UNTUK sementara, kisruh yang melanda wilayah perairan Natuna, Kepulauan Riau sudah mulai mereda, paska kapal-kapal penangkap ikan beserta coast guard milik China tidak lagi beroperasi di wilayah perairan yang masuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia tersebut dan kembali ke negerinya.
Tapi, pembahasan dan diskusi tentang perairan Natuna rupanya masih terus berjalan dan menjadi topik menarik bagi pihak-pihak terkait.
Salah satu contohnya adalah Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sosial (DPP PKS), kemarin, Senin (201/2020) mengadakan diskusi tentang 'Sengketa Natuna dan Kebijakan Kelautan', yang menghadirkan langsung mantan Menteri Kelautan dan Perikananan era Presiden Joko Widodo (Jokowi) jilid pertama, Susi Pudjiastuti sebagai narasumber.
Menurut wanita kelahiran Pangandaran, Jawa Barat ini, dalam rangka penyelesaian penangkapan ikal ilegal di wilayah Laut Natuna tidak dibutuhkan segala macam drama.
Diungkapkan Susi, penanganan kasus di wilayah perairan Natuna cukup diperlukan konsistensi dalam menjalankan amanat Undang-undang Perikanan.
Pernyataan pemilik maskapai penerbangan 'Susi Air' ini disampaikan sebagai bentuk respon tindakan pemerintah dalam hal menangani ketegangan antara Indonesia dengan negara yang dipimpin Xi Jinping di perairan Natuna.
"Yang diperlukan hanya berpatroli secara rutin dan kontinu dari semua instansi negara yang bertugas di situ untuk memastikan hak berdaulat atas sumber daya alam tetap terjaga. Ada yang melanggar, ya hukum, tidak perlu drama," Ujarnya.
Kendati demikian, Susi juga mengapresiasi pemerintah menerjunkan TNI Angkatan lengkap dengan kapal perang dan jet tempur. Tapi, dalam pandangan Susi, menjaga kedaulatan ZEE hanya cukup diperlukan konsistensi menjalankan Undang-undang.
Berkat konsistensi itulah, sekitar sepuluh ribu kapal asing berhasil diusir hanya dalam waktu tiga bulan. Hal tersebut bisa terjadi paska dilakukannya penenggelaman kapal-kapal ikan ilegal yang mencuri di wilayah perairan Indonesia. Klaim Susi, saat dirinya masih menjabat Menteri KKP
Pembahasan Natuna ini terjadi karena sebelumnya hubungan bilateral antara Indonesia dengan China sempat memanas. Penyebabnya adalah masuknya kapl-kapal penangkap ikan beserta coast guard milik Negeri Tirai Bambu itu ke wilayah perairan Natuna yang merupakan ZEE Indonesia.
Karena hal tersebut, Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri pun menyampaikan protes keras.
Protes yang dilayangkan oleh Kemenlu ini tentu saja bukan hanya lantaran masuknya kapal-kapal ikan China. Melainkan, aktifitas tersebut dianggap ilegal, unported dan unregulated (IUU) fishing dan kedaulatan oleh coast guard di perairan Natuna.
Sementara, ZEE Indonesia iru sendiri telah ditetapkan berdasarkan putusan United Nations Conventention for the lawa of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB. Dalam hal ini, sejatinya China diharuskan mengormati putusan dimaksud.
Kendati begitu, awalnya protes Kemenlu ini seolah tidak digubris. China meyakini, bahwa negaranya merasa tidak melakukan pelanggaran hukum internasional yang telah ditetapkan melalui UNCLOS.
Dasar yang menjadi keyakinan mereka itu, menurut Juru Bicara Kemenlu China adalah bahwa perairan Natuna termasuk dalam Nine-Dash line milik negaranya.
Namun, memanasnya hubungan bilateral Indonesia dengan China ini tidak berkepanjangan.
Kapal-kapal penangkap ikan dan coast guard milik China ini akhirnya pergi meninggalkan wilayah perairan Natuna, tak lama setelah Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Kabupaten Natuna.
Penulis, berharap semoga konflik-konflik semacam ini tidak kembali terjadi. Dan, kedaulatan bangsa tetap terjaga dengan utuh. Aaminn
Wassallam
Referensi : satu, dua, tiga, empat, lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H