JIKA boleh menerka-nerka, tahun 2020 ini merupakan tahun maha berat bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Betapa tidak, sudah genap tiga bulan ini Bangsa dan negara Indonesia dihadapkan pada ganasnya penyebaran virus corona atau covid-19. Sudah barang tentu, seperti dialami oleh negara-negara lain yang sama terdampak pandemi covid-19, Indonesia pun dihadapkan pada begitu sulitnya memutus rantai penyebaran virus asal Wuhan, China ini.
Pemerintah yang dinakhodai langsung oleh Presiden Jokowi harus memutar otak dan berpikir keras tentang bagaimana caranya melindungi kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakatnya dengan cara membuat regulasi yang tepat dan efektif agar penyebaran virus corona tidak semakin bergerak liar dan masif dalam penyebarannya.
Tidak itu saja, dalam hal pemenuhan jaminan kebutuhan ekonomi pun juga tak luput dari pemikiran pemerintah. Bagaimanapun, dampak dari adanya wabah pandemi covid-19 benar-benar melumpuhkan sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat. Khususnya mereka yang mengandalkan hidupnya dari sektor-sektor informal.
Salah satu bentuk keseriusan pemerintah agar mampu memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup masyarakat, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan virus corona atau covud-19. Bahkan kemudian Perppu ini disyahkan DPR menjadi Undang-undang.
Itulah bentuk keseriusan pemerintah dalam hal penanganan virus corona di tanah air. Hanya saja tak dipungkiri dalam pelakasanaannya di lapangan belum benar-benar berjalan secara optimal.
Sebut saja guna memutus rantai penyebaran virus corona, pemerintah menerbitkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hingga saat ini sudah begitu banyak daerah yang masih belum bisa memaksimalkan aturan tersebut sehingga jumlah angka peningkatan kasus positif terus saja meningkat.
Parahnya, saat PSBB belum menunjukan progres positif, tiba-tiba pemerintah malah mewacanakan kebijakan baru berupa penerapan new normal. Keputusan yang banyak memantik kritikan ini didasari oleh kepentingan ekonomi tanah air yang terus terpuruk.
Sementara untuk pemenuhan kebutuhan hidup ekonomi masyarakat pun pada praktiknya masih cenderung semrawut. Misal keterlambatan datangnya bantuan sosial (Bansos), salah sasaran distribusi serta banyaknya data penerima yang simpang siur.
Segala kesemrawutan ini tidak bisa dipungkiri muaranya pasti mengarah pada pemerintah. Tak sedikit yang menuding bahwa hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan pemerintah dalam menangani wabah. Bahkan ada pula yang menganggap pemerintah khususnya Presiden Jokowi plin plan dalam membuat kebijakan.
Puncaknya dari beragam tudingan dan anggapan miring tersebut bermuara pada isu pemakzulan terhadap kekuasaan Presiden Jokowi. Dalam hal ini, mantan Gubernur DKI Jakarta itu dianggap sudah tidak mampu lagi mengelola pemerintahannya.
Bahkan terakhir, meski secara tidak gamlang mengobarkan api pemakzulan terhadap Jokowi, Dosen Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Din Syamsuddin melontarkan isu dimaksud.
Dalam hal ini dia menyebutkan bahwa pemakzulan pemimpin merupakan sesuatu yang dimungkinkan dalam konteks politik Islam.
Dikutip dari Tempo.co, mengutip pandangan pemikir Islam, Al-Mawardi, Din menjelaskan ada tiga syarat untuk memakzulkan kepala negara. Yaitu :
Pertama, kata dia, tidak adanya keadilan. Din berujar ini merupakan berlaku adil merupakan syarat utama seorang pemimpin. Karena itu jika hal ini tidak terpenuhi maka layak untuk diberhentikan.
Kedua, pemimpin bisa diberhentikan jika tidak memiliki ilmu pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional. Dalam konteks Indonesia, hal ini sama dengan saat pemimpin itu tidak memahami esensi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketiga, Â pemimpin bisa dimakzulkan adalah ketika dia kehilangan kewibawaannya dan kemampuan memimpin terutama dalam masa kritis.
Dalam pandangan penulis, apa yang dilontarkan Din Syamsudin tentang pemakzulan rasanya kurang elok di saat bangsa dan negara dalam keadaan krisis seperti saat ini.
Karena, boleh jadi isu-isu yang dilontarkan olehnya akan sangat makin memperkeruh suasana dan menguntungkan bagi mereka-mereka yang selama ini menjadi "penumpang gelap" yang sudah tidak kuat ingin berkuasa di negeri ini.
Siapa mereka?
Tentu saja tidak bisa dijelaskan dengan gamlang. Mengingat saat ini yang ingin berkuasa di Indonesia jelas tidak hanya didominasi oleh segelintir pihak, tetapi banyak pihak. Bisa itu datang dari lawan politik atau bahkan datang dari orang dalam pemerintahan sendiri. Artinya secara politik, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Masalahnya, jika memang ada "penumpang gelap" yang ingin memakzulkan Presiden Jokowi baik secara terang-terangan atau sembunyi di balik lingkaran kekuasaan, dalam kondisi negara yang sedang menghadapi krisis, menurut hemat penulis sangat tidak patut.
Bagaimanapun, krisis pandemi covid-19 dan segala dampaknya bukanlah mutlak tanggung jawab Presiden semata, melainkan seluruh elemen masyarakat tanah air.
Terlepas hasilnya belum maksimal, Presiden Jokowi telah berupaya untuk melakukan proteksi terhadap masyarakat agar terhindar dari pandemi covid-19. Pun dengan Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang banyak dikritisi, rasanya bukan pula sebagai bentuk arogansi Jokowi sebagai pemimpin.
Pastinya, Presiden Jokowi mempunyai alasan jelas kenapa sampai harus menerbitkan Perppu dimaksud. Artinya kalaupun memang dipandang salah dan tidak pro rakyat. Rasanya masih terlalu dini jika harus dimakzulkan.
Dalam pemikiran penulis, masih ada cara lain yang lebih bijak. Seperti menempuh upaya hukum. Katakanlah berupa judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahu Membahu Melawan Krisis
Perlu diingat bahwa krisis akibat pandemi covid-19 ini tidak hanya dialami oleh negara Indonesia, tetapi oleh banyak negara di belahan lainnya. Bahkan, di negara lain, seperti Amerika Serikat, Italia, Rusia, Inggris, Brasil, Equador dan lainnya dampak dari mewabahnya virus corona ini bisa jadi jauh lebih larah.
Namun begitu tidak terdengar isu-isu pemakzulan. Ya, memang kalau sekedar disalahkan sih cukup banyak juga. Tapi itu wajar, karena seorang pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap situasi yang terjadi di negaranya.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya agar kita bisa melewati krisis ini adalah dengan kerjasama yang baik dari segenap elemen masyarakat tanpa kecuali. Baik itu mulai dari tingkat pemerintah pusat, daerah, tokoh masyarakat dan lapisan lainnya.
Dalam hal ini biarkan pemerintah memikirkan cara bagaimana keluar dari krisis ini. Tentu saja cara yang diambil oleh pemerintah ini benar-benar tegas dan tidak memebabani masyarakat namun efektif. Sementara kita masyarakat hanya cukup mematuhinya.
Jangan lagi ada saling salah menyalahkan. Karena itu bukannya akan membereskan masalah tapi justru malah memperkeruh suasana, yang akhirnya segala peraturan atau kebijakan yang dibuat pemerintah pun hanya jalan di tempat dan akhirnya ambyar.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H