"Potong leher saya, Pak, sungguh. Kalau tidak ada bayi di rumah. Saya khilaf Pak, sungguh," jawab bapak tersebut.
Kepada polisi tersebut, bapak penjual es gepeng itu mengaku khilaf setelah ditegur karyawan mini market. Dia menyadari tak baik memberikan anaknya susu curian.
"Setelah itu saya berpikir, sadar Pak, saya salah," tuturnya.
Polisi tersebut lalu mengikuti bapak itu hingga ke rumahnya untuk memastikan kebenaran ceritanya. Setiba di rumah, benar saja polisi itu menemukan seorang bayi tengah tertidur di kamar.
Setelah yakin adanya seorang bayi, polisi itu lalu mengeluarkan sekantong plastik susu bubuk dari dalam tasnya.Â
Bapak penjual es gepeng itu lalu diajak kembali ke mini market untuk meminta maaf kepada karyawan mini market.
Bukan bermaksud untuk membenarkan si bapak penjual es gepeng yang telah berani mencuri susu untuk anaknya.Â
Apapun alasannya, apa yang dilakukan si bapak tetaplah salah.
Tapi, satu hal yang perlu dilihat dari peristiwa ini adalah bagaimana perjuangan seorang bapak atau ayah demi bisa memenuhi kebutuhan anaknya, meski harus melakukan hal yang tidak terpuji dan menempuh segala resiko.
Namun, sejujurnya seperti yang diakui si bapak pedagang es gepeng tadi, penulis yakin bahwa hal tersebut dilakukan dengan sangat terpaksa karena kondisinya yang kurang mampu.
Bapak atau ayah mana yang tega atau mau menafkahi atau memberikan sesuatu dari hal-hal yang dilarang. Baik itu oleh agama maupun aturan pemerintah.