PELANTIKAN Kabinet Indonesia Maju (KIM), Rabu (23/10/19), menyisakan pandangan beragam dari berbagai kalangan. Baik, dari masyarakat awam sampai pada pengamat politik nasional. Pro kontra pasca pelantikan kabinet memang kerap kali terjadi, bahkan pada era orde baru sekalipun. Karena, keinginan kalangan masyarakat tak selamanya sejalan dengan keinginan pemerintah.
Khusus bicara tentang pengumuman dan pelantikan kemarin, tak dipungkiri ada beberapa kejutan. satu yang sangat banyak menyita perhatian masyarakat dan warganet adalah dipilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).Â
Pria kelahiran Singapura ini dianggap tidak tepat ditempatkan pada posisi Mendikbud mengingat minimnya rekam jejak di organisasi dan latar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan jabatan barunya tersebut. Selain itu, umurnya yang baru menginjak angka 35 dianggap masih "bau kencur" untuk menahkodai kementerian ini.
Kejutan lainnya yaitu, tidak terpilihnya kembali Susi Pudjiastuti. Padahal prestasi perempuan asal Pangandaran Jawa Barat ini cukup menonjol sewaktu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) pada masa kabinet Jokowi jilid pertama. Entah apa yang mendasari Presiden Jokowi tidak lagi menggunakan Susi. Mungkin hanya Jokowi dan Susi sendiri yang tahu. Namun yang pasti, pos Menteri KKP ini sudah ditempati Edhy Prabowo.
Bagi penulis, dari segala kejutan dan terobosan yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap Kabinet Indonesia Maju adalah dipilihnya Jendral Polisi Tito Karnavian.Â
Bukan masalah sangsi atas kemampuannya untuk menahkodai kementrian dalam negeri. Bagaimanapun, pria kelahiran 26 Oktober 1964 ini adalah orang yang cerdas.Â
Salah satu buktinya adalah menjadi lulusan terbaik Akpol tahun 1987 dan pernah meraih gelar Ph.D bidang Strategic Studies with Interest on Terrorism and Islamic Radicalization di RSIS, Nanyang Technological University Singapore (2013). Sebagai yang mempunyai intelektualitas di atas rata-rata, rasanya tak sulit bagi Tito Karnavian beradaftasi dan memunculkan gagasan-gagasan terbaik di jabatannya yang baru.
Namun yang menjadi heran penulis adalah, kenapa Presiden Jokowi mengangkat Tito Karnavian, disaat pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan ini tengah dihadapkan pada kasus besar yang sampai saat ini masih menjadi misteri dan mengundang tanya besar. Yakni, kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi pernah memerintahkan Tito, yang saat itu masih menjabat Kapolri untuk segera mengungkap dan menuntaskan kasus tersebut. Dia diberi waktu tiga bulan, terhitung mulai tanggal 19 Juli sampai dengan 19 Oktober 2019. Masih kata Jokowi, pada tengat waktu yang telah ditentukan, Tito akan dipanggil dan dimintai penjelasan tentang perkembangan kasus dimaksud.
Tapi, pada tanggal 19 Oktober 2019, sebagai batas akhir kesempatan yang diberikan Presiden Jokowi, tidak ada pemanggilan dan tidak ada penjelasan apapun dari Tito tentang perkembangan kasus Novel Baswedan. Sekalinya, Tito Karnavian dipanggil ke Istana Negara bukan untuk dimintai laporan, melainkan diserahi jabatan baru selaku Mendagri.
Pertanyaannya, Kenapa Presiden Jokowi malah mengangkat Tito Karnavian jadi Mendagri di saat kasus Novel belum mampu dituntaskan?...
Ada banyak spekulasi tentang jawaban ini. Namun, menurut pendapat penulis, kasus Novel bukanlah kasus kriminal biasa. Maaf untuk urusan kasus-kasus murni kriminal yang dilakukan penjahat-penjahat biasa dan tidak didalangi orang-orang kuat atau pejabat tinggi, aparat kepolisian adalah jagonya.
Tapi, untuk kasus Novel?...rasanya tak berlebihan kalau penulis curiga, kasus ini didalangi oleh orang kuat atau melibatkan pejabat tinggi di belakangnya. Soalnya, kasus Novel bukan terjadi satu atau dua bulan lalu, melainkan sudah lebih dari dua tahun. Dan, hasilnya sampai saat ini masih abu-abu.
Kecurigaan penulis ini diperkuat dengan fakta-fakta yang telah diberitakan di berbagai media masa, bahwa sebelum terjadi penyiraman air keras, Novel tengah menangani enam kasus besar, salah satunya terkait kasus e KTP. Namun, menurut Novel masih ada satu lagi kasus yang tengah ditanganinya, yakni terkait buku merah milik pengusaha impor daging, Basuki Hariman. Basuki adalah terdakwa kasup suap kepada hakim konstitusi, Patrialis Akbar.
Belakangan, kasus buku merah tersebut menjadi heboh. Karena beberapa lembar isinya dirobek. Diduga kuat, kertas yang dirobek tersebut merupakan daftar nama pejabat tinggi negara.
Rasa heran penulis terhadap penunjukan Tito Karnavian menjadi Mendagri juga dirasakan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudin Haris.
Dilansir dari Kompas.com, Syamsudin menilai, harusnya Presiden Jokowi menagih Tito soal penuntasan kasus Nobel sebelum menunjuknya sebagai Mendagri.
"Mestinya Presiden tagih dulu kepada Pak Tito, sebab tiga bulan yang lalu Presiden sudah menugaskan menangkap penyerang Novel. Dan batas waktu tiga bulan itu sudah lewat," kata Syamsuddin.
Menurut dia, penunjukan Tito sebagai menteri justru mengherankan. Sebab, publik sudah tahu ada pekerjaan yang belum tuntas.
Apakah dengan ditunjuknya Tito Karnavian, membuat kasus Novel akan terus berlarut-larut dan dibiarkan menjadi abu-abu?...kita tunggu gebrakan Kapolri baru, yang kemungkinan besar akan dijabat oleh Kepala Badan Resers Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Komjen Idham Azis, sesuai keinginan Presiden Jokowi.****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H