PADA zaman Presiden Soeharto masih menancapkan cakar kekuasaannya di Indonesia, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto begitu jumawa. Dengan kekuasaan ayahnya, dia hampir begitu mendominasi segala bisnis atau proyek-proyek besar yang ada di tanah air.Â
Wajar namanya juga anak sang penguasa. Segala akses dan kemudahan sudah seperti makanan sehari-hari.Â
Diantara sekian banyak proyek atau bisnis yang dia kelola, mobil timor yang kemudian disebut mobil nasional (Mobnas) menjadi salah satu bisnis yang dikenal oleh seluruh warga negara. Karena memang promosi untuk kelancaran bisnisnya dilakukan secara besar-besaran. Dan, boleh jadi tersetruktur dan masif.Â
Begitulah Tommy Soeharto. Dengan kerajaan bisnis yang dia raih dari kemudahan yang didapat dari sang penguasa orde baru (orba), menjadikan dia dijuluki "Pangeran Cendana". Cendana di sini adalah nama sebuah jalan, dimana keluarga Presiden Soeharto tinggal.Â
Namun, seperti kata pribahasa bahwa hidup itu bagai roda berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Pun dengan kehidupan Tommy Soeharto.Â
Saat ayahnya dilengserkan oleh aksi demo besar-besaran yang dimotori mahasiswa pada tahun 1998 silam, nama Tommy Soeharto lambat-laun turut melempem. Sikap jumawanya tak tampak lagi. Bahkan, dia sempat terpuruk kala harus mendekam di hotel prodeo (baca: penjara) karena divonis bersalah sebagai otak pembunuhan Hakim Agung, Syafiuddin Kartasasmita.Â
Lepas dari penjara, Tommy sepertinya tertarik menggeluti dunia politik. Mungkin, maksudnya ingin kembali membangun kejayaan politik ayahnya yang telah hancur lebur.Â
Trah Cendana ini sempat mencoba mengibarkan bendera kekuasaan orba dengan berupaya kembali menguasai Partai Golkar pada Munaslub Riau. Sayang, kala itu tak ada yang mempercayainya. Aburizal Bakrie (Ical) yang terpilih sebagai ketua umum.Â
Tak patah arang. Pangeran Cendana tersebut mendirikan Partai Nasional Republik. Apes. Partainya tak lolos verifikasi dan gagal jadi kontestan Pemilu 2014. Syahwatnya yang sangat tinggi, membuat Tommy tak mau jadi pecundang politik begitu saja. Dia kembali mendirikan partai baru, dengan nama Partai Berkarya. Kali ini, partainya lolos verifikasi, dan berhak mengikuti Pemilu legeslatif 2019.Â
Hanya saja, peruntungannya kembali belum berpihak. Partai Berkarya tidak mampu lolos parliementary threshold, sehingga tidak mampu menempatkan satu kursi pun di parlemen pusat, Senayan, Jakarta. Partai ini hanya mendapatkan 2,09 persen suara sah nasional. Sedangkan ambang batas lolos ke parlemen adalah 4 persen.Â
Tidak mampu meloloskan satu kader pun ke Senayan menjadi kekecewaan besar bagi Tommy. Sebab sebelumnya dia begitu percaya diri. Apalagi, sempat menguat di kelompok masyarakat bawah soal kerinduannya terhadap sosok kepemimpinan Presiden Soeharto.Â
Kekecewaan ini semakin akut, tatkala Tommy pun harus menerima kenyataan bahwa partainya terpecah menjadi dualisme kepengurusan. Dalam kemelut ini, Muchdi PR berhadap-hadapan dengan pendiri partai, Tommy Soeharto.Â
Dan, pada akhirnya Pangeran Cendana harus gigit jari. Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) lebih mengakui Partai Berkarya kubu Muchdi PR.Â
Sejak itu, nama Tommy pun mulai jarang menjadi sorotan media massa. Mungkin dianggapnya sudah tidak bisa lagi dijadikan media darling. Apalagi, dalam beberapa waktu terakhir cukup banyak peristiwa-peristiwa politik yang jauh lebih seksi untuk menjadi bahan berita.Â
Namun, kini nama Tommy kembali hangat diperbincangkan dan menjadi pusat perhatian media. Gara-garanya, trah Cendana ini melakukan gugatan terhadap pemerintah. Dia menuntut gugatan ke pemerintah untuk membayar ganti rugi senilai Rp.56 miliarÂ
Dikutip dari Merdeka.com, Tommy mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu 6 Januari 2021. Nomor perkaranya: 35/Pdt.G/2021/PN JKT.SEL tercantum senilai Rp.56 miliar.Â
Gugatan dilayangkan Tommy, lantaran beberapa properti aset tanah dan bangunan miliknya, seperti bangunan kantor seluas 1.034 meter persegi, pos jaga seluas 15 meter persegi, bangunan garasi seluas 57 meter persegi, dan tanah seluas 922 meter persegi terkena gusuran proyek pembangunan Jalan Tol Depok-Antasari yang berada di Cilandak, Jakarta Selatan.Â
Sebenarnya, pemerintah telah merespon terhadap gugatan tersebut. Mereka pun sudah menyiapkan uang ganti rugi. Hanya saja, usut punya usut lahan yang diaku oleh Tommy Soeharto ternyata masih dalam status sengketa. Dengan begitu, uang ganti ruginya masih dititipkan di pengadilan negeri, sampai keluar putusan yang berhak atas lahan tersebut. Sehingga status hukumnya pun jelas dan terang benderang.Â
Gugatan yang dilakukan Tommy adalah wajar. Hanya saja, dalam amatan saya gugatan tersebut tidak sepenuhnya keinginan Tommy untuk memperjuangkan asetnya. Saya rasa, harta kekayaan dia masih sangat banyak. Nilainya bisa jauh melampaui nilai gugatan yang dia layangkan. Istilah kata, uang Rp.56 miliar urusan receh bagi Tommy.Â
Saya justeru melihat, semua itu cara Tommy melawan pemerintah, sekaligus gestur politik. Karena, seperti telah saya bahas, sejak Partai Berkarya "dikudeta" Muchdy PR, nama Tommy seperti hilang dari peredaran politik nasional.Â
Untuk itu, kasus pembebasan lahan adalah kesempatan bagi Tommy mendapatkan kembali perhatian publik. Tak peduli, hal ini berakhir buruk atau sebaliknya. Yang penting, namanya jadi bahan perbincangan terlebih dahulu. Dan, publik kembali mengingatnya.Â
Dari reaksi yang diperlihatkan publik, boleh jadi bakal menjadi bahan evaluasi atau pertimbangan dirinya guna menentukan langkah-langkah ke depan. Khususnya dalam urusan politik dalam negeri.Â
Sekarang, pertanyaannya apakah dengan kembali munculnya Tommy bisa diterima atau malah dicibir? Tentu semuanya dikembalikan lagi kepada publik untuk menilai.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H