Legalisasi Prostitusi?: Memahami Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang  Â
Dalam merumuskan Rancangan Undang-Undang, tetntu penting untuk mempertimbangkan Undang-Undang lainnya untuk menciptakan perundang-undangan yang sinkron antara satu dan lainnya. Sangat wajar bahwa RUU Penghapusan kekerasan seksual hanya memidana orang yang melacurkan seseorang, sebab Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memiliki paradigma yang sama. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang menempatkan orang yang dieksplotiasi secara seksual sebagai korban termasuk pekerja seks yang memiliki mucikari. Â Â
 Konstruksi pasal demikian sangat masuk akal dengan keadaan di Indonesia dimana kegiatan prostitusi sangat berkaitan dengan eksploitasi anak. Faktanya, terdapat 18.747 kasus eksplotasi seksual anak di Indonesia, di Bandung saja ditemukan 257 kausus jual beli anak, dan beberapa penemuan jual beli anak untuk kegiatan seks lainnya.[1] Selain itu, juga terdapat banyak kasus dimana prostitusi merupakan skema jeratan perdagangan manusia yang sistematis, dan didorong oleh keadaan ekonomi. [2] Lebih lanjut prostitusi anak tidak dapat dilihat sebagai masalah kesusilaan dari pekerja seks saja, melainkan kombinasi dari faktor-faktor pendorong dan penarik seperti konsumerisme, disintegrasi keluarga, dan kejahatan yang terorganisir.[3] Terlepas dari stigma yang ada, patut diakui bahwa pekerja seks merupakan korban dari eksploitasi seksual yang ada dan skematis di Indonesia.   Â
Dari elaborasi di atas sangat masuk akal apabila Undang-Undang Perdagangan Orang, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengincar mucikari untuk dipidana. Sementara bagi korban ekspolitasi seksual berhak mendapatkan restitusi dan rehabilitasi dalam Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, termasuk rehabilitasi sosial seperti kemampuan kerja.Â
Memidana pekerja seks yang dilakukan secara sukarela mungkin saja dilakukan atas nama kesusilaan, namun menurut pandangan penulis prostitusi yang dilakukan secara sukarela bukan kekerasan seksual sehingga tidak tepat diatur di RUU-PKS. Terlebih lagi, untuk memisahkan melalui pembuktian di pengadilan antara yang sukarela , atau sebenarnya korban eksplotasi seksual merupakan sesuatu yang sulit kalau tidak mungkin sehingga sangat berpotensi memidana mereka yang memerlukan rehabilitasi dan restitusi.Â
Dapat memidana ibu yang mendorong anak perempuannya berhijab?: Tidak, mana mungkin.
Kekhawatiran yang ini, sangat tidak masuk akal jujur penulis tidak paham pasal mana yang dimaksud atau darimana isu ini muncul. Tapi dari draft yang ada, tidak ada pasal yang melarang sosialisasi pakaian, atau pemaksaan penggunaan pakaian.
Kesimpulan
Dari elaborasi di atas dapat disimpulkan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak ada hubungannya dengan seks bebas atau LGBT, karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak sama sekali mengatur kedua hal tersebut.Â
Kenapa tidak diatur, karena RUU Penghapusan kekerasan seksual hanya mengatur seputar kekerasan seksual, bukan kesusilaan. Meskipun terkadang sama-sama erat dengan seksualitas, keduanya memiliki perbedaan yang fundamental yang membuat kesusilaan tidak tepat diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Lebih lanjut, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak mendekriminalisasi aborsi, dan justru melengkapi pasal-pasal dalam UU Kesehatan. Sementara pasal mengenai perdagangan se sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan keadaan masyarakat. Terkait dengan marital rape tentu kita harus maju ke paradigma modern dimana perkawinan tidak lagi dianggap sebagai lisensi untuk memerkosa.
RUU Kekerasan Seksual belum sempurna, dan semua RUU memang perlu dikritisi dan diperbaiki  untuk mendorong perbaikan hukum di Indonesia dan akses keadilan bagi rakyat.Â
Namun tentu pernyataan-pernyataan minim data, dan tanpa analisis terhadap struktur hukum tentu tidak dapat menjadi acuan untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.Â
Bahkan beberapa tudingan miring terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak memiliki dasar, spekulatif, dan cenderung mengarah ke hoax. Bencana sosial yang muncul  jika tidak disahkan? 6.507 kasus kekerasan seksual (dilaporkan dan ditangani komnas Perempuan Catahu 2017), 5.649 kasus kekerasan seksual (dilaporkan dan ditangani komnas Perempuan Catahu 2018), 355.062 kasus kekerasan seksual pada 2018 (menurut komisaris komnas perempuan), Kasus Sitok dan daftar panjang kasus kekerasan seksual yang mangkrak.dan daftar panjang kasus kekerasan seksual yang mangkrak  akan terus bertambah membayangi berita dan catatan-catatan akhir tahun LSM dan lembaga pemerintahan.
Bila anda berkenan, ayo dukung petisi mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seskual:
https://www.change.org/p/dpr-ri-sahkan-uu-penghapusan-kekerasan-seksual-mulaibicaraÂ
Baca Artikel Bagian Lainnya:
Artikel 1 Menjawab Hoaks dan Kesalahpahaman Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Artikel 2 Menjawab Hoax dan Kesalahpahaman RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bagian II
Artikel 3 Menjawab Hoaks dan Kesalahpahaman Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bagian III
__________
[1] Rumah Faye, "Fakta Jual Beli Seks Online di Indonesia" rumahfaye.or.id, diakses 29 Januari 2019.
[2] Baca Lebih Lanjut:
rumahfaye.or.id 1, rumahfaye.or.id 2
voaindonesia.comÂ
[3] Untuk memahami lebih lanjut baca: icjr.or.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H