Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Berlari dengan Sepatu yang Berbeda #3: Infrastruktur dan Finansial, Penyebab Kolapsnya Klub Indonesia Timur

10 Mei 2020   01:44 Diperbarui: 10 Mei 2020   02:05 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu stadion paling angker: Stadion Pendidikan Wamena - sumber: http://jeckosatrio.blogspot.com/

sumber: instagram.com/badaklampungfc
sumber: instagram.com/badaklampungfc

Patut diakui, pada era moderen komersialisasi sepak bola tidak terhindarkan untuk menjamin majunya sebuah liga dan (mungkin saja) tim nasional. 

Sepak bola moderen bukan lagi permainan yang dimainkan di lapangan becek pada sore hari dan ditonton warga sekitar. Sepak bola moderen dimainkan di lapangan rata pada malam hari untuk menyesuaikan jadwal tayang, untuk memastikan ditonton banyak orang, sehingga orang melihat sponsor yang ditampilkan di pinggir stadion atau baju pemain. 

Dari sponsor tersebut maka dapat didatangkan pemain asing berkualitas untuk berkompetisi dengan pemain lokal yang tumbuh dari akademi yang berkualitas.

Dari apa yang diupayakan dalam satu setengah dekade terakhir, Indonesia terlihat meniginkan hal tersebut dengan segara kekurangannya. Sayangnya sepertinya Liga Indonesia mengasumsikan semua tim "berlari" dengan sepatu yang sama. 

Faktanya Indonesia tidak seperti Inggris dimana pembangunannya cukup merata, mungkin lebih mirip seperti Jerman pasca unifikasi padah tahun 1991 dimana sebagian wilayahnya jauh lebih makmur dibandingkan wilayah lainnya. Kesenjangan pasca unifikasi Jerman ternyata membuat tim-tim eks Jerman Timur langsung tidak kompetitif dibandingkan Jerman Barat. 

Kasus Indonesia memang tidak seperti Jerman dimana dua negara dan dua liga digabungkan, namun sepak bola moderen ternyata sulit untuk menciptakan kompetisi yang adil dalam hal terdapat disparitas ekonomi yang besar antar wilayah.

Sebut saja perkara infrastruktur, tentu bukan salah tim sepak bola dari kota kecil apabila stadionnya tidak memadai. Toh, semua tim Indonesia masih menyewa stadion yang umumnya dimiliki oleh pemerintah daerah yang sayangnya tidak merata di seluruh Indonesia. 

Ketika pemerintah daerah kota-kota yang cukup makmur dapat membangun stadion super megah seperti Baltakan di Balikpapan, Aji Imbut di Tenggarong, atau Bandung yang punya beberapa stadion sekaligus. Mungkin hanya Stadion Mandala Jayapura yang dapat menampung lebih dari 25.000 orang di kawasan timur Indonesia.

Lebih lanjut, penulis juga masih sangat mempertanyakan format Liga 1 yang tidak menggunakan sistem wilayah. Sekedar perbandingan, NBA dan MLS yang memiliki perputaran uang yang jauh lebih besar masih menggunakan sistem wilayah barat dan wilayah timur. 

Hal tersebut diperparah dengan keadaan Indonesia sebagai negara kepulauan yang membuat perjalanan bagi tim-tim di ujung negeri menjadi tidak hanya melelahkan namun juga mahal. Penerbangan Aceh ke Jayapura saja bisa memakan waktu satu hari dengan tiga kali transit menggunakan pesawat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun