PANDEMI virus coroma atau covid-19 di tanah air sudah berlagsung lebih dari dua bulan. Wabah yang asalnya dari Wuhan, China ini terus menyuguhkan drama berjilid-jilid antara pemerintah pusat dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Bukan rahasia umum, semenjak mewabahnya virus corona sejak awal Maret 2020 lalu, Anies Baswedan seolah menjelma jadi sosok oposisi yang dalam setiap kebijakannya hampir selalu bertentangan dengan pemerintah pusat di bawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Contoh yang sempat ramai diperbincangkan tentu saja terkait dengan permohonan Anies tentang karantina wilayah. Namun akhirnya ditolak pihak pusat, untuk kemudian diganti dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Meski pada akhirnya, Anies harus mengalah dan mematuhi kebijakan dari pemerintah pusat, bukan berarti permasalahan antara dirinya dengan pihak istana selesai. Selalu saja ada hal yang memantik perseteruan diantara mereka.
Sebut saja, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini pernah terlibat silang pendapat dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati terkait Dana Bagi Hasil (DBH).
Dalam hal ini, Anies pernah meminta DBH tersebut segera dibayarkan pihak pusat terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Hal itu terpaksa dilakukannya guna memenuhi kebutuhan penanganan virus corona.
Namun, Sri Mulyani kekeuh enggan mengucurkan dana tersebut dengan alasan menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meski akhirnya dana itu dikucurkan juga walau hanya setengahnya atau Rp. 2,6 triliun dari yang seharusnya 5,1 triliuan.
Sedangkan sisanya, Sri Mulyani tetap pada pendiriannya, yaitu menunggu hasil audit BPK.
Tak berselang lama, giliran Sri Mulyani yang menyindir atau mengejek Anies Baswedan tak punya uang untuk membiayai warganya dalam menghadapi pageblug ini.
Namun kemudian, tudingan tersebut dibantah keras oleh Anies. Dia mengaku telah mengalokasikan Rp. 5 triliun untuk biaya tak terduga (BTT) penanganan virus corona. Justru Anies sedang menunggu sisa DBH yang masih belum dibayarkan pemerintah pusat sebesar Rp. 2,5 trilun.
Selain dengan Sri Mulyani, Anies juga sempat gontok-gontokan dengan Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menko PMK Muhadjir Effendy.
Juliari sempat menyatakan bahwa penyaluran bansos oleh Pemprov DKI tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Menurutnya, masih ditemukan banyak dobel penerima, mendapatkan bansos dari DKI sekaligus dari Kemensos.
"Pada saat Ratas (Rapat Terbatas) terdahulu, kesepakatan awalnya tidak demikian. Gubernur DKI meminta bantuan pemerintah pusat untuk meng-cover bantuan yang tidak bisa di-cover oleh DKI," kata Juliari Batubara dalam Rapat Kerja Komisi VIII Rabu (6/5/2020). Dikutip dari CNNIndonesia
Sementara itu, Muhadjir Effendy mengaku sempat menegur Anies Baswedan terkait data penerima bansos yang diberikan Pemerintah Pusat kepada warga miskin DKI Jakarta.
"Itu (bansos) sekarang problemnya data, termasuk di DKI yang sekarang kita bantu ini problemnya data. Belum lagi sinkronisasi dan koordinasi, misalnya kami dengan DKI ini agak sekarang sedang tarik-menarik ini, cocok-cocokan data, bahkan kemarin saya dengan pak gubernur agak tegang, agak saya tegur keras pak gubernur," ucap Muhadjir Effendy dalam sebuah webinar melalui Zoom, Rabu (6/5/2020). (Detikcom).
Namun begitu, Anies kembali mampu berkelit dan berlindung di balik narasi-narasinya yang memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Bahkan, setelah menerima serangan dari ketiga menteri ini, giliran Anies yang menyerang balik pemerintah pusat.
Dalam satu kesempatan wawancara dengan Surat Kabar Australia, The Sidney Morning Herald, Anies dengan blak-blakan menyindir lambannya pemerintah pusat dalam hal penanganan virus corona. Terutama Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
Serangan pertama adalah soal pengetesan virus Corona itu sendiri. Anies mengaku sudah melacak kasus virus Corona itu sejak Januari 2020. Saat itu, bahkan namanya masih Pneumonia Wuhan.
Anies mengatakan pertemuan dengan rumah sakit-rumah sakit untuk membahas pneumonia Wuhan sudah dilakukan sejak 6 Januari, setelah ada informasi mengenai kasus pertama di Wuhan.
Kedua, Anies mengungkapkan rasa frustrasi terhadap pemerintah pusat, khususnya kepada Terawan, yang dinilai tidak transparan tentang adanya kasus pisitif virus corona di tanah air.
Tidak hanya itu, Anies juga sempat menyindir Presiden Jokowi yang dianggap terlambat dalam mengumumkan larangan mudik. Padahal kalau aturan tersebut diberlakukan jauh hari sebelumnya, menurut Anies penyebaran virus ke daerah bisa ditekan lebih awal.
Itulah beberapa silang pendapat yang terjadi antara Anies Baswesan dengan pihak pemerintah pusat.
Bagi, saya bisa jadi perseteruan tersebut merupakan "bom waktu" yang kapanpun bisa meledak. Bila, perbedaan pendapat, saling serang dan saling sindir diantara kedua kubu ini tidak bisa dituntaskan dengan cepat.
Bom waktu ini bisa menghancurkan pemerintah pusat atau Anies Baswedan itu sendiri. Bahkan bisa jadi kedua-duanya. Karena dengan terus-terusan saling sindir, saling serang, lama-kelamaan mereka boleh jadi akan saling bongkar aib masing-masing. Jika akhirnya tidak bisa mengendalikan diri masing-masing.
Jika ini terjadi, tentunya akan menjadi preseden buruk bagi kita semua bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, mereka-mereka yang menjabat di atas sana harusnya saling bahu-membahu san bekerjasama untuk menangani virus coron agar secepatnya teratasi.
Bukan malah sebaliknya. Saling salahkan, saling sindir demi mendapatkan pembenarannya masing-masing. Jujur saja, rakyat sudah muak dengan semua kejadian ini.
Saat ini, rakyat hanya ingin rasa aman, baik itu dari segi ekonomi ataupun ancama dari virus corona itu sendiri.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI