Politik memang tidak pernah ajeg. Sekarang kanan, besok jadi kiri. Sekarang kawan, besok berubah jadi lawan. Hanya satu yang pasti, adalah kepentingan.Â
BICARA tentang kodrat politik, telah banyak contoh yang bisa memperkuat kalimat pembuka di atas. Tak perlu jauh-jauh. Di tanah air pun telah banyak peristiwa politik yang bisa menggambarkan kondisi tersebut.Â
Contohnya adalah Jusuf Kalla (JK). Pada Pilpres 2014, politisi senior tersebut adalah kolega Joko Widodo (Jokowi). Keduanya menjadi pasangan calon dan kemudian bekerjasama sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun, apa yang terjadi hari ini? keduanya berada pada posisi bersebrangan.Â
Seperti kita ketahui, belum lama ini JK terang-terangan menyanjung mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab. Padahal, pentolan ormas islam cenderung radikal ini lawan politik pemerintah. Ini berarti JK pun menempatkan diri di pihak yang bersebrangan dengan kekuasaan.
Sepertinya lakon tentang kodrat politik tidak ajeg ini juga bakal segera dialami oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dengan Partai Gerindra. Hal ini terjadi, saat partai berlambang burung Garuda tersebut menyatakan tidak setuju adanya revisi UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Artinya, mereka dengan tegas menolak pilkada dihelat pada tahun 2022 dan 2023.Â
"Gerindra berpikir agar UU Pemilu yang sekarang sebaiknya tetap dipertahankan," kata Sekretaris Jendral Gerindra, Ahmad Muzani, Ahad (31/1). Dikutip dari Tempo.co.Â
Masih dikutip dari Tempo.co, Muzani mengatakan, dalam sejarah demokrasi langsung sejak Reformasi, Indonesia selalu mengalami perubahan sistem pemilu setiap lima tahun. Perubahan terus terjadi mulai dari sistem perhitungan suara, sistem proporsional terbuka atau tertutup, ambang batas yang selalu naik, metode konversi suara menjadi kursi, hingga daerah pemilihan yang terus bertambah.Â
Menurut dia, perubahan terus menerus itu yang menyebabkan sulitnya perbaikan kualitas pemilu. Sebab, partai politik harus selalu menyesuaikan dengan undang-undang yang baru setiap lima tahun.Â
"Itu yang menyebabkan pemilu tidak pernah ajeg. Partai Gerindra merasa bahwa konsistensi kita dalam menyelenggarakan pemilihan umum dalam pola demokrasi berkualitas haruslah menjadi komitmen bersama," ujar Muzani.Â
Sikap penolakan revisi UU Pemilu dari Partai Gerindra tersebut kemungkinan besar menjadikan Pilkada bakal digelar berbarengan dengan Pilpres dan Pileg 2024. Lantaran, partai politik yang ngotot menginginkan adanya revisi bakal kalah suara bila keputusan diambil melalui proses voting.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!