Mohon tunggu...
Mochammad Asrori
Mochammad Asrori Mohon Tunggu... -

Mochammad Asrori, menulis beragam genre sastra, mulai dari cerpen, cerita anak, puisi, esai, dan naskah drama. Beberapa karyanya pernah beruntung memenangi beberapa kompetisi menulis dan dimuat di berbagai media cetak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sofa Hangat Mama

2 Mei 2013   16:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:14 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nindya menuruti ucapan Mamanya.. Guyuran air membuat pikirannya kembali segar. Ia teringat Mamanya yang begitu tenang bersikap. Mamanya bukan wanita bodoh atau tidak perhatian. Nindya tahu Mamanya tahu segala hal. Sewaktu ia jatuh cinta pertama kali, Mamanya segera tahu sebelum Nindya cerita. Mama bersiul-siul sambil bernyanyi. Lucu sekali, Mama menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan Titiek Puspa, “Jatuh cinta berjuta rasanya. Dibelai, dipeluk, dicium, amboi asyiknya. Jatuh cinta berjuta rasanya …” Nindya geli, apalagi ketika dilihatnya Mama mengerling ke arahnya, ia tahu Mama sedang menyindir waktu itu. Mama wanita yang sangat peka.

Tapi keanehan itu datang lagi, bahkan sudah tiga kali. Nindya terbangun dari tidur menjelang shubuh. Ia melangkah ke luar kamar, ke ruang tengah. Temaram. Tentu saja, matahari belum lagi terbit, korden masih tertutup rapi. Hanya lampu kecil di sudut ruang. ketika ia duduk di sofa. Tapi … sekali lagi Nindya terhenyak dari duduknya dan bangkit lagi. Ia melihat sekeliling, tak habis pikir. Mama masih tidur pulas di kamar. Ia pandangi lagi sofa yang baru saja ia duduki dan menyentuhnya. Hangat! Seperti baru saja diduduki oleh seseorang. Ia dekatkan wajahnya mencium sesuatu yang tidak asing. Harum yang pernah dulu ia kenali. Nindya yakin ia tidak asing dengan harum tersebut. Dadanya berdegub lebih cepat.

Nindya teringat ucapan Rio Tengil yang bilang api kompor bisa membuat kursi jadi hangat, “Itu seperti di kantin Pak Teno, kursinya kan hangat.” Rio selalu asal kalau ngomong, tapi asyik dan lucu. Tapi jelas tidak ada kompor di sini.

Si Rindi, teman sebangkunya juga komentar. Katanya ia pernah menduduki kursi yang hangat padahal tidak ada seorang pun yang duduk di kursi itu sebelumnya. “Swear!” katanya. Nindya jadi tertarik. Tapi dasar si Rindi, ia lalu menambahkan kalimatnya, “Kursinya memang belum diduduki siapapun. Cuma baru di pakai tidur si Manis. Kursi bekas tidur si manis selalu hangat.begitu.” Si Manis adalah kucing kesayangan Rindi. Tapi di sini juga tidak ada kucing. Ia mengamati sekeliling, tidak mungkin juga ada kucing yang masuk, ruangan ini selalu tertutup.

Nindya tak menemukan jawaban. Ia terpekur di bibir sofa. “Siapa yang duduk di sofa ini?” bisik Nindya pada dirinya sendiri. Ia bergeser dan duduk kembali di atas sofa. Masih terasa hangat. Nindya memutar pandangannya ke penjuru ruangan. Bingung! Mengapa sofa ini hangat? Hangat sekali. Nindya menempelkan tangannya ke permukaan sofa lagi. Tiba-tiba dari kamar Mamanya ia mendengar suara isakan kecil. Ia yakinkan pendengarannya. Suara isakan Mama. Mama menangis.

Nindya tertegun beberapa menit, tak tahu harus berbuat apa. Ia baru saja akan berdiri, tapi kemudian pintu kamar mamanya terbuka. Nindya melihat air mata mamanya yang masih meleleh di pipi. Tapi isakannya telah lenyap. Senyum yang dipaksakan keluar dari bibir mamanya ketika melihat Nindya. Mamanya duduk di sofa sambil menghela air mata. Nindya segera tahu, bahkan menjadi begitu jelas ketika ia melihat ke dalam mata mamanya. Ini karena Papa. Papa yang jarang pulang dan beralasan semuanya karena urusan kantor.

Nindya ingat ketika ia pertama kali jatuh cinta, mamanya pernah menunjukkan sesuatu padanya, “Nindya coba deh parfum ini, hadiah dari Papa. Seminggu setelah pernikahan sama Mama dulu Papa membeli parfum ini bersamaan dengan sofa yang ada di Ruang Tengah. Parfumnya tidak pernah Mama pakai. Parfum ini adalah simbol cinta Mama dan Papa. Kalau kamu menikah nanti, parfum ini Mama hadiahkan ke kamu.” Nindya tiba-tiba saja sadar tentang bau harum yang tidak asing tersebut.

Mama wanita yang sangat peka. Mamanya bukan wanita bodoh atau tidak perhatian. Hanya saja, mamanya wanita yang sangat tenang dalam bersikap. Ketika Papa tidak pulang lebih dari seminggu, Mama bilang Papa ada urusan kantor, ke luar kota. Tapi Nindya tahu, Nindya melihat mata Mama berkaca-kaca ketika mengucapkannya. Nindya tahu betul: Papa berselingkuh, Papa tidak akan pernah pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun