Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penanganan Dugaan Korupsi UNJ, "New Normal" KPK?

24 Mei 2020   19:20 Diperbarui: 24 Mei 2020   19:36 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswi yang membawa tuntutan untuk mencabut Revisi UU KPK, kalau melihat bagaimana KPK menangani kasus di kampusnya, tuntutan ini sangat masuk akal https://wow.tribunnews.com

Penghujung 2019 merupakan waktu yang sangat mendebarkan bagi dunia pemberantasan korupsi Indonesia sebab Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sedang dibahas di DPR. Tidak hanya itu, KPK juga sedang menjalani perubahan kepemimpinan, dan beberapa calon mendapat persepsi yang buruk dari publik. 

KPK bahkan membeberkan dugaan pelanggaran etik Irjen Firli Bahuri saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK di gedung Merah Putih. Tapi apa daya, Firli Bahuri tetap berhasil menjadi ketua KPK, sementara Revisi Undang-Undang KPK berhasil disahkan. 

Beberapa waktu lalu, KPK dibawah kepemimpinan Firli Bahuri melakukan operasi tangkap tangan pertamanya, dan menemukan dugaan penyerahan uang dari pihak Rektor UNJ kepada pejabat di Kemendikbud sebesar 25,5 juta Rupiah dan US$ 1.200. Anehnya, KPK justru menyerahkan kasus tersebut ke kepolisian, dan sampai sekarang pihak kepolisian masuh belum menetapkan tersangka atas kasus ini. 

Menelaah Nalar KPK dibawah Pimpinan Firli Bahuri

PLT Juru Bicara KPK menjelaskan bahwa pelimpahan kasus ke kepolisian adalah karena pihaknya belum menemukan unsur pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara.  Dengan demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang KPK harus dierahkan ke kepolisian. 

Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan, mengingat berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN (yang penulis download dari website KPK), pejabat negara juga mencakup:

"Pejabat  lain  yang  memiliki  fungsi  strategis  dalam  kaitannya  dengan  penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang dijelaskan dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut sebagai: 

"Yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi strategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraannegara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:

...

3. Pimpinan Perguruan Tinggi"

 Setelah dikritik banyak pihak, KPK mengklarifikasi bahwa status bukan penyelenggara negara merujuk pada Kepala Bagian Kepegawaian UNJ, Dwi Achmad Noor, yang tertangkap dengan barang bukti pada 20 Mei 2020. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi sendiri tidak mendefinisikan "pimpinan perguruan tinggi", sementara Rektor dinyatakan sebagai "Pemimpin Perguruan Tinggi". Namun apabila mengacu pada website kampus pada umumnya, pimpinan kampus umumnya dipahami sebagai Rektor dan Wakil Rektor.

Terlapas dari siapa yang tertangkap pada OTT, hal yang ganjil adalah karena Deputi Penindakan KPK sendiri yang menyebutkan bahwa:

"Rektor UNJ sekitar tanggal 13 Mei 2020 diduga telah meminta kepada Dekan Fakultas dan Lembaga di UNJ untuk mengumpulkan uang THR masing-masing Rp 5 juta melalui Dwi Achmad Noor,"

Adapun uang tersebut, diserahkan ke sebagian pejabat Kemendikbud seperti Karo SDM, Analisis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud, dan Staf SDM Kemendikbud. Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan publik, mengapa alih-alih melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang keterlibatan Rektor UNJ yang jelas-jelas penyelenggara negara, mengapa KPK langsung menyerahakan kasus tersebut pada Kepolisian?

Padahal KPK pernah menunjukan keberhasilannya mengusut korupsi di dunia pendidikan. Salah satunya adalah kasus Korupsi dana Perpustakaan UI yang menyeret Warek Bidang II UI Tafsir Nurchamid, dan empat pihak lainnya.

Revisi Undang-Undang KPK Terbukti Menyulitkan KPK

https://news.detik.com/
https://news.detik.com/
Hal lain yang "menjagal" kasus ini untuk ditangani KPK adalah perubahan Pasal 11 dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU KPK yang meyatakan: 

"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:

a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/ atau 

b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)." 

Apabila, ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka KPK wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntukan kepada kepolisian dan kejaksaan.

Syarat agar KPK berwenang tersebut lebih sulit dipenuhi dibandingkan pasal yang sama Undang-Undang KPK yang asli No. 3 Tahun 2002 yang menyatakan:

"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : 

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 

b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 

c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."

Terdapat dua perbedaan dalam kedua undang-undang tersebut, pertama menghilangnya unsur "mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat", dan munculnya kewajiban menyerahkan kasus ke kepolisian dan kejaksaan apabila syarat agar KPK berwenang tidak terpenuhi.

Andai saja Revisi Undang-Undang KPK tidak disahkan, mungkin saja KPK dapat tetap memilih untuk menindaklanjuti kasus ini mempertimbangkan perhatian dan keresahan masyarakat yang besar. Penulis sendiri berharap bahwa melalui kasus ini dapat diketahui pola-pola korupsi di bidang yang dijamin mendapatkan minimal anggaran 20% dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini.

New Normal yang Tidak Diharapkan

Kekhawatiran masyarakat terhadap KPK sepertinya semakin terbukti, pimpinan baru KPK yang sempat dikritik pada proses pemilihannya menjadi sorotan, begitu pula dengan Undang-Undang yang katanya "memperkuat" KPK. OTT pertama KPK di era Firli tentu sangat mengecewakan, kok bisa ada dugaan keterlibatan pimpinan kampus, kemudian tiba-tiba ada pernyataan tidak ditemukan unsur penyelenggara negara? 

Kenapa KPK tidak memilih untuk menyelidiki lebih lanjut keterlibatan para pihak dalam kasus ini, alih-alih langsung menyerahkannya kepada kepolisian? Hal tersebut tentu sangat berpotensi meruntuhkan kredibilitas lembaga yang sempat menjadi kesayangan rakyat ini.

Lebih lanjut, Undang-Undang KPK yang katanya "menguatkan" terbukti justru mempersempit kewenangan lembaga anti rasuah ini. OTT pertama KPK era Firly bukannya menimbulkan harapan, justru menunjukan secara jelas kepada kita semua, "new normal" dari KPK di paruh kedua pemerintahan Joko Widodo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun