era digital dan elektronik yang digandrungi. Hal tersebut tentu membuat pergeseran yang cukup jelas terlihat, di mana digital dan elektronik ternyata dianggap lebih paktis dan mudah untuk dikonsumsi.

Media di Indonesia pun melihat peluang itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya, mereka selalu terus mengembangkan teknologi yang dimilikinya untuk dapat mengikuti tren yang banyak diminati oleh pembacanya. Namun cukup disayangkan, bahwa perkembangan media tidak diikuti dengan perkembangan kedewasaan para pembacanya dalam menanggapi kemajuan teknologi digital dan elektronik yang telah berjalan dengan pesatnya.

Perubahan Cara Media dalam Mendapatkan Iklan

Nafas media untuk bisa terus hidup adalah iklan untuk mendapat keuntungan. Dalam media cetak konvensional, majalah maupun koran menyajikan informasi yang aktual dan komprehensif agar dapat merebut hati para pembacanya. Pengiklan akan memasang iklan pada media yang memiliki jumlah pembaca maupun melalui hitungan oplah terbesar.

Surat kabar ikut dalam peranan sebagai fasilitator perdagangan, mereka mampu mempromosikan produk maupun jasa melalui iklan, dan menjalankan berbagai kepentingan bisnis pemodal/pemiliknya. Sebagai sistem ekonomi, industri surat kabar mencakup dua kegiatan utama: produksi dan konsumsi (Albarran, 1996). Kegiatan produksi merujuk pada proses pengolahan produk, mulai dari mengumpulkan bahan dasar sampai berwujud output media. Kegiatan produksi dalam industri media mencakup 2 produk, yang pertama media goods, merupakan produk fisik media seperti bentuk dan ukuran suratkabar. Terdapat juga media services yang merujuk pada content yang disajikan oleh media dengan fungsi memasok produk yang berupa berita atau artikel.

Model bisnis surat kabar harian berdasarkan penjualan dua produk utama yaitu berupa isi berita dan akses ke pembaca, menjadi hal yang dijual kepada pengiklan. Keberadaan dua jenis konsumen itulah yang akan sangat menentukan kelangsungan hidup institusi media. Agar dapat memaksimalkan keuntungan, pengelola media selau berorientasi pada kepentingan pembaca dan pengiklan. Oleh karena itu selera mayoritas konsumen akan menjadi tolok ukur utama proses produksi media. Maka dengan digandrunginya media digital dan elektronik, media pun akan mengikutinya untuk bisa survive dalam dunia bisnis media saat ini.

Tak jauh berbeda dengan media cetak, sumber penghasilan media online juga berasal dari perolehan pemasang iklan, namun berbeda cara menjual atau menawarkan jasanya. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang bagaimana mendapatkan pengiklan melalui media online, yang ditawarkan melalui pengiklan adalah lewat apa yang disebut Traffic.

Penjelasan sederhana tentang traffic menurut Margianto yaitu aktivitas pada satu halaman situs yang dihasilkan dari kunjungan pengguna internet dan aktivitas pengguna internet di halaman itu. Semakin banyak sebuah situs dikunjungi dan semakin banyak aktivitas yang dilakukan pengguna internet di laman-laman situs itu, maka traffic situs itu semakin tinggi. Traffic itu seperti “penonton” pada stasiun televisi; “pendengar” pada stasiun radio; atau “oplah” pada media cetak. Traffic adalah keseluruhan aktivitas pembaca pada situs media online yang meliputi visit, unique visitor, pageview,danlength of visit.[1]

Mementingkan Kuantitas dan Mengesampingkan Kualitas

Traffic diperoleh oleh daya pikat suatu situs berita terhadap pembacanya. Daya pikat itu bisa jadi adalah kredibilitas situs berita tersebut. Karena kredilitas informasi yang disampaikan, banyak pembaca datang mengunjungi situs tersebut.

Selain itu traffic juga dihasilkan dari ruang interaktivitas yang disediakan suatu situs berita. Terkait berita, misalnya, traffic dihasilkan dari diskusi yang berlangsung pada halaman-halaman komentar. Tak sedikit pembaca membuka satu berita berkali-kali karena mengikuti diskusi yang berlangsung di halaman komentar. Traffic pun dihasilkan dari layanan-layanan interaktivitas lain di luar berita. Misalnya, forum, games, atau commerce yang disediakan situs berita tertentu.

Pada titik inilah ruang redaksi bertemu dengan kepentingan bisnis media sebagai industri. Di ruang redaksi, traffic diperoleh sebagai hasil produksi berita yang dibuat wartawan. Berita-berita yang di-klik pembaca akan menghasilkan pageview. Semakin banyak berita yang di-klik semakin besar pageview yang diperoleh. Semakin besar pageview, semakin besar potensi bisnis yang bisa diraih. Selanjutnya, sehubungan dengan pageview ini, lazimnya, media-media online di Indonesia mempraktikkan gaya penulisan berita yang khas yaitu update berita sepotong-sepotong atau berita yang dipecah-pecah.

Berita online kadang disebut dengan jurnalisme empat paragraf karena dalam satu berita isinya hanya empat paragraf. Terdapat argumentasi yang menyatakan, berita-berita yang sepotong-sepotong itu adalah nature online karena berita online harus cepat dan merupakan rangkaian perkembangan atas suatu peristiwa. Tapi, dalam perspektif bisnis, berita yang sepotong-potong ini menguntungkan karena dapat melipatgandakan pageview.

Berita-berita model ini lantas menunjukkan bahwa ada pertentangan dengan kaidah-kaidah etik jurnalistik. Pakem-pakem jurnalistik yang telah disusun dan diberlangsungkan hingga saat ini mulai luntur. Berita juga tidak pertama-tama mengenai soal penting, tapi menarik, atau setidaknya diberi judul yang menarik. Judul yang tidak menarik, tidak akan banyak menghasilkan klik.

Etika Jurnalistik Seolah Dikesampingkan

Keberadaan internet sebagai media baru dengan segala implikasi praktisnya, memunculkan beberapa masalah dalam etika jurnalistik yang selama ini telah ada. Masalah etik yang muncul ketika kerja-kerja jurnalistik masa kini bercampur dengan interaksi pembaca. Selain itu jurnalistik online yang berkembang di Indonesia sangat khas. Gaya baru jurnalisme ini unik dan berbeda dengan model jurnalistik konvensional yang selama ini berlaku di media cetak dan televisi. Di luar itu, isu lama mengenai persinggungan media dengan bisnis juga masih mengemuka.

            Bila kita lihat saat ini, berita tidak lagi merupakan produk ekslusif milik industri media. Internet yang dalam perkembangannya melahirkan media sosial membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mewartakan apa yang mereka tahu, mereka lihat, dan mereka dengar. Internet juga membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan gagasan dan opini mereka. Memunculkan para penyampai berita yang “seolah-olah jurnalis”, masyarakat dapat secara bebas menjadi penyampai informasi yang belum tentu memahami pakem-pakem yang berlaku.

Terdapat salah salah satu kunci dalam perkembangan media online yang disebut interactivity. Menurut Deuze, interactivity merupakan besarnya respon khalayak terhadap kegiatan jurnalisme online. Dalam perkembangan informasi yang luas dan tidak terbatas saat ini, para pembaca pun dapat memberikan komentar maupun tanggapan lewat fasilitas yang tersedia. [2]Fitur e-mail yang tersedia untuk berbalas pesan, maupun sekadar kolom komentar yang disediakan untuk menerima kritik dan saran. Hal tersebut menjadikan sebuah interaksi maupun hubungan yang interaktif karena dua arah yang terwujud untuk saling berkomunikasi.

Saat ini siapapun memiliki akses menyampaikan apapun, kapanpun, dan di manapun kepada publik. Melalui ranah media sosial, apa yang dulu dipahami sebagai berita dan dikomunikasikan satu arah oleh media kini menjadi percakapan dalam komunikasi dua arah. Kita tentu tidak akan mendiskusikan apa yang terjadi di wilayah media sosial itu. Menjadi persoalan pula ketika media online juga membuka ruang terjadinya percakapan itu pada halaman-halaman situs mereka. Terjadi “peperangan” opini karena media seolah melempar isu yang akan diberi tanggapan oleh para pembacanya.

Media online memberikan kesempatan dengan membuka ruang percakapan publik pada halaman komentar yang disediakan pada setiap berita. Ruang interaktif ini secara niscaya memang merupakan nature media online. Tapi, kita juga melihat bahwa ruang-ruang interaksi itu juga memiliki perspektif bisnis. Jika melihat komentar-komentar pembaca terasa binal, kasar, sarkas, dan jauh dari sopan santun.

Aturan yang Mengakomodasi Perkembangan Media

Seperti yang dikatakan Fenton, bahwa proses jurnalistik berita saat ini sangat dipengaruhi oleh media baru, tidak hanya pada teknologi yang tersedia untuk jurnalis, editor dan distributor, tetapi juga untuk konsumen serta bagaimana cara mereka melakukan kegiatan konsumsi.[3] Dapat dikatakan terdapat adanya kekosongan hukum terkait praktik jurnalisme dalam media online.

Undang undang pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) tidak mampu mengatur soal komunitas, model-model baru praktik pemberitaan dalam media online, juga distribusi berita dalam ranah media sosial. Undang-undang tersebut tidak dapat mengakomodasi perkembangan media dalam ranah digital dan pesatnya teknologi saat ini. Lalu aturan hukum soal internet yang dimiliki Indonesia adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) yang selama ini masih dianggap mengambang bila diterapkan dalam dunia digital saat ini.

Media online berada dalam ruang lingkup media sebagaimana disebut dalam UU Pers, tapi aturan dalam UU Pers tidak memuat aturan mengenai aneka praktik yang kini terjadi pada halaman-halaman media online. Belum terdapat keterkaitan UU Pers dan UU ITE, diartikan seperti itu dikarenakan di dalam UU Pers tidak mencantumkan UU ITE sehingga tidak dapat dikatakan bahwa itu akan mengikat. Pemberlakukan undang-undang tersebut dapat menjadi kontroversi dan kurangnya ketegasan atas kejelasan penerapannya dalam kasus tertentu.

Kasus yang selama ini terjadi adalah terdapat potensi adanya kriminalisasi terhadap media siber dan para komentator/partisipan berdasarkan UU ITE, KUHP dan lainnya. Tidak dapat dengan begitu saja masyarakat dituntut untuk beradaptasi dengan cepat dengan perkembangan media yang pesat. Kedewasaan khalayak dalam bermedia digital saat ini belum menjangkau keseluruhan masyarakat yang memiliki akses luas. Batasan dan penerapan dalam sikap bermedia, serta kesadaran akan adanya aturan maupun etika merupakan tugas rumah yang perlu di rampungkan. Pekerja media, Dewan Pers, dan juga masyarakat harus mampu berjalan bersama untuk mampu beradaptasi menghadapi perkembangan media saat ini.

Keadaan yang dihadapi saat ini telah dalam era yang berbeda. Cara melakukan produksi dan konsumsi berita pun turut berubah. Kehadiran internet membawa elemen-elemen baru pada media, termasuk di dalamnya interaktivitas seperti dibahas sebelumnya. Namun terkait prinsip verifikasi, keberimbangan berita, dan kesantunan publik kiranya tetap menjadi prioritas di setiap halaman-halaman media, apapun mediumnya.

Mekanisme ralat, koreksi atau hak jawab harus dilakukan pada berita yang bersangkutan menjadi tugas media untuk terus berbenah diri dan menjadikan media ideal dalam era digital. Selain itu bagi masyarakat tentu perlu adanya kesadaran yang lebih dalam sikap bijak bermedia. Kebebasan akses yang disediakan tidak semena-mena dimanfaatkan namun mengesampingkan etika dan aturan yang seharusnya ada dan diterapkan.

 

[1] Margianto, J. Heru. Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika. Divisi Penyiaran dan Media Baru AJI Indonesia.

[2] Deuze, Mark. (1999). Journalism and The Web : An Analysis of Skills and Standards in an Online Environment. London : Sage Publications.

[3] Fenton, Natalie. New Media, Old News: Journalism and Democracy in the Digital Age. 2009. London. SAGE. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun