GONJANG-GANJING terhadap Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok setelah pertemuannya dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Tohir, beberapa waktu lalu seolah tidak ada hentinya. Bahkan sosok yang pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta ini hampir tiap hari menjadi obyek berita di berbagai media masa, baik cetak maupun elektronik.
Memang tak dipungkiri, Ahok adalah sosok yang bisa disebut anomali leadership. Karena sikapnya yang tegas, keras, tak kenal kompromi terhadap siapapun yang dianggapnya tak sejalan dengannya dan gaya komunikasinya yang cenderung berangasan menjadi magnet dan daya tarik sendiri bagi para pewarta untuk terus menggorengnya menjadi bahan berita. Gayung bersambut, rasa ingin tahu dan minat baca publik tentang sosok yang satu ini pun masih tinggi. Tak heran, nama Ahok yang sempat tenggelam, secepat kilat kembali meroket.
Pepatah mengatakan, " semakin tinggi sebuah pohon, akan semakin kencang pula angin yang menerpanya". Sama halnya dengan Ahok, apalagi ditambah dengan pernak pernik yang melekat pada dirinya. Semisal gaya bicaranya yang cenderung kasar, tidak kenal kompromi plus mantan napi, menjadikan Ahok mendapatkan serangan atau pertentangan ketika digadang-gadang akan menduduki salah satu pimpinan di perusahaan pelat merah.
Sudut pandang pertentangan dan protes terhadap mantan Bupati Belitung Timur terhadap suksesi kepemimpinannya di BUMN juga beragam. Ada yang menyebut, Ahok tidak cukup pantas dijadikan pimpinan perusahaan pelat merah karena prilaku dan perangainya yang buruk, ada yang mengatakan Ahok mantan napi, Ahok masih kader partai politik, sampai ada pula yang mengaitkannya dengan isu agama.Â
Namun, penulis meyakini, semua arus pertentangan tersebut pada intinya tidak setuju jika Ahok ditempatkan menjadi pimpinan di perusahaan milik negara dimaksud.
Segala bentuk pertentangan dan "Ketidak setujuan" ini muncul ketika pos pimpinan yang akan ditempati Ahok belum jelas.Â
Kini, saat posisi Ahok mulai mengerucut menjadi pejabat tinggi di Pertamina, arus penolakan pun kian bertambah. Adalah Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), yang secara terang-terangan menolak Ahok sebagai pimpinan Pertamina tersebut. Hal ini disampaikan langsung Presiden FSPPB Ari Gumilar, dengan dalih perangai Ahok yang buruk.
Memang cukup aneh juga jika serikat pekerja pertamina ini harus menunjukan penolakannya secara terang-terangan. Apa motif mereka sampai menolak kehadiran Ahok di perusahaan minyak negara tersebut. Jangan-jangan mereka merasa khawatir kenyamanannya dalam bekerja akan terusik oleh kehadiran Ahok yang dipastikan menjadi pendobrak bagi setiap kebijakan atau pengelolaan manajemen yang dianggapnya menyimpang. Sementara, para pekerja di perusahaan BUMN tersebut sudah nyaman dengan kondisi sekarang. Meski diketahui banyak permasalahan di dalamnya.
Dilansir dari CNN Indonesia, Anggota Komisi VI DPR Fraksi PPP, Ahmad Badowi menilai sikap serikat pekerja tersebut bermuatan politis.
"Serikat pekerja kalau melihat itu terlalu politis," tutur Baidowi yang juga Sekretaris Fraksi PPP di DPR saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (19/11)
Baidowi menjelaskan bahwa serikat pekerja hanya sebatas mengerjakan apa yang menjadi kebijakan manajemen. Jika bersikap mendukung atau tidak mendukung calon pimpinan, menurutnya, maka serikat pekerja sudah menunjukkan sikap politis.