PERMASALAHAN bilateral yang terjadi antara Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu, China yang sedikit memanas, akhir-akhir ini terus menyedot perhatian publik.
Pangkal masalahnya adalah, kapal-kapal ikan milik China ini dengan semena-mena memasuki wilayah perairan Natuna, Kepulauan Riau dan mengeruk sumber daya ikan di sana, sejak 9 Desember 2019 lalu. Padahal, Perairan Natuna merupakan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.
Bahkan, mirisnya lagi, tidak hanya kapal ikan China saja yang berani memasuki wilayah perairan Natuna. Coast Guard atau kapal patroli keamanan mereka pun ikut mengawal kapal-kapal ikannya.
Soalnya, mereka mengklaim bahwa perairan Natuna adalah bagian dari teritori mereka. Jelas, hal ini membuat Indonesia meradang.
Kecuali surat protes yang pernah dilayangkan Menteri Luar Negeri, karena kapal-kapal ikan dan Coast Guard Cina dianggap telah melanggara batas wilayah. Selebihnya, sikap Pemerintah Indonesia akan kejadian tersebut boleh dibilang "lunak".
Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang diharapkan bisa bertindak tegas dalam mengatasi masalah ini, malah berlaku sebaliknya. Mantan Danjen Kopasus ini lebih memilih tetap tenang karena merasa tidak ada yang terganggu terkait investasi dari China.
"Kita cool (tenang) saja. Kita santai kok ya," kata Prabowo di kantor Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Jakarta Pusat, Jumat (3/1), usai bertemu Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Hampir senada juga dilontarkan Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
Luhut meminta, masalah di Natuna jangan terlalu dibesar-besarkan. Harusnya, kata Luhut, kejadian tersebut dijadikan bahan intropeksi pemerintah karena kurangnya menempatkan kapal penjaga di Natuna.
"Sebenarnya enggak usah dibesar-besarin lah. Kalau soal kehadiran kapal itu, sebenarnya kan kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patroli di ZEE kita itu. Sekarang memang coast guard kita itu," ungkap Luhut, di Jumat (3/1/2020).
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai, bahwa diskusi seperti yang disampaiakan juru bicara Kementerian Luar Negeri China, bukan solusi tepat atas polemik batas wilayah perairan di Natuna karena empat alasan. Hal ini ia sampaikan saat dihubungi Kompas.com, Minggu (5/1/2020).
Pertama adalah karena China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna.
Hikmahanto menuturkan, poin kedua dan ketiga, negosiasi tidak mungkin dilakukan karena dua poin dasar China mengklaim Natuna tidak diakui dunia internasional.
Kedua, dasar tersebut yaitu Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus serta konsep traditional fishing grounds yang menjadi alasan klaim China atas Natuna.
Nine-Dash Line merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
UNCLOS juga tidak mengenal istilah konsep "traditional fishing grounds".
Hal itu dikuatkan dengan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA).
"Dalam putusannya, PCA tidak mengakui dasar klaim China atas sembilan garis putus-putus maupun konsep traditional fishing grounds. Menurut PCA, dasar klaim yang dilakukan oleh Pemerintah China tidak dikenal dalam UNCLOS, di mana Indonesia dan China adalah anggotanya," kata Hikmahanto Juwana.
"Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antar-kedua negara," kata dia.
Keempat, jangan sampai Pemerintah Indonesia dianggap mencederai politik luar negeri bebas aktif.
Menurut dia, utang yang dimiliki Indonesia dari China tidak boleh menjadi dasar kompromi terhadap kedaulatan Indonesia.
"Ketergantungan Indonesia atas utang China tidak seharusnya dikompromikan dengan kesediaan Pemerintah untuk bernegosiasi dengan Pemerintah China," ucap Hikmahanto Juwana.
Wassallam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H