Ironisnya aksi bejat IWS itu tidak hanya dilakukan sekali, melainkan berkali-kali hingga si siswi sekarang duduk di bangku kelas 1 SMA.
Dijelaskan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Badung AKP Laurens Rajamangapul Haselo, pemerkosaan itu dilakukan tersangka sejak Juli 2016, atau saat korban masih kelas VI SD hingga 11 Januari 2020.
Masih dilansir Kompas.com, modus yang digunakan IWS untuk bisa menyalurkan hasrat bejatnya terhadap korban adalah dengan cara merayu secara terus menerus, hingga korban akhirnya dijadikan seorang kekasih, kumudian terjadi persetubuhan.
Dari beberapa kali terjadi hubunga badan, IWS pernah melakukannya di ruangan kepala sekolah SD negeri di wilayah Kuta Utara, Badung.
Peristiwa pencabulan seorang guru terhadap muridnya memang bukan kali pertama, tapi sering kali terjadi. Entah apa yang merasuki jiwa para tenaga pendidik tersebut hingga tega melakukan hal tak seronok terhadap siswa-siswinya.
Berkaca dari hal tersebut, sangatlah beralasan jika baru-baru ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim menyebut bahwa kekerasan seksual di sekolah termasuk dalam kategori tiga dosa pendidikan di sekolah, bersama perundungan atau bullying dan rasikalisme atau intoleransi.
Lalu, kira-kira apa yang seharusnya dilakukan agar peristiwa memalukan itu tidak terjadi di sekolah?
Sebenarnya sulit juga membenahi mental dan karakter seorang tenaga pendidik yang sudah begitu bobrok.Â
Namun, setidaknya bagi sekolah-sekolah yang memiliki anggaran besar tentunya bisa memasang CCTV di sudut-sudut area sekolah untuk memantau dan mengawasi segala aktifitas yang ada di sekolah, tentunya.
Di samping itu, peran kepala sekolah selaku pimpinan tertinggi dan menjadi penentu kebijakan dituntut kepekaan dan kepeduliannya terhadap seluruh warga sekolah.
Dengan kerjasama yang baik antar seluruh warga di sekolah, saling mengawasi dan mengingatkan sangatlah penting untuk jadi penekanan kepala sekolah di sekolah yang dipimpinnya.
Salam