Bagaimana Stadion Menjadi "Death Trap"
Gas air mata merupakan alat yang sangat efektif untuk menciptakan kepanikan dan membubarkan kerumunan secara cepat. Tetapi, membubarkan kerumunan secara cepat di stadion adalah pilihan paling buruk yang dapat diambil petugas keamanan.
Penulis pernah turut menangani kerumunan yang panik akibat gas air mata pada saat demonstrasi, hasilnya tidak ada satupun mahasiswa UI yang penulis tangani kehilangan nyawa, paling celaka menginap di rumah sakit. Namun, jalan di depan gedung DPR tentu berbeda dengan stadion. Ketika gas air mata dilepaskan pada kegiatan demonstrasi, kerumunan dapat lari secara leluasa, misalnya ke arah GBK, jalanan depan TVRI, sampai ke Senayan.Â
Berdasarkan pengamatan penulis, cedera paling sering kali terjadi di jalan-jalan yang lebih sempit seperti di Palmerah, dan JPO ke arah Semanggi karena berdesakan.
Stadion adalah tempat yang luas, tetapi pintu masuk dan keluarnya cenderung sempit. Umumnya pintunya kecil relatif dengan kapasitas dan tersebar jauh satu sama lain, terdapat tangga, dan terdapat berbagai pagar penghalang yang meningkatkan potensi bottleneck. Celakanya lagi, stadion-stadion di Indonesia cenderung memiliki pagar tribun yang menjulang tinggi, dan tribun yang tinggi dari tanah. Sehingga penonton tidak memiliki akses untuk keluar dari kerumunan yang mulai kacau dengan cara loncat ke lapangan.
Sederhananya, FIFA tidak melarang penggunaan gas air mata tanpa alasan. Beragam catatan sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan gas air mata justru memperkeruh keadaan dan menambah korban jiwa. Akses stadion yang cenderung kecil dan kapasitasnya yang besar akan menjadi botleneck bagi suporter yang panik ingin keluar akibat gas air mata. Bahkan dalam skenario kerusuhan, umumnya, penyabab kematian utama di stadion adalah berdesakan dan kehabisan nafas.Â
Blunder Besar Aparat dan Pelaksana, dan Kanjuruhan
Overcapacity, kerusuhan, provokasi, dan serangan bukan pertama kalinya terjadi di sepak bola Indonesia, namun kejadian kemarin menelan korban jiwa yang sangat masif dibandingkan kejadian-kejadian sebelumnya.
Pada tahun Januari 2008, Aremania yang sangat memadati stadion Brawijaya Kediri membuat kerusuhan setelah timnya kalah melawan Persiwa Wamena. Kerusuhan tersebut sangat besar, bahkan terjadi pembakaran dan perusakan di dalam dan sekitar Stadion Brawijaya Kediri.
Ini juga bukan pertama kalinya stadion di Indonesia mengalami over capacity, pada 2010 pertandingan antara Persija dan Arema dihadiri oleh lebih dari 120.000 orang meskipun tiket hanya dijual sebanyak 80.000 penonton. Setelah pertandingan usai para suporter memasuki lapangan.Â