Wahai negeri, engkau adalah bangsa besar gemah ripah loh jinawi
Ramah tamah penduduknya menjadi ceriminan jati diri bangsa pribumi
Pantaslah, pertiwi tersenyum manja dengan lirikan matanya memberi rasa aman penduduk negeri
Karena....bumi yang dipijak adalah bumi kaya akan oase kehidupan
Tapi...semua itu, tinggalah mimpi, senyum pertiwi tiada lagi
Kini hanya mampu menangis, melihat tingkah polah anak negeri menyebar segala rasa iri dengki
Keserakahan terus mencabik dan menggerogoti tanpa empati
Bumi pertiwi telah dijamah tangan-tangan dan hati penuh keangkuhan
Ingin rasanya kulabuhkan harapan pada saudaraku yang dipercaya mengurus pertiwi
Tapi, sayang wakil diri terlalu sibuk mengintip dan berebut kursi
Berkoar, berjanji untuk negeri, namun ternyata hanya kumpulan narasi yang dibumbui janji-janji tak pasti
Lalu, lupa memperbaiki negeri, hingga jaya pertiwi tak lagi ada dalam agenda si pemilik kursi
Wahai negeri, jika wakil hati hanya mampu bernarasi tak pasti
Izinkanlah diri, Â merajut selarik aksara untuk ibu pertiwi
Kan ku untai menjadi bait-bait puisi yang menyejukan hati
Semoga, ibu pertiwi terhibur meski bait puisi ini kupungut dari kepingan aksara tangisan anak negeri.
Sumedang, 13 Oktobet 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H