PANDEMI global virus corona atau covid-19 terus memperlihatkan keganasannya di tanah air. Terbukti, masih terus bertambahnya jumlah kasus positif dan kematian. Meski di satu sisi ada hal yang cukup menggembirakan, tentang jumlah angka kesembuhan yang juga menunjukan grafik meningkat.
Segala upaya guna memutus rantai penyebaran virus corona telah dilakukan pemerintah, salah satunya yang sedang diterapkan saat ini yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Namun demikian, kebijakan ini tidak serta merta membuat masyarakat merasa aman dengan ancaman virus asal Wuhan dimaksud.
Bahkan, ada ancaman yang sebenarnya jauh lebih membahayakan dari pada penyebaran wabah virus itu sendiri, yakni ancaman lemahnya ekonomi.
Sebagaimana diketahui, dengan merebaknya virus corona dan diberlakukannya social dan physical distacing lalu dipertegas dengan PSBB telah memaksa banyak perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja (PHK) para karyawannya, dirumahkan tanpa di gaji. Disamping itu, untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal pun banyak yang kehilangan mata pencaharian.
Tentu saja masalah tersebut di atas bukan perkara sepele. Jika terus dibiarkan dan terjadi seperti ini bukan hal mustahil akan terjadi banyak masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sehingga akhirnya kelaparan.
Contoh kecilnya, seperti diberitakan banyak media, terjadi di daerah Serang Banten, satu keluarga hanya bisa minum air galon selama dua hari untuk menahan rasa laparnya.Â
Sehingga akhirnya, salah seorang diantaranya, yakni seorang ibu meninggal dunia. Lalu, satu lagi terjadi di Medan. Seorang pria nekad mencuri beras karena kelaparan dan tidak mempunyai yang sedikitpun untuk membeli makanan.
Bukan mustahil, jika pemerintah tidak segera turun tangan, kasus-kasus tersebut di atas akan marak teradi di tanah air. Benar, pemerintah telah menggelontorkan anggaran untuk memberikan jaminan hidup terhadap warganya.Â
Hanya saja, siapa yang berani menjamin bahwa bantuan tersebut tepat sasaran atau tidak. Kemudian, mau sampai kapan bantuan ini bisa terlaksana dan secepat apa pendistribusiannya.
Pasalnya, jika terjadi salah pendataan, boleh jadi masih banyak masyarakat yang sebenarnya berhak menerima bantuan malah tidak diperhatikan. Dan ini akan sangat riskan terjadi krisis sosial.
Fenomena tersebut di atas rupanya cukup dipahami juga oleh politisi PDI Perjuangan, Adian Napitpulu.
Anggota DPR RI ini menjelaskan, sejarah mencatat setiap wabah penyakit maka berikutnya pasti diiringi dengan kelaparan yang merebak di mana-mana.
"Kalaupun pemerintah sanggup menjaga stok beras dan kebutuhan pokok lainnya dengan impor dan beragam cara lainnya, namun demikian, dengan ketiadaan pekerjaan dan pendapatan maka belum tentu juga masyarakat akan mampu membeli beras dan kebutuhan pokok yang di siapkan itu. Ujungnya tetap saja rakyat kelaparan," kata Adian. Dikutip dari Pojoksatu.id.
Pada kesempatan tersebut, Adian juga menyebut, jika situasi hari ini semakin memburuk dalam 2 atau 3 bulan ke depan, maka kondisi rakyat seperti rumput kering yang mudah terbakar, bahkan oleh isu yang sangat remeh sekalipun.
"Sesepele apapun trigernya bisa menimbulkan ledakan yang mungkin tidak kita sanggup prediksi besarnya," kata Adian.
Menurut Adian, potensi konflik sosial dan kriminalitas dalam beragam bentuknya potensial besar terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Bisa Juni, Juli atau Agustus.
"Kenapa demikian? Karena beberapa bulan ke depan ketakutan akan wabah penyakit, keputusasaan pada hilangnya pekerjaan dan pendapatan bercampur di dalam dada yang sama dari tubuh dengan perut yang juga di dera kelaparan. Campuran 3 hal ini bisa menjadi energi kemarahan yang luar biasa," katanya.
Masih dilansir Pojoksatu.id, Dia meminta semua pihak termasuk menteri dan gubernur sama-sama fokus menangani virus corona dan meredam dulu ambisinya untuk menjadi capres 2024.
"Menteri dan kepala daerah yang punya ambisi jadi capres 2024 sebaiknya meredam dulu ambisinya agar rakyat dan negara selamat," katanya. Baiknya menteri menteri dan kepala daerah bekerja fokus dan jangan menjadi penyebar isu," tambah Adian.
Menyikapi apa yang diutarakan Adian, memang kita tidak bisa menutup mata. Selama terjadinya wabah, bukan sekali dua kali terjadi konflik kepentingan diantara para pemangku kebijakan.
Sebut saja, bagaimana Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menginginkan diterapkan katantina wilayah dalam upayanya mematahkan rantai penyebaran virus. Namun, ramai-ramai pihak istana dalam hal ini pemerintah menolaknya. Untuk kemudian diharuskan satu komando dibawah kendali pemerintah pusat dengan penerapan PSBB.
Kemudian, masih berhubungan dengan Anies Baswedan. Mantan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan ini menegaskan selama pelaksanaan PSBB, ojek online dilarang mengangkut penumpang. Hal itu sejalan dengan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang pedoman pelaksanaan PSBB.
Tapi, tiba-tiba Kementrian Perhubungan (Kemenhub) menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020, yang ditandatangani Pejabat Ad Interim Menhub, Luhut Binsar Panjaitan. Peraturan ini justru bertentangan dengan maksud dari PSBB itu sendiri. Dalam permenhub, ojol diperbolehkan mengangkut penumpang, meski dengan sejumlah syarat protokol kesehatan.
Dari dua contoh kasus tersebut diatas, sudah bisa membuktikan bahwa diantara para pemangku kebijakan ini tidak ada atau belum terjadi koordinasi dan kesepahaman dalam penanganan covid-19.
Mereka seolah ingin menonjolkan dan berebut pengaruh demi mendapatkan kepercayaan publik. Padahal, seperti diutarakan Adian, dalam situasi sulit seperti sekarang mestinya singkirkan dulu segala konflik kepentingan. Dan, duduk bersama menangani wabah yang sudah menjadi bencana nasional non alam ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H