Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penanganan Covid-19 yang "Impromptu" dan Regulasi yang Belum Siap

29 Maret 2020   02:14 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:00 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Lock Down" mandiri oleh warga. [Foto Istimewa via okezone.com]

Tentu tidak ada yang mengharapkan pandemi, tapi toh beberapa ahli berpendapat dengan tindakan manusia yang terus membuka kotak pandora alam dan semakin cepatnya interaksi manusia, pandemi global semakin menjadi ancaman yang nyata. 

Tentu saya juga tidak bisa memprediksi kapan dan bagaima pandemi selanjutnya datang [atau mengharapkannya], namun tentu tidak ada salahnya melihat regulasi yang sudah kita punya dan kita tidak punya dalam menghadapinya.

Covid-19 memberikan kita visualisasi nyata bagaimana tidak efektifnya pemerintah dalam menangani pandemi global. Mulai dari awal kita disuguhkan tweet tidak lucu Menko-Polhukam tentang corona tidak masuk ke Indonesia karena perizinan yang berbelit-belit [yang membuat saya semakin curiga dengan wacana penyederhanaan perizinan omnibus law] . 

Kontroversi lock down dan tidak, yang seakan menjadi keributan politis antara pemda dan pusat alih-alih menjadi perdebatan ilmiah. Sampai penanganan tidak responsif negara yang berimbas pada tenaga kesehatan dan masyarakat.

Hal tersebut membuat pertanyaan apakah kita tidak punya struktur hukum yang cukup pasti untuk menjadi landasan pemerintah bertindak? Sampai-sampai hal yang sepatutnya dikerjaan dengan cepat, tanggap, dan pasti menjadi perdebatan yang politis, bertele-tele, dan berakibat pada lambatnya respon negara.

"Lock Down" mandiri oleh warga. [Foto Istimewa via okezone.com]

Undang-Undang yang Cukup Kuat, Namun Tumpang Tindih

Penanganan wabah dan karantina menjadi cukup rumit karena setidaknya terdapat tiga undang-undang yang mengatur seputar wabah, pandemi, dan karantina.

Undang-Undang yang pertama adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Walaupun namanya tidak mengesankan keterkaitan dengan wabah, Undang-Undang Penanggulangan Bencana mengklasifikasikan epidemi dan wabah penyakit sebagai bencana non-alam. 

Undang-Undang ini menjadi dasar pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang berfungsi sebagai perumus dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana, serta pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana.

Undang-Undang Kedua adalah Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang memberikan kewenangan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina. Meskipun demikian, Undang-Undang Kesehatan tidak mendefinisikan apa yang dimaksud sebagai Karantina.

Terakhir dan paling mutakhir adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Undang-Undang Karantina Kesehatan mendefinisikan Karantina sebagai;

"Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau Barang di sekitarnya."

Undang-Undang Karantina Kesehatan dapat menjadi  dasar hukum "lock down" yang diatur dengan istilah "Karantina Wilayah", "social distancing" yang diatur dengan istilah "Pembatasan Sosial Berskala Besar", di samping itu terdapat pengaturan tentang Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Isolasi. Pasal 49 Undang-Undang Karantina Kesehatan sendiri memberikan kewenangan pada Menteri Kesehatan untuk menetapkan Karantina Kesehatan dan Pembatasan Sosial.   

Jadi apabila dilihat kembali sebanarnya Indonesia memiliki undang-undang yang memungkinkan Karantina Kesehatan dalam berbagai bentuk mulai dari karantina rumah, "social distancing", sampai "lock down". Selain itu secara kelembagaan undang-undang yang ada mengadakan lembaga-lembaga seperti BNPB, Pejabat Karantina Kesehatan, dan keterlibatan pemerintah daerah yang dapat dioptimalisasi dalam penanganan wabah.

Sayangnya dalam beberapa hal terdapat ketidak-harmonisan regulasi, sebagai contoh BNPB yang menjadi lembaga sentral dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana tidak disebutkan sama sekali dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan. 

Termasuk ketentuan kontradiktif antara Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Karantina Kesehatan yang memicu kegamangan apakah sebenarnya Pemda bisa serta-merta melaksanakan Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Legislasi Bidang Kesehatan Masih Terpinggirkan

Dalam konteks negara hukum melayani rakyatnya, hukum dapat dilihat dalam dua sisi pertama untuk membatasi agar negara tidak melakukan hal-hal yang tidak kehendaki seperti melakukan kekerasan, bertindak sewenang-wenang, dan hal-hal buruk lainnya. 

Pada sisi lain asas legalitas juga mendorong agar tindakan-tindakan aparatur negara didasarkan peraturan yang berlaku. Menurut hemat saya, untuk menangani bencana termasuk wabah selain memerlukan dokter-dokter yang tangguh. Kita memerlukan sistem kesehatan yang menjamin masyarakat dan aparatur negara dapat menangani wabah secara efektif dan sistematis, dimana sistem tersbut dibungkus dalam peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana saya bahas diatas, sebenarnya tidak ada yang teralu bermasalah dalam undang-undang kita kecuali beberapa tumpang tindih kewenangan. Dalam pandangan saya Undang-Undang Karantina Kesehatan sebenarnya sudah sangat memumpuni untuk melakukan tindakan-tindakan negara dan mengatur masyarakat terkait hal-hal yang sekarang masih bermasalah seperti pemantauan bandara dan pelabuhan,"social distancing", "lock down", sampai penanganan jenazah atau benda-benda lain yang berpotensi menyebarkan penyakit. Lantas kenapa penanganan pandemi kita masih sangat bermasalah?

Karena hukum tidak berhenti di undang-undang, pada akhirnya undang-undang hanya mengatur secara umum-abstrak, dan tidak mungkin mengatur hal-hal teknis. Misalnya, undang-undang mengatur tentang karantina wilayah dalam hal kedaruratan kesehatan dunia. Namun hal-hal teknis seperti apa yang harus dilakukan tiap-tiap aparatur negara, siapa yang bertanggung jawab, bagaimana mengecek orang-orang yang datang untuk tiap-tiap jenis penyakit, dan hal-hal lainnya tentu teralu teknis untuk diatur dalam undang-undang.

Hal tersebut menjadikan peraturan pelaksana menjadi penting, mengatur lebih lanjut hal-hal teknis untuk menjalankan undang-undang baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Pengaturan-pengaturan yang membahas apa yang sepatutnya terjadi (das solen) dalam Undang-Undang bisa jadi tidak secara efektif dilaksanakan karena masih tidak adanya peraturan pelaksana. Simpelnya, aparatur negara menjadi tidak efektif dalam menjalankan kebijakan dalam undang-undang karena tidak punya landasan teknis untuk melaksanakannya.

Dalam tabel berikut, saya menjajakan data mengenai peraturan pelaksana apa saja yang diamantakan dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Karantina Kesehatan yang sudah atau belum diimplementasikan oleh pemerintah.Undang-Undang Kesehatan tidak saya bahas dalam bab ini karena pengaturan yang relatif sedikit terkait wabah dibandingkan kedua undang-undang tersebut. Adapun yang menjadi acuan keberadaan regulasi tersebut adalah JDIH Setneg, Website Kemenkes, dan memasukan kata kunci ke Google, pencarian ini dilakukan pada tanggal 28 Maret 2020. 

Hasilnya adalah sebagai berikut:

Undang-Undang no. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

tangkapan layar Undang-Undang no. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
tangkapan layar Undang-Undang no. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-Undang N0. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan

Tangkapan layar Undang-Undang N0. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan
Tangkapan layar Undang-Undang N0. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan

tangkapan layar Undang-Undang N0. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan
tangkapan layar Undang-Undang N0. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan

tangkapan layar Undang-Undang N0. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan
tangkapan layar Undang-Undang N0. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan
Temuan yang bagi saya menarik adalah fakta bahwa setelah 13 tahun berlakunya Undang-Undang Penanggulangan bencana, masih ada satu Perpres yang masih belum diterbitkan. Padahal Perpres mengenai penetapan status dan tingkatan bencana tersebut cukup krusial, sebab beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah Penanggulangan Bencana menjadikan "status dan tingkatan bencana" sebagai acuan dalam bertindaknya apartur negara.

Yang paling bermasalah dan menjadi jawaban paling kongkrit kenapa aparatur pemerintah terlihat sangat kalang-kabut dalam mengangani corona sekarang adalah tidak adanya peraturan pelaksana Undang-Undang Karantina Kesehatan. Undang-Undang Karantina Kesehatan memang memberikan tenggat waktu tiga tahun untuk penyusunan peraturan pelaksana, dan sekarang masih memasuki tahun kedua. Namun, sayangnya Covid-19 tidak mempedulikan ketentuan tenggat waktu dalam Pasal 96 tersebut, dan mental "deadliner" ala mahasiswa dalam penyusunan peraturan ternyata menimbulkan dampak yang sangat mahal.

Belum terbentuknya beberapa Peraturan pemerintah patut sangat disesali dan berdampak pada kita semua. Kalau saja "Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pelaksanaan Karantina Wilayah di Pintu Masuk dalam hal Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia" sudah ada sekarang, mungkin kita sudah dapat mengantisipasi Covid-19 bahkan sebelum virus tersebut masuk ke Indonesia, alih-alih menjadikannya bahan becandaan Menko-Polhukam. 

Lebih lanjut apabila kita memiliki  "Peraturan Pemerintah mengenai Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat" tentu tidak ada perdebatan politis menyebalkan antara pemerintah dan pemerintah daerah atau tarik ulur antara masyarakat sipil dan negara tentang keputusan lock down. Karena seandainya kita punya peraturan tersebut, kita punya ketentuan teknis yang tidak perlu diperdebatkan sementara virus terus menyebar.

Mengenai Peraturan Menteri, sebaenarnya kita cukup beruntung karena Undang-Undang Karantina Kesehatan hanya mencabut Undang-Undang No. 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1962 tentang Karantina udara, tanpa mencabut peraturan pelaksananya. Dengan demikian, "di atas kertas" peraturan turunannya yang umumnya dalam format Keputusan Menteri Kesehatan masih hidup walaupun implementasinya masih patut dipertanyakan. Namun, mengingat adanya perbedaan konektivitas dunia yang berimbas pada kecepatan penyebaran virus, serta perbedaan teknologi yang sangat kontras dengan antara tahun 1962 dan tahun 2020. Tentu ada sesuatu yang sangat bermasalah, dan masuk akal kenapa penanganan pandemi Indonesia sangat bermasalah ketika kita masih menggunakan peraturan pelaksana Undang-Undang tahun 1962 di tahun 2020.

(AFP/Adek Berry)
(AFP/Adek Berry)
Penanganan Pademi dan Wabah Tidak Boleh Impromptu Lagi

Alangkah tidak beruntungnya kita sebagai bangsa karena Covid-19 datang sebelum "deadline" penyusunan peraturan pelaksana Undang-Undang Karantina Kesehatan. Apabila Menkes Terawan [entah bagaimana caranya] tetap dipercaya Presiden Joko Widodo setelah pandemi Covid-19 tentu dia memiliki beban berat bersama dengan Menkumham Yasonna Laoly untuk menyusun peratuan-peraturan pelaksana di atas. Setidaknya wabah Covid-19 akan memicu para sarjana kesehatan masyarakat untuk lebih banyak menulis tentang penanganan wabah, dan memberikan banyak referensi negara yang berhasil menangani "airbourne disease" yang memang sangat cepat penyebarannya.

Dalam hemat saya, perubahan Undang-Undang mungkin mungkin belum teralu diperlukan dan permasalahan tumpang-tindih kewenangan dapat diakali dengan pengaturan yang baik dalam peraturan pelaksana. Saya rasa Undang-Undang Karantina Kesehatan masih cukup memadai dan relatif muda, teralu cepat dihakimi sebagai undang-undang yang perlu direvisi. Yang patut disegerakan di tengah fokus pemerintah memperbaiki regulasi sektor perekonomian adalah penyusunan peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut.

Penanganan Covid-19 yang bermasalah dan terkesan impromptu oleh negara harus dievaluasi besar-besaran. Evaluasi tersebut tentu harus melibatkan publik termasuk ahli kesehatan masyarakat untuk memberikan masukan terkait penanganan wabah, maupun melakukan komparasi dengan negara-negara lain. Berdasarkan evaluasi dan studi yang melibatkan masyarakat maka perlu disusun naskah akademik untuk mendasari penerbitan peraturan-peraturan yang sepatutnya diterbitkan.

Tentu besar harapan saya melalui penyusunan peraturan pelaksana yang sehat dan didasari oleh naskah akademik yang ilmiah dan partisipatif. Maka Indonesia dapat memiliki pedoman jangka panjang dalam menghadapi pandemi global dan wabah dalam bentuk lainnya. Rakyat tidak perlu menonton perdebatan menyebalkan antara pemerintah pusat dan daerah, lawakan tidak lucu dari para pejabat, dan penanganan yang impromptu. Kita perlu sistem kesehatan yang efisien dan tanggap, dimana sistem tersebut dibungkus dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum. Perdebatan harus ada, namun dalam penyusunan regulasi, ketika masyarakat dan ahli dilibatkan kemudian difasilitasi untuk memberikan masukannya masing-masing dalam menggodok peraturan-peraturan yang meminimalisasi dampak bencana yang paling dikhawatirkan Bill Gates tersebut.

Dapat disimpulkan regulasi kita tidak siap hari ini. Kita tidak pernah tahu kapan wabah akan muncul, namun apabila hukum masih dalam keadaan status quo, maka kita tetap akan berkutat dengan sistem penanganan wabah yang (maaf) memalukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun