Bukan hal mustahil, kenaikan iuran BPJS ketika pendapatan masyarakat jauh lebih berkurang hanya akan berpotensi tidak mampu bayar. Akibatnya kesehatan mereka pun akhirnya tidak dijamin. Padahal sudah diatur dalam undang-undang bahwa kesehatan adalah hal konstitusional warga masyarakat.
Tidak heran, keputusan tersebut memantik reaksi keras dan kritikan sejumlah pihak. Mereka rata-rata beranggapan bahwa kenaikan bulanan BPJS kesehatan hanya akan menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan lebih dalam.
Bahkan, tak sedikit beberapa kalangan khususnya para anggota DPR RI menyebut bahwa kenaikan iuran BPJS kesehatan merupakan bukti bahwa pemerintah atau Presiden Jokowi sudah kehilangan rasa empatinya terhadap masyarakat.
Mereka menyebut, kenaikan iuran BPJS kesehatan di masa pandemi covid-19 bukanlah waktu yang tepat. Dalihnya, masyarakat dimana-mana sedang kesulitan.
Sebagaimana diketahui, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sangat terasa untuk kelas 1 dan kelas dua. Besaran iuran yang harus dibayarkannya yaitu, kelas 1 sebesar Rp. 150 ribu dan kelas 2 sebesar Rp. 100 ribu. Sementara untuk kelas 3 meski ada kenaikan jadi Rp 35.000, namun baru akan berlaku 2021.
Sebelumnya kenaikan BPJS kesehatan pernah dinaikan pemerintah pada awal Januari 2019 lalu. Dengan rincian, kelas 1 sebesar Rp. 160 ribu, kelas 2 Rp. 110 ribu dan kelas 3 Rp. 42 ribu.
Namun, kenaikan yang mencapai 100 persen ini sempat digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia ke Mahkamah Agung (MA). Hasilnya dikabulkan pada bulan Maret 2020.
Dalam hal ini, tarif iuran BPJS kembali pada tarif lama, yaitu kelas 1 Rp. 80 ribu, kelas 2 Rp. 51 ribu dan kelas 3 Rp. 25.500 setiap bulannya.
Tak terima dengan keputusan Presiden Jokowi, rencananya KPCDI akan kembali melakukan gugatan. Karena mereka menilai bahwa kenaikan iuran BPJS yang baru adalah cara pemerintah dalam mengakali keputusan MA.
Pertanyaannya, benarkah Presiden Jokowi benar-benar pantas dipersalahkan dan sudah tidak lagi memiliki rasa empati terhadap nasib warga negaranya seperti yang dituduhkan oleh beberapa kalangan?
Jawabannya mungkin bisa ya, bisa tidak. Tapi, dalam pandangan pengamat Suhendra Hadikuntono, tidak seharusnya masyarakat menyalahkan atau memojokan Presiden Jokowi. Dia menilai, terkait iuran BPJS, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut bagai makan buah simalakama.