DALAM beberapa waktu kedepan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dipastikan akan menunjuk lima orang Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kelima orang Dewas ini terdiri dari satu orang ketua dan empat orang anggota.
Sampai saat ini, publik masih dibuat penasaran tentang nama-nama yang akan dipilih Jokowi. Meski, beberapa kali mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyatakan bahwa yang akan ditunjuknya ini adalah orang-orang baik. Tetap saja tidak membuat publik, terutama para penggiat anti korupsi merasa tenang.
Bagaimanapun, baik menurut Presiden Jokowi belum tentu baik dan berbanding lurus dengan keinginan publik. Karena, sudah menjadi mahfum seluruh masyarakat di negeri ini, bahwa keberadaan Dewas KPK bukanlah lembaga yang diinginkan publik. Justeru sebaliknya, dianggap berpotensi melemahkan lembaga antirasuah.Â
Masalahnya, Dewas memiliki kewenangan yang sangat besar dibanding dengan unsur pimpinan KPK itu sendiri.
Hal ini berkaca pada adanya beberapa kewenangan pimpinan KPK yang diamputasi. Misalnya mekanisme penyadapan. Dalam UU KPK Nomor 30 tahun 2002, proses penyadapan cukup mendapatkan izin dari pimpinan KPK. Sedangkan dalam UU KPK hasil revisi yang disahkan DPR atas kesepakatan Pemerintah, tanggal 17 September 2019 lalu, proses penyadapan harus meminta izin dulu ke Dewas KPK. Izin tersebut bisa keluar dalam waktu 1x24 jam. Itupun kalau Dewas mengijinkan. Jika tidak, otomatis penyadapan pun batal terlaksana.
Kembali pada nama-nama Dewas KPK yang akan ditunjuk atau dipilih langsung oleh Presiden Jokowi, memang menarik kita tunggu. Namun sebelumnya sempat beredar isu yang cukup kuat, bahwa Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok adalah sosok yang dianggap paling tepat untuk menduduki kursi Dewas KPK. Isu ini berkembang di warganet. Mereka menilai, Ahok memiliki integritas dan kapabelitas mumpuni untuk duduk pada posisi Dewas KPK.
Namun belakangan isu tersebut ditepis Ahok. Dirinya tidak mungkin menjadi salah seorang anggota Dewas KPK karena statusnya telah menjadi kader partai politik, PDI Perjuangan. Sementara, salah satu syarat untuk menjadi Dewas adalah orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan partai politik atau sebagai kader partai.Â
Sedang hambatan lain yang bisa menjegal keinginan warganet agar Ahok menjadi Dewas KPK adalah status mantan Bupati Belitung ini pernah menjadi narapidana. Seperti diketahui, Ahok pernah menjadi pesakitan dibalik jeruji besi penjara atas tuduhan pelecehan atau penghinaan terhadap agama.Â
Syarat Dewan Pengawas KPK yang tidak boleh mantan narapidana tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Selain Ahok, muncul juga mantan Ketua KPK, Antasari Azhar. Lagi-lagi, dia pun sepertinya sulit menduduki kursi Dewas KPK, karena pernah mempunyai catatan hitam serupa dengan Ahok. Yaitu pernah menjadi narapidana. Walaupun akhirnya dibebaskan bersyarat, Antasari mendekam dalam penjara karena dituduh menjadi dalang pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, pengusaha asal Makasar.
Lantas, siapa yang tepat untuk menduduki kursi Dewas KPK ini? Tentu jawabannya masih ada di dalam kantong Presiden Jokowi sendiri. Mantan Walikota Solo ini tentunya telah mempunyai kriteria dan persyaratan tersendiri tentang siapa yang pantas menduduki kursi Dewas KPK.
Seperti dilansir Tirto.id mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (BW) menyebut, idealnya calon Dewas KPK harus mampu memenuhi tiga syarat.Â
Pertama, mempunyai pengetahuan dan ahli di bidang hukum. Karena Dewas KPK akan mengurus hal-hal teknis penegakan hukum tindak pidana korupsi.Â
Kedua, Dewas KPK harus bersih dari konflik kepentingan agar tidak mengganggu kinerja KPK.
"Siapapun yang menjadi dewan pengawas seharusnya dia tidak punya potensi conflict of interest. Enggak bisa langsung ditentuin gitu, Presiden harus cek. Kalau nanti sampai kemudian sudah dipilih, kemudian ternyata ada kasusnya di KPK, apa enggak bikin ribet lagi?"
Sedangkan yang ketiga, masih dilansir dari Tirto.id, Dewas harus bisa bekerja sama dengan kelima komisioner KPK agar dalam menentukan keputusan bisa sejalan dan satu visi.
"Di KPK ini kan ada sense, ada mekanisme dan macem-macem, jangan sampai kemudian ini menjadi stuck, karena komisionernya ngomong begini, Dewan Pengawasnya ngomong begini. Jadi orang yang di situ harus orang yang suitable kerja sama dengan teman-teman komisioner," katanya.
Pertanyaannya, akankah persyaratan yang disebutkan oleh BW ini satu pemahaman dan ideal juga buat Presiden Jokowi?... Tentunya kita hanya bisa berharap demikian. Kembali, putusan final ada pada Jokowi sendiri. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H