Pada Pertandingan lebih panas, pada tahun 2019 The Jak Mania juga berbondong-bondong memasuki lapangan setelah Persija melawan Persib Bandung di Gelora Bung Karno, pagar GBK roboh tetapi tidak ada keributan.
Semua kejadian di atas terjadi tanpa ada korban jiwa.
Pada pertandingan tragis kemarin pelepasan gas air mata dari aparat ketika stadion masih ramai menjadi salah satu pembeda antara tragedi Kanjuruhan dengan keributan suporter-suporter sebelumnya. Hal tersebut mengulangi kesalahan yang sama dan terasa tidak belajar dengan tragedi-tragedi di stadion yang sebelumnya terjadi.
Selain itu, sebagaimana penulis telah jelaskan tempat yang luas adalah tempat paling aman apabila terjadi kepanikan kerumunan. Karena probabilitas terinjak, jatuh atau terdorong jauh lebih sedikit dibandingkan tempat-tempat sempit. Korban umumnya berjatuhan di pintu-pintu dan lorong stadion yang kecil. Sehingga lapangan seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi suporter untuk lari apabila terjadi kepanikan kerumunan, apalagi ketika tidak ada kelompok suporter lawan.Â
Melindungi lapangan dari suporter yang masuk dapat dijustifikasi apabila masih terdapat pemain, official, dan perangkat pertandingan. Namun, setelah tidak ada perangkat pertandingan yang tersisa, keputusan aparat keamanan untuk tetap mengejar dan memukuli orang yang masuk ke lapangan seperti yang terjadi semalam justru patut menjadi catatan.Â
Hal tersebut diperparah kelalaian panitia untuk membuka pintu stadion pasca pertandingan. Penonton justru terdesak untuk segera keluar melalui pintu-pintu stadion yang sempit, bertangga, dan terlambat dibuka. Tidak mengherankan, mayoritas penonton meninggal akibat kehabisan nafas dan terinjak yang disebabkan oleh penumpukan orang.
Hal lain yang menjadi catatan besar bagi penulis adalah Stadion Kanjuruhan.
Pertama adalah keputusan untuk justru menambah pagar tribun pasca renovasi baru-baru ini, sehingga terdapat dua pagar yang sangat tinggi antara tribun dan lapangan. Pada satu sisi hal tersebut tentu mengurangi potensi "pitch invasion" ke lapangan.
Namun, keputusan banyak liga untuk melarang pagar pembatas tribun permanen pasca Tragedi Hillsborough 1989 bukan tanpa alasan. Dengan pagar pembatas permanen yang sangat tinggi, penonton di Stadion Kanjuruhan tidak memiliki opsi lain untuk menyelamatkan diri dari kerumunan yang kacau dan gas air mata selain pintu tribun yang sudah dipenuhi orang. Pilihan aparat untuk terus melarang dan memukuli penonton yang turun ke lapangan juga memperparah permasalahan.Â