PENANTIAN panjang elemen masyarakat, mahasiswa dan penggiat anti korupsi tentang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pencabutan Undang-Undang Kimisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi, terjawab sudah.
Sudah bisa dipastikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang awalnya diharapkan jadi "pahlawan" terkait kisruh KPK ini, nyatanya cenderung berfihak pada kepentingan partai politik, dibanding terhadap masyarakat.
Hal ini bukan tanpa alasan. Sejak awal partai politik terkesan tidak senang dengan sepak terjang KPK. Soalnya, yang disisir KPK, tidak hanya pejabat korup rendahan. Tapi, merambah ke para elite politik. Bahkan diantaranya ada juga Ketua Umum partai politik. Yakni, Ketua Umum Golkar, Setya Novanto. Sosok yang dikenal dengan drama badut tiang listrik ini diduga menerima suap dari pengadaan e-KTP.
Menyusul Setya Novanto adalah Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romi Romahurmuzi. Â Dia terkena OTT atas dugaan suap pengkondisian jabatan di Kementrian agama Jawa Timur.
Pernyataan tidak akan menerbitkan Perppu tersebut, Jokowi ungkapkan dengan dalih masih menghormati dan menunggu hasil uji materi yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan Jokowi ini diyakini membuat sebagian besar masyarakat, mahasiswa dan penggiat anti korupsi, kecewa.Â
Bagaimana tidak, dengan UU KPK hasil revisi membuat peluang para koruptor maupun calon koruptor ditenggarai akan berpesta pora. Karena sebagian besar kewenangan lembaga antirasuah tersebut telah diamputasi. Sehingga kegarangannya dalam pemberantasan korupsi diduga kuat jauh berkurang. Bahkan prestasi KPK dengan banyaknya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) berpotensi menurun drastis.
Betapa tidak, "Senjata sakti" KPK berupa kewenangan  penyadapan, dengan UU KPK hasil revisi, ruang geraknya jadi dibatasi. Karena, pasca diberlakukannya UU KPK baru, tindakan penyadapan ini tidak bisa diputuskan langsung oleh komisioner atau pimpinan lembaga antirasuah. Melainkan harus meminta izin terlebih dahulu kepada dewan pengawas.Â
Jadi, untuk bulan-bulan ini jangan harap akan ada koruptor yang mayoritas melibatkan pejabat publik ini kena OTT. Karena, dewan pengawas itu sendiri belum terbentuk. Sedangkan UU KPK anyar itu sendiri sudah berlaku sejak 17 Oktober 2019 lalu, atau 30 hari pasca disahkan DPR berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah. Sementara, dewan pengawas yang rencananya akan ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi, belum jelas waktunya.
Dilansir dari TEMPO.CO, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti kecewa dengan pernyataan Jokowi yang enggan menerbitkan Perppu. Menurutnya, pemimpin yang tidak mendukung pemberantasan korupsi tidak layak mendapatkan dukungan.
"Buat saya pemimpin yang tidak mendukung pemberantasan korupsi tidak layak untuk mendapatkan dukungan," kata Bivitri saat dihubungi, Sabtu, 2 November 2019.
Bivitri adalah salah satu tokoh yang pendapatnya dimintai Jokowi terkait wacana penerbitan perpu KPK. Pertemuan antara Jokowi dan 41 tokoh itu dilakukan di Istana Negara pada 26 September 2019.Â
Pertemuan itu dihelat setelah gelombang unjuk rasa mahasiswa di sejumlah kota menolak UU KPK hasil revisi dan pengesahan rancangan UU kontroversial lainnya.
Pernyataan pedas Bivitri ini diyakini sebagai ungkapan kekecewaan yang sudah diluar batas. Karena sebagaimana kita ketahui, korupsi di Indonesia sudah begitu menggurita. Tidak hanya teejadi di lembaga-lembaga tinggi negara. Tapi telah merambah pula hingga tingkat desa. Makanya cukup beralasan jika korupsi di cap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinarry crime) dan menjadi musuh negara.
Pertanyaannya, bagaimana korupsi semakin bisa diberantas. Ketika KPK masih diberi kewenangan penuh saja begitu banyak kasus-kasus korupsi yang terungkap. Apalagi sekarang lembaga antirasuah ini telah diamputasi segala kewenangannya.
Ayo, pak Presiden. Pertimbangkan lagi keputusannya. Jangan sampai rakyat kecewa hanya karena bapak tidak menerbitkan Perppu KPK, atau mungkin bapak punya rencana lain dalam hal pemberantasan korupsi di tanah air yang lebih baik?...Semoga..!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H