KONGRES Luar Biasa Partai Demokrat yang diselenggarakan di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3/21) bukanlah akhir dari sengkarut yang terjadi di internal partai berlambang mercy tersebut. Justeru, ini adalah babak baru dari perseteruan dua kubu yang masing-masing mengklaim sebagai pihak yang benar. Pertama kubu AHY dan yang kedua adalah kubu Moeldoko. Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB.Â
Hampir dipastikan akan terjadi saling sikut, saling serang dan saling menjatuhkan diantara dualisme kepemimpinan tersebut. Namun, saya tidak akan masuk ke ranah itu. Pada kesempatan ini, saya hanya akan mencoba menyelami isi pikir KSP Moeldoko yang memaksakan diri "merebut" kepemimpinan Partai Demokrat.Â
Saya rasa, alasan yang paling mendasar dari tindakan Moeldoko sangat mudah ditebak. Yakni, ingin terus menjaga eksistensi diri pasca Presiden Jokowi tidak lagi menjabat, sekaligus berkeinginan nyapres pada Pilpres 2024.Â
Untuk bisa mengikuti kontestasi Pilpres tentu saja tidak gampang. Begitu banyak syarat yang harus bisa dilalui oleh siapapun calon kandidat, salah satunya memiliki nilai atau posisi tawar yang kuat di mata publik dan partai politik, atau memiliki kendaraan politik sendiri.Â
Nah, berangkat dari sini, sepertinya Moeldoko lebih memilih memiliki partai politik sendiri. Hanya saja, mantan Panglima TNI ini tidak mau bersusah payah mendirikan partai. Dia lebih memilih jalan pintas dengan merebut kepemimpinan Partai Demokrat.Â
Pertanyaannya, kenapa harus Partai Demokrat dan kenapa tidak partai lain? Menurut amatan sederhana saya, setidaknya ada empat alasan.Â
Pertama, Partai Demokrat adalah partai yang memiliki sejarah cukup bagus. Partai ini bagaimanapun pernah keluar sebagai pemenang pemilu, pada tahun 2009 lalu.Â
Kedua, Â Partai Demokrat masih memiliki jumlah pendukung lumayan banyak. Paling tidak hal ini dibuktikan dengan 54 kursi anggota DPR RI.Â
Ketiga, Partai Demokrat adalah yang lebih mudah digoyang. Dalam hal ini, Moeldoko mungkin saja sudah mengendus adanya indikasi keretakan di dalam tubuh internal partai yang berdiri pada tanggal 9 September 2001 tersebut. Maka, dengan mudah bisa menghasut atau tepatnya mengajak kerjasama pihak-pihak yang selama ini kurang suka terhadap kepemimpinan AHY.Â
Benar saja, ternyata setelah dibongkar, cukup banyak para petinggi Partai Demokrat yang akhirnya buka-bukaan tentang kebobrokan yang terjadi dalam tubuh Partai ini. Sehingga pada akhirnya telah kita saksikan bersama, mereka menjadi penggagas diselenggarakannya KLB Deli Serdang. Dan, menobatkan Moeldoko sebagai ketua umumnya.Â
Keempat, Partai Demokrat adalah partai oposisi. Artinya, bila partai ini bisa dikuasai, maka akan sangat membantu meringankan beban pemerintah dalam menjalankan kebijakan dan roda pemerintahannya. Sebab, salah satu partai oposisi telah mampu dipegang oleh orang pemerintahan yang sudah barang tentu bakal berbalik menjadi partai pendukung pemerintah.Â
Pertanyaan lain, kenapa KSP Moeldoko tidak memilih PAN atau PKS, yang juga sama-sama partai oposisi? Â Untuk pertanyaan ini, rasanya juga tidak cukup sulit.Â
PAN tidak dilirik oleh Moeldoko karena meski statusnya sebagai partai oposisi, namun kecenderungannya arah politik mereka justeru sejalan dengan pemerintah. Dengan kata lain, boleh disebut bahwa PAN adalah partai oposisi rasa koalisi. Terbukti, PAN juga menjadi salah satu partai politik yang mendukung penolakan revisi UU Pemilu. Dengan begitu, PAN dianggap sebagai partai yang tidak akan membahayakan terhadap pemerintah.Â
Sementara untuk PKS, saya rasa bukan masalah tak dilirik, melainkan mendobrak partai ini bukanlah perkara gampang, bahkan sangat sulit. Pasalnya, partai dakwah ini adalah partai ideologi, yang tidak sembarang orang bisa memimpin partai tersebut. Beda halnya dengan Partai Demokrat yang nasionalis dan demokratis, tentu akan sangat jauh lebih mudah mengendalikannya.Â
Mungkin itu amatan sederhana saya tentang alasan KSP Moeldoko memilih Partai Demokrat untuk dikuasai. Namun, begitu lepas dari segala kepentingan politik, apa yang dilakukannya kurang terpuji. Moeldoko mendapatkan posisi ketua umum partai sungguh tidak elok dan terlalu memaksakan diri. Meski, mungkin kesalahan tersebut tidak hanya dari Moeldoko, tetapi pihak internal partai yang membuka jalan untuknya.Â
Apapun itu, tetap saja sejumlah pengamat politik tanah air sangat menyayangkan atas tindakan Moeldoko. Sebab, Moeldoko tidak menunjukkan sikap kenegarawanannya untuk berupaya mendirikan partai politik sendiri guna memperjuangkan visi dan misi.Â
Apa yang dilakukan Moeldoko ini pada akhirnya menyeret Presiden Jokowi. Setidaknya hal ini diungkapkan oleh Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Firman Noor. Menurutnya,  Presiden Jokowi perlu menegur  Moeldoko terkait manuver yang dilakukannya di Partai Demokrat.Â
"Ini mengarah pada kualitas kenegarawanan penghuni Istana (Presiden Jokowi). Saya kira kalau memang orang yang percaya pada pembangunan parpol secara legal dan bermartabat harusnya ditegur, karena ini akan jadi preseden yang tidak baik ke depan," kata Firman, Jumat (5/3/21). Dikutip dari Kompas.com.Â
Firman mengatakan, jika Presiden Jokowi membiarkan manuver Moeldoko, maka bakal dianggap kurang peduli terhadap pembangunan partai politik.Â
Kita lihat, apakah Presiden Jokowi berani memberikan sanksi atau teguran terhadap Moeldoko untuk membuktikan bahwa dia memang tidak terlibat atas aksi atau gerakan yang dilakukan anak buahnya itu, atau malah membiarkannya. Menarik kita tunggu.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI