SUDAH bukan menjadi rahasia umum, bahwa hasrat dan keinginan manusia di manapun berada selalu tidak pernah merasa puas atas apa yang diperoleh. Selalu ingin lebih dan lebih.
"Aku kalau sudah punya rumah, rasanya tidak ingin apa-apa lagi. Bagiku, rumah adalah kebahagiaan dalam hidup"
Setelah apa yang diinginkan tercapai, malah terpikir lagi keperluan lainnya.
"Duh, rumah dan segalanya sudah ada. Masa iya tidak ada kendaraan?"
Nah, ketika kendaraan sudah diperoleh, maka keinginan yang lain akan kembali muncul. Begitu seterusnya.
Apalagi kalau kondisi ekonomi kita sudah merasa cukup atau bahkan terbilang kaya. Maka, godaan untuk terus ingin meningkatkan status sosial di mata masyarakat kadang makin menggila.
Caranya? Ya, tentu saja dengan berupaya membeli barang-barang branded atau mewah.
Karena, diakui ataupun tidak. Di negara kita, Indonesia, cara pandang tentang status sosial masih dilihat dari sisi materialistik. Seperti, jam tangan merk apa yang dipakai, mobil apa, tas merk apa, pakaian merk apa dan sebagainya.
Dan, anehnya masyarakat kebanyakan pun justru seperti mengamini. Ketika ada teman, saudara atau tetangga mengenakan jam tangan mewah.Â
Katakanlah merk Rolex, langsung pikirannya bahwa orang tersebut adalah orang kaya. Mungkin dia kaya dan duitnya tidak berseri.
Masalahnya, ada juga masyarakat yang mendadak minder dan merasa status sosialnya jauh dibanding orang yang memakai jam tangan rolex tadi.
Sehingga pemilik jam rolex malah semakin kepedean dan terus memperlihatkan dirinya sebagai orang yang memiliki status sosialnya lebih tinggi.Â