Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Manajemen Kerumunan yang Buruk dan Pagar Stadion adalah Pembunuh Suporter

3 Oktober 2022   00:13 Diperbarui: 3 Oktober 2022   00:43 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Accra Stadium Desaster 2001 Sumber: https://www.ghanaweb.com/

Sabtu, 1 Oktober 2022 sepakbola Indonesia kembali berduka, kekacauan kerumunan pasca pertandingan antara Arema melawan Persebaya merenggut nyawa lebih dari 130 supporter.

Dalam setiap kekacauan dalam kerumunan yang menciptakan korban, sangat mudah untuk menyalahkan perusuh atau kelompok supporter, realitanya perusuh hampir selalu jadi minoritas, dan berbagai kerusuhan antar kelompok suporter di Indonesia jarang menimbulkan jumlah korban yang sangat besar. Kematian yang disebabkan oleh "perusuh" di Indonesia lebih umum terjadi dengan pola pengeroyokan pada satu atau dua kelompok suporter lawan atau orang yang tidak terlibat sama sekali.

Terlebih lagi, tragedi stadion terbesar di Indonesia tidak dihadiri oleh suporter Persebaya Surabaya, sehingga kerusuhan antar suporter seharusnya bukan menjadi penyebab utama korban jiwa.

Perusuh atau kelompok suporter memang menjadi objek yang mudah untuk disalahkan dalam berbagai kekacauan dalam kerumunan yang menciptakan korban. Kekacauan kerumunan memang yang menyebabkan korban jiwa memang sering dipicu oleh perusuh. Namun asumsi tersebut tidak menjawab fakta bahwa kematian dalam kerumunan besar juga terjadi pada event damai dan agak sulit membayangkan ada perusuh, misalnya tragedi Haji 2015 dan tragedi Terowongan Mina 1990.

Lebih lanjut, bentrokan yang sangat serius antar dua kelompok suporter sekalipun tidak pernah menyebabkan korban jiwa yang mencapai lebih dari lima puluh orang. Realitanya, mayoritas suporter tidak dibunuh oleh parang lawan tawurannya, suporter dibunuh oleh manajemen kerumunan yang buruk dan infrastruktur stadion.

Berkaca dari Berbagai tragedi Stadion di Dunia

Sebagaimana telah saya sampaikan, hampir semua tragedi stadion dalam skala besar selalu disebabkan oleh dua hal; manajemen kerumunan yang buruk dan stadion yang minim pertimbangan keamanan.

Sebut saja tiga tragedi stadion terbesar di Eropa; Ibrox 1971, Heysel 1985, dan Hillsborough 1989. Dari ketiga, tragedi tersebut, hanya satu tragedi yang dapat dideskripsikan sebagai "tawuran" atau "kerusuhan" yaitu Heysel 1985.

Tragedi Heysel 1985, memang diawali dari saling lempar batu antar suporter Liverpool dan Juventus. Akibat kerusuhan tersebut, kelompok suporter yang tidak ingin terlibat lari menuju ke tembok stadion dan meruntuhkan dinding stadion tersebut. Namun, faktor utama besarnya korban jiwa bukan tembok yang runtuh maupun aksi saling menyerang antar suporter. Melainkan peristiwa desak-desakan dan terjepit sehingga menyebabkan kematian 39 orang. Bahkan runtuhnya tembok dianggap mencegah jumlah korban yang lebih besar, karena penonton berhasil keluar.

Tragedi Heysel 1985. Sumber: Twittter @theawayfans (https://twitter.com/theawayfans/status/604167023422263296)
Tragedi Heysel 1985. Sumber: Twittter @theawayfans (https://twitter.com/theawayfans/status/604167023422263296)

Sementara, Tragedi Hillsborough 1989 murni disebabkan ketidaksiapan kepolisian dan panitia pelaksana untuk mengelola kerumunan suporter Liverpool. Hal tersebut menyebabkan salah satu tribun overcapacity, suporter yang tidak dapat memanjat pagar kemudian banyak yang terinjak terjepit. Sebagai akibatnya 97 suporter meninggal dunia, dan sekitar 750 orang mengalami luka-luka.

Tragedi Ibrox 1971, terjadi pada pertandingan antara Celtic dan Ranger. Permasalahan terjadi akibat gol menit akhir pada saat banyak suporter meninggalkan lapangan, selain itu jatuhnya seseorang dari tribun atas juga menambah kepanikan. Kepanikan tersebut membuat desak-desakan, mayoritas dari 66 korban meninggal karena kehabisan nafas. Dalam perkara tersebut, Rangers sebagai pemilik stadion divonis bersalah karena kelalaian dalam desain dan keamanan stadion.

Bagaimana dengan negara lainnya? Penyebab utamanya adalah perilaku aparat kepolisian, terutama yang melepaskan gas air mata, atau penanganan kerumunan yang bermasalah.

Sebut saja tragedi stadion Accra 2001, Estadio Nacional 1964, dan Dashrath 1988.

Dalam tragedi Accra 2001 dan Estadio Nacional 1964 memiliki pola yang serupa: Adanya kerusuhan yang justru diantisipasi dengan pelepasan gas air mata oleh polisi, hal tersebut justru akan membuat penonton panik dan berdesakan sehingga menimbulkan korban jiwa. Tragedi Estadio Nacional 1964 merenggut nyawa 300 orang dan menjadi tragedi stadion terbesar sepanjang sejarah, sementara tragedi Accara 2001 merenggut 116 nyawa.

Accra Stadium Desaster 2001 Sumber: https://www.ghanaweb.com/
Accra Stadium Desaster 2001 Sumber: https://www.ghanaweb.com/
Sementara, Dashrath 1988 dipicu badai salju mendadak pada saat pertandingan. Hal tersebut membuat penonton yang berada di tribun tanpa atap berusaha pindah ke tribun beratap. Hal tersebut ditangani dengan pukulan dari aparat kepolisian, sehingga menyebabkan kekacauan yang ditambah dengan kondisi pintu tribun yang terkunci. Hal tersebut membuat korban tergencet dan merenggut 93 nyawa.

Skenario Paling Buruk Adalah Kepanikan Kerumunan

Kerumunan akan tertib sampai adanya kepanikan. Bagaimana kepanikan diciptakan, bisa dari provokasi, overcrowding, sampai serangan. Ketika kepanikan tersebut tercipta manusia secara alami akan menyerang atau lari ke tempat yang lebih aman.

Pitch invasion, atau larinya penonton ke arah lapangan adalah provokasi yang sangat efektif dan paling sering menjadi biang kerusuhan di lapangan sepak bola. Kunci menycegahnya adalah bagaimana mencegah satu orang dapat melakukan hal tersebut, sebab dalam keadaan fanatisme dan emosi orang yang awalnya tidak berpikir untuk lari ke lapangan akan ikut terprovokasi dengan mudah. Celakanya, aparat pengawas seperti polisi dan TNI di lapangan Indonesia lebih sering "ikut menonton bola" dari pada mengawasi supporter, bandingkan dengan liga-liga Eropa dimana aparat menghadap ke supporter. 

Hal inilah yang memungkinkan dua atau tiga orang pitch invader awal berhasil lolos. Ketika sudah ada beberapa orang lolos, maka banyak yang akan ikut terprovokasi, ketika aparat mulai bertindak, maka jumlah mereka sudah terkalahkan berkali-kali lipat dari orang yang terprovokasi. Umumnya justru pitch invader-lah yang paling besar kemungkinan selamat selamat dalam skenario kepanikan kerumunan, terkait hal tersebut akan saya jelaskan belakangan.

Kedua adalah overcrowding, skenario di mana orang terdesak karena kapasitas stadion terlampaui. Hal tersebut tentu membuat mereka yang terdorong justru akan berupaya melawan arus orang yang akan datang atau tergencet ke dinding dan pagar tribun.

Terakhir adalah serangan, sangat mudah untuk membayangkan serangan dalam pertandingan sepak bola adalah dari kelompok suporter lawan. Padahal dalam beberapa kasus, tragedi kerumunan yang besar terjadi ketika suporter lawan tidak hadir sama sekali. Tindakan aparat Kepolisian yang terlalu agresif dalam mengendalikan kerumunan seperti gas air mata justru memperparah keadaan "chaos". Tidak heran dalam banyak kerusuhan, aparat justru kerap menjadi target utama amukan suporter alih-alih tim lawan.

Bagaimana Stadion Menjadi "Death Trap"

Gas air mata merupakan alat yang sangat efektif untuk menciptakan kepanikan dan membubarkan kerumunan secara cepat. Tetapi, membubarkan kerumunan secara cepat di stadion adalah pilihan paling buruk yang dapat diambil petugas keamanan.

Penulis pernah turut menangani kerumunan yang panik akibat gas air mata pada saat demonstrasi, hasilnya tidak ada satupun mahasiswa UI yang penulis tangani kehilangan nyawa, paling celaka menginap di rumah sakit. Namun, jalan di depan gedung DPR tentu berbeda dengan stadion. Ketika gas air mata dilepaskan pada kegiatan demonstrasi, kerumunan dapat lari secara leluasa, misalnya ke arah GBK, jalanan depan TVRI, sampai ke Senayan. 

Berdasarkan pengamatan penulis, cedera paling sering kali terjadi di jalan-jalan yang lebih sempit seperti di Palmerah, dan JPO ke arah Semanggi karena berdesakan.

Stadion adalah tempat yang luas, tetapi pintu masuk dan keluarnya cenderung sempit. Umumnya pintunya kecil relatif dengan kapasitas dan tersebar jauh satu sama lain, terdapat tangga, dan terdapat berbagai pagar penghalang yang meningkatkan potensi bottleneck. Celakanya lagi, stadion-stadion di Indonesia cenderung memiliki pagar tribun yang menjulang tinggi, dan tribun yang tinggi dari tanah. Sehingga penonton tidak memiliki akses untuk keluar dari kerumunan yang mulai kacau dengan cara loncat ke lapangan.

Kini stadion di Inggris dilarang menggunakan pagar tribun, pasca tragedi Hillsborough. Sumber: punchng.com
Kini stadion di Inggris dilarang menggunakan pagar tribun, pasca tragedi Hillsborough. Sumber: punchng.com

Sederhananya, FIFA tidak melarang penggunaan gas air mata tanpa alasan. Beragam catatan sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan gas air mata justru memperkeruh keadaan dan menambah korban jiwa. Akses stadion yang cenderung kecil dan kapasitasnya yang besar akan menjadi botleneck bagi suporter yang panik ingin keluar akibat gas air mata. Bahkan dalam skenario kerusuhan, umumnya, penyabab kematian utama di stadion adalah berdesakan dan kehabisan nafas. 

Blunder Besar Aparat dan Pelaksana, dan Kanjuruhan

Overcapacity, kerusuhan, provokasi, dan serangan bukan pertama kalinya terjadi di sepak bola Indonesia, namun kejadian kemarin menelan korban jiwa yang sangat masif dibandingkan kejadian-kejadian sebelumnya.

Pada tahun Januari 2008, Aremania yang sangat memadati stadion Brawijaya Kediri membuat kerusuhan setelah timnya kalah melawan Persiwa Wamena. Kerusuhan tersebut sangat besar, bahkan terjadi pembakaran dan perusakan di dalam dan sekitar Stadion Brawijaya Kediri.

Ini juga bukan pertama kalinya stadion di Indonesia mengalami over capacity, pada 2010 pertandingan antara Persija dan Arema dihadiri oleh lebih dari 120.000 orang meskipun tiket hanya dijual sebanyak 80.000 penonton. Setelah pertandingan usai para suporter memasuki lapangan. 

Persija vs Arema 2008, rendahnya pagar stadion memudahkan suporter untuk meninggalkan tribun yang terlalu padat Sumber: Twitter @Bola_Jakarta
Persija vs Arema 2008, rendahnya pagar stadion memudahkan suporter untuk meninggalkan tribun yang terlalu padat Sumber: Twitter @Bola_Jakarta

Pada Pertandingan lebih panas, pada tahun 2019 The Jak Mania juga berbondong-bondong memasuki lapangan setelah Persija melawan Persib Bandung di Gelora Bung Karno, pagar GBK roboh tetapi tidak ada keributan.

Semua kejadian di atas terjadi tanpa ada korban jiwa.

Pada pertandingan tragis kemarin pelepasan gas air mata dari aparat ketika stadion masih ramai menjadi salah satu pembeda antara tragedi Kanjuruhan dengan keributan suporter-suporter sebelumnya. Hal tersebut mengulangi kesalahan yang sama dan terasa tidak belajar dengan tragedi-tragedi di stadion yang sebelumnya terjadi.

Selain itu, sebagaimana penulis telah jelaskan tempat yang luas adalah tempat paling aman apabila terjadi kepanikan kerumunan. Karena probabilitas terinjak, jatuh atau terdorong jauh lebih sedikit dibandingkan tempat-tempat sempit. Korban umumnya berjatuhan di pintu-pintu dan lorong stadion yang kecil. Sehingga lapangan seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi suporter untuk lari apabila terjadi kepanikan kerumunan, apalagi ketika tidak ada kelompok suporter lawan. 

Melindungi lapangan dari suporter yang masuk dapat dijustifikasi apabila masih terdapat pemain, official, dan perangkat pertandingan. Namun, setelah tidak ada perangkat pertandingan yang tersisa, keputusan aparat keamanan untuk tetap mengejar dan memukuli orang yang masuk ke lapangan seperti yang terjadi semalam justru patut menjadi catatan. 

Hal tersebut diperparah kelalaian panitia untuk membuka pintu stadion pasca pertandingan. Penonton justru terdesak untuk segera keluar melalui pintu-pintu stadion yang sempit, bertangga, dan terlambat dibuka. Tidak mengherankan, mayoritas penonton meninggal akibat kehabisan nafas dan terinjak yang disebabkan oleh penumpukan orang.

Hal lain yang menjadi catatan besar bagi penulis adalah Stadion Kanjuruhan.

Pagar stadion Kanjuruhan masih berdiri, terkesan aman, namun mengurung suporter ketika kekacauan. Sumber:  www.liputan6.com
Pagar stadion Kanjuruhan masih berdiri, terkesan aman, namun mengurung suporter ketika kekacauan. Sumber:  www.liputan6.com

Pertama adalah keputusan untuk justru menambah pagar tribun pasca renovasi baru-baru ini, sehingga terdapat dua pagar yang sangat tinggi antara tribun dan lapangan. Pada satu sisi hal tersebut tentu mengurangi potensi "pitch invasion" ke lapangan.

Namun, keputusan banyak liga untuk melarang pagar pembatas tribun permanen pasca Tragedi Hillsborough 1989 bukan tanpa alasan. Dengan pagar pembatas permanen yang sangat tinggi, penonton di Stadion Kanjuruhan tidak memiliki opsi lain untuk menyelamatkan diri dari kerumunan yang kacau dan gas air mata selain pintu tribun yang sudah dipenuhi orang. Pilihan aparat untuk terus melarang dan memukuli penonton yang turun ke lapangan juga memperparah permasalahan. 

Hal tersebut yang menurut hemat penulis membuat permasalahan over capacity dan kericuhan di Stadion Kanjuruhan menjadi jauh lebih berbahaya dibandingkan stadion-stadion lain seperti Gelora Bung Karno. Apabila terjadi kerusuhan atau overcapacity di GBK maka, penonton dapat dengan mudah lari ke lapangan untuk menghindari berdesak-desakan atau pusat kericuhan.

Tribun Stadion Kanjuruhan juga jauh lebih tinggi dibandingkan beberapa stadion di Indonesia sehingga perlu menaiki tangga untuk masuk ke stadion, ditambah dengan jumlah dan ukuran pintunya yang kecil dibandingkan kapasitasnya juga dapat menjelaskan mengapa keluar dari stadion menjadi jauh lebih sulit. 

Bandingkan dengan bentrokan tahun 2008 yang terjadi di Stadion Brawijaya Kediri. Pintu masuk dan keluar stadion jauh lebih luas relatif dengan kapasitasnya. Stadion brawijaya juga memiliki pintu masuk yang sejajar dengan tanah sehingga mempermudah suporter ke luar. Sehingga tidak ada orang yang terinjak-injak bahkan ketika kerusuhan terjadi hari itu.

Perbaikan Pendekatan Keamanan dan Peninjauan Kembali Stadion di Indonesia

Pitch invasion memang menjadi permasalahan di sepak bola, namun, percayalah bahwa pitch invasion tidak hanya terjadi di Indonesia. Pitch invasion di negara-negara yang kita bilang "supporternya lebih dewasa"pun sangat sering terjadi, di liga Inggris, Spanyol,  bahkan Final Liga Champions. Bedanya aparat di sana berhasil menangkap pelakunya tanpa memukuli dan memprovokasi kawan-kawannya sesama suporter untuk marah.

Aparat tentu memiliki prioritas untuk melindungi perangkat pertandingan dari suporter yang tiba-tiba masuk ke lapangan. Sehingga prioritas utama tentu mencegahnya sedari awal pitch invasion. Apabila sudah semakin banyak yang masuk ke lapangan, maka tentu perangkat pertandingan perlu diamankan. 

Namun, ketika perangkat pertandingan atau mungkin suporter away yang menjadi berpotensi menjadi objek amukan kerumunan suporter apa yang perlu diamankan? Tentu tidak ada, tidak ada lagi ancaman yang tercipta dari pitch invasion.  

Hal juga yang sering dilupakan adalah, pelaku pitch invasion sering kali hanya ingin berlari ke tengah lapangan untuk menunjukan kemarahannya tanpa merusak apapun. Tindakan aparat yang melakukan pemukulan pada suporter justru membuat dirinya sendiri jadi target pelampiasan emosi suporter. 

Terlebih pelemparan gas air mata terbukti selalu membuat penonton berbondong-bondong lari ke pintu tribun, berdesakan, dan menimbulkan korban jiwa yang mencapai ratusan, atau memancing emosi penonton untuk menyerang polisi. Pendekatan represif aparat sama saja dengan menyiram bensin ke api.

Selain itu, pilihan untuk aparat Indonesia untuk melindungi lapangan seperti singa melindungi teritorinya realitanya juga kontraproduktif. Lapangan adalah tempat paling aman ketika terjadi kerusuhan atau overcapacity, khususnya ketika sudah tidak ada kelompok suporter lawan dan perangkat pertandingan. Aparat harusnya memprioritaskan orang-orang yang paling rentan untuk turun ke lapangan alih-alih menggebuki semua yang berusaha lari dari sumber kericuhan.

Masalah stadion juga menjadi aspek yang perlu ditinjau ulang dalam persepakbolaan Indonesia. Masih banyak stadion di Indonesia memiliki pagar tribun yang sangat tinggi, mungkin dengan asumsi semakin tinggi pagar semakin sulit untuk penonton untuk loncat ke lapangan. 

Realitanya setinggi apapun pagarnya akan dipanjat juga oleh penonton yang memang ingin melakukan pitch invasion.

Sebaliknya, pagar-pagar tinggi dan kokoh stadion-stadion di Indonesia justru menjadi kerangkeng orang-orang tidak bersalah yang ingin menyelamatkan diri saat skenario terburuk terjadi. Pagar atau tembok yang tinggi juga berpotensi roboh dan menyebabkan korban ketika terjadi kerusuhan, seperti di Heysel 1985.

Robohnya pagar GBK pada 2019 memang terkesan memalukan, tapi menurut hemat penulis memang seperti itu seharusnya pagar tribun. Hanya sebatas pagar sosial, tidak lebih dari cone di jalan, pendek mudah diruntuhkan, dan kalau runtuh tidak akan meniban siapapun. 

Risiko ada suporter mabuk yang tiba-tiba lari ke lapangan memang lebih tinggi, dan risiko pertandingan terganggu juga lebih tinggi. Tapi kalau kita memang sepakat bahwa sepakbola tidak lebih mahal dari nyawa, kita harus pertimbangkan bahwa pembunuh suporter paling sukses adalah pagar-pagar dan tribun stadion yang memerangkap penonton yang ingin menyelamatkan diri.

Toh banyak stadion baru di Indonesia yang pagar tribunnya rendah, namun pertandingan tetap berjalan dengan baik seperti GBK, Patriot, Wibawa Mukti, sampai Gelora Bung Tomo.  

Tragedi Kanjuruhan merupakan panggilan untuk evaluasi aparat keamanan, dan keamanan stadion di Indonesia. Menurut hemat penulis, pasti akan ada "evaluasi" dari otoritas.

Tetapi kalau liga kembali berjalan aparat pengaman masih ikutan nonton bola, masih menggebuki suporter di stadion, masih membawa gas air mata ke stadion.

Kalau tiap-tiap stadion di Indonesia belum dikaji ulang kemananannya, perlu tidak ada pagarnya, apakah dapat ada bottleneck kalau penonton keluar.

Evaluasi, hanya evaluasi.

Mungkin ada penonton yang masuk ke lapangan di Kanjuruhan, tapi berapa banyak suporter yang masuk kelapangan ingin merusak atau melukai orang. Dari seluruh suporter yang berhasil masuk ke lapangan dan beritikad mencelakakan orang, berapa kemudian berhasil melukai atau membunuh orang yang dia incar? 

Yang jelas, selama ini aktor utama pembunuhan suporter adalah kegagalan manajemen kerumunan, gas air mata di dalam stadion, dan infrastruktur yang memerangkap mereka yang berusaha menyelamatkan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun