"Termasuk rasa malu, dan rasa bersalah saya, yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya mohon ampun ke hadirat Allah SWT," kata SBY.Â
Berlebihankah sikap SBY? jawabannya tentu tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.Â
Dilihat dari sudut pandang politik, apa yang terjadi pada internal Partai Demokrat adalah sebuah keniscayaan, dan biasa terjadi di percaturan politik tanah air. Partai Demokrat bukanlah partai politik pertama yang mengalami kisruh internal hingga terjadi dualisme kepemimpinan. Sebelumnya hal ini pernah terjadi pada Partai Golkar, dimana kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono saling berhadapan.Â
Kemudian dualisme kepemimpinan juga sempat terjadi pula pada tubuh PPP. Kala itu, partai berlambang Kabah ini masing-masing dipimpin oleh Djan Faridz dan Romy Romahurmuzy. Bahkan, terakhir juga terjadi pada tubuh Partai Berkarya, dimana kursi kepemimpinan Tommy Soeharto juga sempat direbut oleh Muhdy PR, sebelum akhirnya posisi ketua umum partai dikembalikan lagi pada pangeran cendana.Â
Merujuk pada beberapa contoh peristiwa kisruh partai politik di atas, sikap SBY boleh jadi berlebihan. SBY tidak harus merengek dan mengobral apa yang terjadi kepada publik. Dia cukup melakukan konsolidasi ke dalam dan memperkokoh kubu partainya untuk kemudian melakukan perlawanan. Baik melalui proses gugatan PTUN atau mungkin dengan cara-cara lain.Â
Namun, bila dilihat dari sudut pandang kepatutan dan "balas budi", boleh jadi kekecewaan SBY terhadap Moeldoko ada wajarnya. Dia merasa pernah membesarkan namanya dengan memberikan sejumlah jabatan strategis di kemiliteran, namun dibalas dengan kudeta. Atau, istilahnya air susu dibalas air tuba.Â
Lagi-lagi ini politik. Demi merebut atau memperjuangkan kepentingan, apapun dilabrak, tanpa harus mengindahkan kawan atau lawan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H