Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Petani - Serabutan

Ikuti kata hati. Itu saja...!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Seteru Polisi Versus Pendukung HRS Makin Panas, PA 212 Bakal Geruduk Istana Negara

17 Desember 2020   21:48 Diperbarui: 17 Desember 2020   22:09 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENAHANAN Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) oleh Polda Metro Jaya berbuntut panjang. Kejadian ini menciptakan perseteruan panas antara aparat kepolisian Republik Indonesia dengan FPI dan kelompoknya. 

Sejumlah pendukung HRS di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten Sumedang menggeruduk Mapolres menuntut HRS dibebaskan. Mereka beranggapan bahwa pimpinannya itu tak selayaknya ditahan, karena telah membayar denda sebagai sanksi atas terjadinya kerumunan massa. 

Lagipula menurut penafsiran para pendukung HRS, peristiwa kerumunan massa tidak hanya dilakukan oleh Imam Besar FPI, melainkan banyak pihak yang telah melakukannya selama pandemi Covid-19. Namun, tidak ada satu orangpun yang ditahan oleh pihak kepolisian. 

Karena itu mereka menilai penahanan HRS adalah sebagai bentuk diskriminatif pemerintah dan aparat kepolisian. Bahkan, ada juga yang menyebut sebagai wujud kriminalisasi ulama. 

Tanpa bermaksud menyalahkan atau membenarkan keduanya, memang patut diakui bila alasannya kerumunan massa tidak hanya terjadi pada HRS. Telah banyak kerumunan-kerumunan lain selama masa pandemi Covid-19, namun pihak kepolisian tidak melakukan tindakan penahanan. Dalam hal ini wajar bila pendukung pentolan FPI ini merasa merasa marah dan kecewa. 

Kendati begitu, tidak bisa dipungkiri, HRS bukan melulu menciptakan kerumunan massa sehingga menabrak aturan protokol kesehatan, melainkan ada hal lain yang mengakibatkan Polda Metro Jaya melakukan penahanan. Hal lain tersebut sebagaimana telah banyak diberitakan beragam media arus utama, yaitu dianggap telah melanggar pasal 160 KUHP tentang penghasutan. 

Pasal yang dituduhkan pada HRS ini hingga hari ini masih dalam proses pemeriksaan. Bila benar-benar terbukti, boleh jadi pimpinan FPI tersebut akan kembali merasakan vonis pengadilan dan mendekam di sel tahanan. Jika tidak, pihak kepolisian pun harus bisa melepaskan HRS dan menerima konsekuensi hukumnya. 

Nah, mengingat kasus HRS masih dalam proses penyidikan, seyogyanya para pendukung bisa menahan diri dan menunggu hasil pemeriksaan. Akan tetapi sepertinya mereka tidak sabar ingin melihat Imam Besar FPI itu kembali menghirup udara bebas. 

Selain telah cukup banyak aksi yang dilakukan di beberapa daerah, unjuk rasa minta HRS dibebaskan juga rencananya akan dilakukan PA 212, Jumat (18/12). Seperti diberitakan TVOne dalam program berita Kabar Petang, Sekjen PA 212, Bernard Abdul Jabbar mengatakan, massa aksi yang akan digelar bada solat jumat itu tak bakalan kurang dihadiri oleh 5 ribu orang. 

Masih dikatakan Bernard, aksi massa kali ini bukan dipusatkan di Monas atau Gedung DPR RI sebagaimana biasanya. Namun, akan dikonsentrasikan di depan Gedung Istana Negara. 

Dengan begitu, aksi massa 212 tersebut, sepertinya akan langsung dialamatkan pada Presiden Jokowi. Mereka sepertinya akan meminta bahkan menuntut langsung orang nomor satu di republik ini untuk segera membebaskan HRS. 

Kita lihat saja, sikap seperti apa yang bakal dilakukan pemerintah atau Presiden Jokowi dalam menyikapi aksi demo nanti. Apakah akan menuruti kemauan massa aksi atau berpegang teguh pada proses hukum yang berlaku. 

Sejatinya, bagaimanapun kerasnya tuntutan PA 212, pemerintah jangan mudah terintimidasi. Pemerintah harus memiliki wibawa dengan menyerahkan kasus HRS pada proses hukum yang berlaku. 

Bilamana dalam aksi massa tersebut terjadi hal-hal di luar kendali biarlah menjadi tugas dan kewenangan aparat keamanan, khususnya kepolisian untuk menindak tegas siapapun yang sekiranya menyerempet pada pelanggaran hukum. 

Polda Metro Tak Beri Izin 

Aksi Massa menuntut pembebasan HRS oleh massa PA 212 yang bakal dilaksanakan di depan Gedung Istana Negara, Jumat (18/12) boleh jadi ilegal. Pasalnya, seperti diterangkan Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran pada program berita Kabar Petang TVOne, pihaknya tidak memberikan izin kerumunan. Namun, pihak PA 212 tak menggubrisnya, dan kekeuh akan menggeruduk Istana Negara. 

Pada dasarnya hak semua pihak untuk menyampaikan pendapat di depan umum. Namun, masalahnya dalam situasi pandemi mereka bisa mengurungkan niatnya, karena dikhawatirkan akan menimbulkan klaster-klaster baru Covid-19. Dalam hal ini, menjadi tugas dan kewenangan aparat kepolisian guna mengantisipasinya. 

Dan, satu hal lagi yang perlu diperhatikan pihak kepolisian adalah menghindari kemungkinan terjadinya gesekan-gesekan. Sebab, bisa saja peserta aksi massa tersebut melampiaskan kemarahannya pada aparat kepolisian atas penahanan HRS dan insiden tewasnya enam laskar FPI. 

Antisipasi lain yang harus benar-benar diperhatikan aparat kepolisian adalah kemungkinan adanya penyusup yang sengaja ingin memprovokasi peserta aksi massa agar terjadi kericuhan. Bila ini terjadi bukan saja mengancam timbulnya klaster baru, tetapi juga kondusifitas keamanan nasional. 

Akhirul kata, kita doakan saja aksi massa besok berjalan damai dan lancar. Meski rasanya mustahil bahwa protokol kesehatan bisa tetap terjaga, tetapi setidaknya jangan sampai terjadi klaster baru. Aaminn.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun