"Tapi ..."
"Udah, kakek tidak usah banyak pikiran! Nanti aku yang bayar kopinya."
Meski raut wajahnya tampak begitu segan si kakek menurut juga dan duduk persis di sampingku. Ada rasa kikuk yang terpancar dari wajahnya. Mungkin dia tidak terbiasa nongkrong seperti itu. Sementara, aku lihat, barang dagangannya masih banyak.
Setelah kupesankan segelas kopi untuk si kakek, aku mulai membuka pecakapan. Sekedar memecahkan suasana, daripada saling berdiam diri.
"Kakek darimana asalnya?" Tanyaku.
"Kakek berasal dari Rancakalong, Nak!" Jawab si kakek, menyebutkan asal daerahnya, yang ternyata cukup jauh juga dari pusat Kota Sumedang. Jaraknya, tidak kurang dari 20 Kilo Meter.
"Waduh, jauh banget. Dari sana naik apa, Kek?"
"Ya, berjalan kaki saja, Nak. Kalau naik kendaraan, mana bisa laku jualannya."
Aku cukup kaget mendengar jawaban si kakek. Orang setua itu masih mampu menempuh jarak puluhan kilo jaraknya. "Itu, tiap hari kakek lakukan?"
"Ya, iya nak. Kalau tidak begitu, darimana kakek dapat uang," Jawab si kakek, sambil menyeruput kopi yang aku pesankan tadi.
Aku menjadi semakin iba saja dengan si kakek. Aku saja yang usianya mungkin pantas sebagai cucunya, kadang suka dihantui rasa capek dan bosan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Padahal, pekerjaanku tentu saja tidak seberat dia.