SAAT ini anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) William Aditya Sarana boleh jadi merupakan rising star bagi jagat perpolitikan nasional atau khususnya di Jakarta. Hal ini tal lepas dari keberanaiannya membeberkan kepada masyarakat umum tentang adanya kejanggalan anggaran pengadaan barang pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2020.
Diantara yang menghebohkan dari keanehan anggaran dimaksud di atas adalah adanya pengadaan lem Aica Aibon pada lingkungan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang mencapai Rp. 82,8 milyar. Menurut hitung-hitungan William, jumah sebesar itu jika dbelikan aibon semua, maka masing-masing siswa di DKI Jakarta akan mendapatkan jatah dua kaleng setiap bulannya.
Tak pelak, dampak dari tindakan William ini cukup membuat gaduh Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, termasuk menyeret Gubernur Anies Baswedan yang dianggap tidak transfaran dalam penganggaran untuk pengadaan barang tersebut.
Pro kontra atas tindakan anggota paling muda di DPRD DKI ini terus bermunculan. Termasuk salah satunya datang dari Sugianto. Merasa tidak suka atas tindakan William, Sugianto melaporkan William ke Badan Kehormatan (BK) atas tuduhan pelanggaran kode etik karena telah membongkar RAPBD DKI Jakarta, mengadakan konfrensi pers di forum tidak resmi serta telah membuat opini negatif pada Gubernur DKI yang seolah-olah tidak transfaran.
Tentu saja dengan pelaporan tersebut, William harus berurusan dengan BK DPRD DKI. Puncaknya pada Selasa, (12/11/2019), dia dipanggil untuk dimintai keterangannya. Pertanyaannya, bagaimana nasib Politisi muda PSI ini setelah dimintai keterangannya oleh BK? Tentunya banyak masyarakat penasaran.
Seperti dilansir KOMPAS.com, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD DKI Jakarta, Achmad Namawi menyebutkan bahwa William memang sudah diperiksa perdana oleh pihaknya, beberapa hari yang lalu.
"Setelah kesepakatan kesimpulannya kayak apa, itu untuk bahan laporan kepada pimpinan. Pimpinan yang memutuskan, ketua DPRD," kata Ketua Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta Achmad Nawawi saat dihubungi, Jumat (15/11/2019) malam.
Meski demikian dari sembilan orang anggota Badan Kehormatan, mayoritas setuju bahwa sikap William adalah sikap kritis.
"Kalau ada program yang diajukan oleh gubernur tapi tidak pro rakyat ya kita kritisi lah. Atau mungkn program dan anggaran diajukan tapi nampaknya pemborosan amat, tidak efisien, kita kritisi, betul," tuturnya.
Jika mencermati pernyataan Achmad, dengan mengatakan kesembilan anggota BK setuju bahwa sikap William adalah sebagai sikap kritis. Boleh jadi, mereka akan memaklumi tindakan William dimaksud alias bukan pelanggaran berat.
Sebagaimana diketahui bersama, pada lembaga apapun bentuk sanksi rata-rata dibagi dalam tiga bagian. Yaitu, sanksi ringan, sedang dan berat.
Kembali, jika kita berkaca pada penyataan Ketua BK DPRD DKI, penulis rasa William tidak akan sampai dijatuhkan sanksi berat atau pemecatan dari keanggotaan. Dengan alasan sebagai berikut :
Pertama, karena yang dituduhkannya hanya pelanggaran kode etik bukan korupsi atau tindakan asusila yang melanggar norma-norma agama atau pemerintah.Â
Kedua, jika dipaksakan sanksi berat apalagi sampai keluar surat pemecatan, bukan mustahil akan berdampak pada konstelasi politik di DKI. Bagaimanapun, yang mendukung atas tindakan William tidak sedikit. Terutama dari kalangan masyarakat penggiat anti korupsi. Dengan kata lain, DPRD DKI akan sebisa mungkin menghindari gesekan-gesekan yang akan terjadi.
Menurut hemat penulis, sanksi yang paling mungkin dijatuhkan pada William adalah sangsi sedang dan ringan. Sanksi tersebut bisa berupa teguran lisan atau tulisan (sanksi ringan) atau dipindahkan dari alat kelengakapan DPRD. Kecuali kalau William termasuk salah seorang unsur pimpinan, bisa jadi jabatannya tersebut dicopot atau diberhentikan (sanksi sedang).
Itu mungkin sanksi yang akan dijatuhkan terhadap William menurut tebakan receh penulis. Meski begitu, kepastiannya seperti dikatakan Achmad Namawi ada di tangan Ketua DPRD DKI Jakarta sendiri.Â
Semoga saja putusan yang keluar nanti adalah sanksi yang benar-benar mengacu pada aturan yang ada. Bukan berdasarkan unsur like and dislike apalagi dicampuri kepentingan politik lainnya. Wassalam.