Nah, lalu bagaimana dengan kondisi di tanah air?
Dalam pandangan obyektif penulis, pada dasarnya pemerintah Indonesia sudah cukup memberikan ruang yang cukup untuk kaum perempuan dalam hal mengekspresikan segala kemampuannya.
Terbukti, sudah sangat banyak kaum perempuan yang berkarir dan sukses di berbagai bidang dan tidak dibatasi oleh pemerintah. Baik itu di pemerintahan, seni, budaya, olahraga maupun bisnis.
Dalam hal ini, penulis meski seorang pria harus mengucapkan terimakasih terhadap pemerintah yang telah memberikan ruang dan waktu seluas-luasnya terhadap perempuan mengembangkan bakat dan segala potensinya.
Hanya saja, satu hal yang cukup disesalkan penulis terhadap pemerintah, yaitu masih lemahnya terkait proteksi atau perlindungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Selama ini masih saja banyak terjadi korban-korban kekerasan seksual terhadap kaum perempuan tersebut, tanpa adanya perlindungan yang memadai dari pemerintah. Salah satunya adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Sangat beralasan masih lemahnya regulasi korban kekerasan seksual terhadap kaum perempuan, sejumlah pihak terus melakukan aksi dan protes untuk mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU PKS.
Nah, bertepatan dengan hari perempuan internasional, seperti dilansir TEMPO.CO, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta turut mendesak agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS segera disahkan.
Ketua AJI Yogyakarta Shinta Maharani mengatakan jurnalis perempuan masih rentan mengalami kekerasan di ruang redaksi dan ruang publik saat melakukan pekerjaannya.
"Jurnalis perempuan perlu bersolidaritas untuk melawan berbagai bentuk kejahatan seksual," kata Shinta dalam pernyataan sikap AJI Yogya di Hari Perempuan Internasional hari ini, Minggu, 8 Maret 2020.
Masih dituturkann Shinta, Â pada 2017 AJI mencatat setidaknya tiga kasus kekerasan seksual di ruang kerja atau saat bekerja yang dialami jurnalis perempuan. Kasus-kasus itu dilaporkan oleh korban.