Revisi Undang-Undang KPK Terbukti Menyulitkan KPK
"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/ atauÂ
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."Â
Apabila, ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka KPK wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntukan kepada kepolisian dan kejaksaan.
Syarat agar KPK berwenang tersebut lebih sulit dipenuhi dibandingkan pasal yang sama Undang-Undang KPK yang asli No. 3 Tahun 2002 yang menyatakan:
"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :Â
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;Â
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atauÂ
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."
Terdapat dua perbedaan dalam kedua undang-undang tersebut, pertama menghilangnya unsur "mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat", dan munculnya kewajiban menyerahkan kasus ke kepolisian dan kejaksaan apabila syarat agar KPK berwenang tidak terpenuhi.
Andai saja Revisi Undang-Undang KPK tidak disahkan, mungkin saja KPK dapat tetap memilih untuk menindaklanjuti kasus ini mempertimbangkan perhatian dan keresahan masyarakat yang besar. Penulis sendiri berharap bahwa melalui kasus ini dapat diketahui pola-pola korupsi di bidang yang dijamin mendapatkan minimal anggaran 20% dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini.
New Normal yang Tidak Diharapkan
Kekhawatiran masyarakat terhadap KPK sepertinya semakin terbukti, pimpinan baru KPK yang sempat dikritik pada proses pemilihannya menjadi sorotan, begitu pula dengan Undang-Undang yang katanya "memperkuat" KPK. OTT pertama KPK di era Firli tentu sangat mengecewakan, kok bisa ada dugaan keterlibatan pimpinan kampus, kemudian tiba-tiba ada pernyataan tidak ditemukan unsur penyelenggara negara?Â
Kenapa KPK tidak memilih untuk menyelidiki lebih lanjut keterlibatan para pihak dalam kasus ini, alih-alih langsung menyerahkannya kepada kepolisian? Hal tersebut tentu sangat berpotensi meruntuhkan kredibilitas lembaga yang sempat menjadi kesayangan rakyat ini.
Lebih lanjut, Undang-Undang KPK yang katanya "menguatkan" terbukti justru mempersempit kewenangan lembaga anti rasuah ini. OTT pertama KPK era Firly bukannya menimbulkan harapan, justru menunjukan secara jelas kepada kita semua, "new normal" dari KPK di paruh kedua pemerintahan Joko Widodo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H