SEJAK memenangi pemilihan umum (Pemilu) tahun 2009 dengan raihan 20 persen lebih, raihan suara Partai Demokrat terus merosot dari pemilu ke pemilu. Pemilu tahun 2014, perolehan suara mereka turun hingga 10 persen lebih. Kemudian, pemilu tahun 2019 lebih parah lagi, menjadi 7 persenan lebih.Â
Penurunan perolehan suara Partai Demokrat mungkin tidak terlalu mengherankan. Pasalnya, banyak petinggi-petinggi partai berlambang mercy ini terjerat kasus korupsi, sehingga mengakibatkan tingkat kepercayaan publik merosot tajam. Sebut saja diantaranya, Muhamad Nazarudin; Anas Urbaningrum, Anggelina Sondakh, Jero Wacik dan Soetan Batugana.Â
Itu alasan satu sisi, sedangkan sisi lainnya diakibatkan pendiri partai, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak lagi menjabat selaku presiden. Perlu diketahui, saat Partai Demokrat memenangi pemilu, SBY masih menjabat orang nomor 1 di tanah air. Dengan segala kemewahan pasilitas dan pengaruhnya, wajar bila mampu jadi jawara pemilu.Â
Saat ini, Partai Demokrat dinahkodai oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Seorang pemimpin muda, putra sulung SBY. Dipilihnya AHY boleh jadi ingin adanya penyegaran di tubuh partai. Baik itu ide dan gagasan, maupun pergerakannya, sehingga diharapkan mampu kembali membawa kejayaan partai.Â
Namun, setelah sekian bulan menjabat, sepertinya belum ada aksi-aksi gemilang atau prestasi membanggakan. Bahkan, alih-alih bisa membawa angin perubahan dalam menggerakkan roda partai, gaya kepemimpinan AHY justru cenderung meniru SBY. Bermain playing victim, sarat pencitraan, dan gampang menyalahkan pihak lain. Gerakan Partai Demokrat di bawah besutan AHY seolah telah mati langkah. Akhirnya yang keluar adalah politik sapu jagat. Tuduh sana tuduh sini, curiga sana curiga sini.Â
Tengok saja, beberapa waktu lalu Partai Demokrat berikut AHY menuduh ada pihak lain yang ingin mengkudeta kursi ketua umum partai. Tidak hanya kader dan mantan kader yang kena tuduh. Bakan, Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko pun mengalami hal serupa.Â
Belum juga drama kudeta ini benar-benar mereda, Partai Demokrat kembali membuat ulah. Kali ini datangnya dari Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen), Irwan. Dia mempertanyakan langkah pemerintah yang mengubah sikap dari mendukung menjadi menolak pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu)Â
Dikutip dari CNN Indonesia, Irwan mencurigai langkah tersebut diambil, karena Presiden Jokowi ingin menyiapkan putranya Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024.Â
"Mungkinkah keputusan ini dilatari oleh kemungkinan Presiden Jokowi mempersiapkan keberangkatan Gibran dari Solo ke Jakarta? Karena dirasa terlalu cepat jika Gibran berangkat ke Jakarta tahun 2022," kata Irwan.Â
"Apalagi revisi UU Pemilu ini kan sejatinya adalah kehendak seluruh fraksi di parlemen ditandai dengan masuknya RUU Pemilu dalam prolegnas prioritas 2020. Mengapa sejak Presiden Jokowi statement menolak kemudian dibarengi partai koalisi pemerintah semuanya balik badan?" imbuhnya.Â
Menilik pada tuduhan dan kecurigaan Partai Demokrat, tidak heran bila partai ini sedang dalam masalah dan krisis percaya diri. Artinya partai ini tidak begitu solid dan sedang goyah akibat adanya wacana ketidakpuasan terhadap AHY sebagai ketua umum. Kemudian, sejauh ini belum tampak tanda-tanda kalau AHY menjelma jadi tokoh atau kandidat yang sangat diperhitungkan lawan politik. Pamor dia masih kalah dari Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil atau Sandiaga Uno.Â
Maka, tidak ada pilihan lain selain mencuri-curi panggung dengan membuat pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Padahal, mestinya Partai Demokrat fokus aja selesaikan masalah internal partai terlebih dahulu, ketimbang sibuk mengurusi masalah orang lain.Â
Bicara soal Gibran yang sekarang menjadi wali kota Solo, pastinya memiliki hasrat politik lebih tinggi. Misal menjadi gubernur atau presiden. Hampir mustahil, kalau cukup puas dengan jabatan wali kota saja. Namun begitu, jadi tidaknya Gibran mencalonkan diri di Pilgub DKI, jelas bakal tergantung kinerjanya di Kota dan konstalasi politik.Â
Jadi, rasanya kecurigaan Irwan dan Partai Demokrat agak berlebihan bila mengaitkan pilkada 2024 dengan keinginan Jokowi untuk mendorong Gibran bisa mencalonkan diri di pilkada DKI. Sekuat-kuatnya keinginan Jokowi, bila konstalasi politik tidak memungkinkan. Misal ada calon lain yang sukar ditandingi, partai politik kurang mendukung dan kinerja Gibran di Kota Solo tidak sesuai harapan. Maka percuma saja dicalonkan.Â
Sekali lagi, daripada jauh berpikir yang belum tentu, Partai Demokrat mending fokus ke internal. Ibarat sebuah kapal bocor, saat ini Partai Demokrat terancam karam, sehingga memerlukan Nahkoda tangguh dan menambal kebocoran di sana-sini. Bagi penulis, hal tersebut bakal jauh lebih menghasilkan daripada malah sibuk mencurigai pihak lain dengan politik sapu jagat-nya. Sapu sana sapu sini, komentar sana komentar sini tanpa ada hasil. Begitulah kira-kira.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H