Mohon tunggu...
Elang Nusantara
Elang Nusantara Mohon Tunggu... -

Wiraswastawan, Nasionalis, Sukarnois, dan penggemar olah spiritual sejak kecil.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KEJAWEN, ISLAM DAN AGAMA

6 Januari 2011   20:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:53 5286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kejawen adalah kata bentukan yang berasal dari kata ke+jawi+an, dan diucapkan Kejawen. Dalam kamus bahasa Jawa Kuna, entri Kejawen berarti menjadi orang Jawa atau ke Jawa-jawa an (menyerupai orang Jawa). Sedangkan kata Jawi itu sendiri dalam kamus bahasa Jawa baru berarti kata halus (krama) dari kata Jawa, yang artinya orang atau bahasa Jawa.

Meskipun tidak ada istilah kejawen (sebagaimana dipahami orang-orang selama ini) dalam berbagai kamus Jawa, namun sudah menjadi pendapat umum bahwa Kejawen adalah sebuah ajaran/pengetahuan tentang olah batin yang bersumber dari ajaran-ajaran para leluhur orang Jawa.

Berdasarkan hasil studi karya seni sastra Jawa abad XVIII yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Zoetmulder (Manunggaling Kawula Gusti, 1995), Simuh (Mistik Islam Kejawen, 1988), dan Niels Mulder (1985), Kejawen merupakan perkawinan tradisi Islam dengan Hindu – Buddha Jawa. Ajaran Kejawen itu sendiri tidaklah statis, tetapi terus menerus reseptif terhadap ajaran agama apapun yang masuk ke lingkungan keraton-keraton Jawa dan Sunda sejak abad XVI.

Islam sendiri, bila di telusuri dari sumbernya yang sah – Alqur’an- merupakan Din yang bermakna kedamaian. Islam adalah Din, bukan religi. Din adalah jalan hidup (yang dalam ajaran Islam berasal dari Allah Swt), sedangkan religi adalah tata cara ritual. Dalam perjalanannya, Din Islam ini terpecah menjadi religi-religi, terpecah menjadi puluhan golongan, diantaranya adalah Sunni, Syi’ah dan Wahabiyah. Sedangkan Sunni terbagi lagi menjadi beberapa madzhab besar seperti Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Kata Agama, sebenarnya di mata saya kurang tepat bilamana di tempatkan di depan kata Hindu, Buddha, Kristen/Katholik, Islam, Sikh dan lain sebagainya. Kata agama dalam bahasa Jawa Kuna merupakan bentukan dari a (tidak) + gama (kacau), yang berarti aturan, tuntunan, yang ditetapkan oleh Negara/Kerajaan agar teratur dan tidak kacau. jadi semestinya, orang yang beragama adalah orang yang mematuhi aturan, mematuhi hukum dan undang-undang Negara. Oleh karenanya, jika dilihat dari arti kata agama dandin itu sendiri, sungguh itu tidak sesuai di mata saya, karena seperti yang saya tulis sebelumnya di atas, din adalah sebuah jalan hidup dari Allah Swt, dan bukan aturan/undang-undang Negara. Oleh karena itu juga, di Nusantara dulu tidak dikenal istilah Agama Hindhu, Agama Buddha. Dalam khazanah budaya Jawa dulu, Hindu dan Buddha disebut dharma, yang artinya kewajiban, tugas hidup, kebenaran. Namun dalam kamus Jawa Kuna, entri kata Hindu tidak ada, karena dharma yang masuk ke Nusantara pada zaman dahulu adalahdharma Syiwa, dharma Wisnu dan dharma Buddha. Bahkan dharma-dharma yang masuk ke kepulauan Nusantara itupun mengalami penyesuaian diri setelah berinteraksi dengan dharmaasli Nusantara.

Disitulah maka jaman dahulu ada semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”, berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua. Semboyan yang terkenal pada jaman Majapahit ini menggambarkan, bahwa apapun dharma orang tersebut, mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dari Negara/Kerajaan.

Keadaan tersebut menjadi berubah ketika berdiri Kerajaan Demak Bintara yang menggunakandharmaIslam menjadi undang-undang di kerajaan tersebut. Islam tidak lagi disamakan dengan dharma-dharma yang lain. Dengan kata lain, dengan Islam diangkat sebagai undang-undang negara, maka gugurlah semboyan kebinekaan tersebut. Pluralisme yang menjadi tonggak kehidupan yang berlain-lainan dharmanya itu sirna. Sebab, semua warga negara harus mematuhi undang-undang negara, sedangkan yang dijadikan undang-undang itu adalah “Islam”.

Setiap warga negara Kesultanan Demak diwajibkan untuk mengikuti agama raja, agama ageming ajiagama adalah nilai-nilai yang digunakan oleh raja. Oleh karena itu, terjadilah penaklukan -termasuk konversi dharma yang dipeluk warganya- oleh Kesultanan Demak terhadap kadipaten-kadipaten yang masih setia kepada Majapahit. Sistem penaklukandharma ini di kemudian hari dilanjutkan oleh Belanda ketika menjajah Kep. Nusantara. Bahkan Belandalah yang menempatkan ulama-ulama dan aliran dari Timur Tengah di kerajaan-kerajaan di Nusantara yang telah dikuasainya. Akibatnya, terjadilah penaklukan dan pemberantasan oleh aliran yang baru masuk terhadap aliran yang sudah mapan di suatu kerajaan, misalnya pemusnahan pengikut Hamzah Fansuri di Aceh oleh kelompok Nuruddin ar-Raniri, pemberantasan pengikut Syamsyuddin Sumatrani dan pelaku dharma tradisional oleh kaum Wahabi di Sumatra Barat, dan lain-lainnya.

Sedangkan Kejawen sendiri, dari awal senantiasa bersifat reseptif, bisa menerima apapun yang masuk ke kep. Nusantara ini, dan itu tampak jelas dari ritual-ritual yang dilakukan penganut dharma-dharma yang ada di Indonesia saat ini, di antaranya acara-acara selamatan, mitoni, patangpuluhdinanan, nyatus, nyewu dlsb. Sehingga di mata saya, Kejawen bukanlah sinkretisme dari dharma-dharma yang masuk ke kep. Nusantara, namun justru sebaliknya, dharma-dharma yang masuk ke kepulauan Nusantara itulah yang menyesuaikan diri dengan Kejawen,,dengan kondisi Nusantara pada saat itu.

Kebudayaan spiritual Jawa yang disebut Kejawen, dalam pandangan saya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Pertama,percaya bahwa hidup di dunia ini merupakan titah dari Tuhan Yang Mahakuasa, hingga selalu mengolah rasa, mengolah batin untuk mencapai kesempurnaan hidup, meruhi sangkan paraning dumadiMeruhi sendiri, bukan hanya sekedar mendengar cerita dari orang lain atau kabar dari orang lain yang belum jelas kebenarannya.

Kedua, orang Jawa juga percaya adanya kehidupan lain di luar kehidupan di dunia ini, hal-hal gaib yang berada di luar diri.

Ketiga, orang-orang Kejawen percaya dan sangat menghargai arwah para  leluhur, sehingga sering dalam waktu-waktu tertentu mengadakan ritual-ritual khusus dalam rangka menghormati dan menghargai para leluhur.

Dari situlah awalnya, hingga kemudian muncul istilah nrima ing pandum, menerima kehendakNya, setelah sebelumnya menemukan sendiri pandum tersebut. Jadi kata nrima ing pandum ini sebenarnya bersifat aktif progresifbukan pasif. Aktif progresif, menemukan dahulu pandumnya, jika memang sudah ketemu dan pandum tersebut memang menunjukkan demikian, barulah mau nrima.

Selain itu, ada inti ajaran Kejawen adalah hamemayu hayuning bawana, dan ajaran ini telah dimuat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, 1032). Menjelaskan ajaran ini, Mpu Kanwa menggambarkan tugas pimpinan adalah untuk berbuat jasa memperbaiki dan memakmurkan dunia seperti dinyatakan dalam Pupuh V bait 4-5. Sunan Pakubuwana IX (1861 – 1893) menggubah bait tersebut dalam Serat Wiwaha Jarwa menjadi “amayu jagad puniki kang parahita, tegesé parahita nenggih angécani manahing lyan wong sanagari puniki”. (Melindungi dunia ini dan menjaga kelestarian parahita, arti parahita ialah menyenangkan hati orang lain di seluruh negeri ini.)

Tugas hidup amemayu hayuning bawana oleh Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Hajar Dewantara dikembangkan menjadi mahayu hayuning sarira, mahayu hayuning bangsa, mahayu hayuning bawana (memelihara dan melindungi keselamatan pribadi, bangsa, dan dunia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun