BAGI orang-orang yang biasa kritis dan mengemukakan pendapat di depan umum, era reformasi adalah surga. Betapa tidak pada zaman ini semua orang bebas berekspresi tanpa harus takut diculik atau diintimidasi pihak pemerintah, asal tidak melanggar regulasi yang telah ditentukan.Â
Bandingkan dengan zaman kekuasaan pemerintahan Presiden Soeharto di zaman orde baru. Pada waktu itu, sedikit saja berani kritis terhadap kebijakan pemerintah, maka taruhannya adalah nyawa. Sudah untung bila hanya dijebloskan dalam penjara.Â
Pasalnya, era kekuasaan Presiden Soeharto boleh disebut era otoriterianisme. Kebijakan apapun yang diterbitkan oleh pemerintah harus ditelan bulat-bulat. Tak peduli, kebijakan itu menguntungkan atau merugikan masyarakat. Sekali A tetap A. Bila ada yang bilang B, maka siap-siap saja menerima akibatnya.Â
Telah banyak contoh atau bukti tangan besinya Presiden Soeharto terhadap pihak-pihak yang kritis. Mereka rata-rata dijebloskan dalam penjara. Salah satu contohnya adalah Hariman Siregar dan Budiman Sujatmiko.Â
Parahnya, tak sedikit pula orang-orang kritis yang hilang begitu saja. Banyak pihak menduga, mereka-mereka itu diculik oleh aparat tentara atau ABRI. Sebut saja Widji tukul yang selalu bersuara keras lewat puisi-puisinya dan sekelompok mahasiswa pada saat terjadi aksi demo menuntut Presiden Soeharto lengser.Â
Nah, merujuk pada peristiwa kelam tersebut, mestinya hidup di zaman reformasi adalah surganya bagi orang-orang kritis. Namun ternyata tidak demikian halnya dengan ekonom senior tanah air, Kwik Kian Gie. Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Industri di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid ini justru merasa lebih nyaman berada di zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Pada  zaman orde baru dirinya diberi kolom sangat longgar oleh media Kompas untuk menyampaikan kritik-kritik tajam.Â
"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik-kritik tajam. Tidak sekalipun ada masalah," ucap Kwik, melalui akun twitternya, @kiangiekwik. Dikutip dari Sindonews.com.Â
Menurut Kwiek masih dikutip dari Sindonews.com, dirinya tidak nyaman dengan kata kasar dan kotor yang dikeluarkan para pendengung atau buzzer di media sosial. Perasaan itu yang membuat Kwik Kian Gie takut mengemukakan pendapat yang berbeda saat ini.Â
Berlebihankah pengakuan Kwik? Bisa ya, bisa juga tidak.Â
Artinya, ucapan Kwik bisa jadi berlebihan, karena bagaimanapun pada era reformasi, kebebasan sipil jauh lebih merdeka dibanding dengan zaman orde baru. Kala itu rakyat seperti dibelenggu, tidak bisa bicara atau berbuat seenaknya.Â
Kalaupun, Kwik mengaku bahwa dia bisa nyaman dan bebas menyampaikan kritik-kritik tajam, bahkan diberi kolom longgar oleh media Kompas, mungkin saja benar. Namun perlu diingat, kritikan yang dia bangun boleh jadi hanya menyasar terhadap kelompok-kelompok tertentu yang tidak bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga pemerintah pun merasa tidak perlu bertindak, karena dianggap tidak akan mengganggu kedaulatan pemerintah.Â
Kemudian, perlu diingat pula, pada zaman orde baru dunia internet dan media sosial belum semarak atau bahkan belum ada sama sekali. Sehingga apapun yang dilakukan Kwik hampir tidak pernah diketahui publik. Beda halnya dengan era saat ini dimana hampir setiap masyarakat Indonesia memilik media sosial masing-masing. Mereka bisa dengan murah mengakses informasi apapun yang diinginkan.Â
Seiring semakin pesatnya kemajuan teknologi dan maraknya media sosial, maka tanpa disadari menjamur pula para buzzer atau pendengung. Mereka siap pasang badan, bila pihak-pihak yang dibelanya bila ada yang menyinggung atau mengkritisi. Jadi jangan heran, salah sedikit saja kita berucap atau sedikit saja menyinggung kelompok tertentu, maka bersiaplah kelompok lain turut berkomentar, bahkan menyerang.Â
Apa yang diucapkan Kwik Kian Gie bisa juga masuk akal dan tidak begitu berlebihan. Pasalnya patut diakui, belakangan ini tampak gejala-gejala otoriterianisme kembali menguat. Tandanya yaitu, makin tidak bisa ditoleransinya perbedaan pendapat, penegakan hukum yang cenderung tebang pilih dan ada pihak-pihak tertentu yang merasa dekat dengan kekuasan menggunakan keistimewaannya untuk membidik kelompok-kelompok yang dianggap bersebrangan.Â
Contohnya, bila kelompok-kelompok atau individu yang dianggap dekat dengan kekuasaan melakukan kesalahan, pihak penegak hukum selalu saja ada alasan untuk tidak menerima laporan atau memproses hukum. Lain halnya, bila yang melakukan kesalahan tersebut adalah kelompok yang bersebrangan, aparat selalu sigap untuk kemudian langsung memproses hukum.Â
Hal ini yang mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial dan perseteruan-perseteruan diantara kelompok masyarakat. Dampaknya, segala kekesalan itu ditumpahkan pada media sosial. Nah, dari sinilah jebakan-jebakan hukum mengintai bagi pihak-pihak yang kontra pemerintah. Salah ngomong, maka UU ujaran kebencian, UU ITE menjadi senjata tajam dan ampuh. Tapi, UU ini seolah mendadak tumpul bila tindakan atau ucapan miring itu datangnya dari pihak yang dianggap dekat dengan kekuasaan.Â
Nah, boleh jadi karena ini pula maka Kwik Kian Gie mengaku lebih nyaman hidup di era Soeharto dibanding era sekarang yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. Untuk itu, negara atau Presiden memang sudah sepatutnya turun tangan untuk menertibkan para pendengung, sekaligus berlaku fair. Siapapun tanpa kecuali yang dianggap melakukan ujaran kebencian, penghinaan, melanggar UU ITE atau rasisme, mendapat perlakuan hukum yang sama. Begitulah kira-kira.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H