Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

DPR Antikritik, Jokowi di Ujung Tanduk

25 September 2019   21:48 Diperbarui: 26 September 2019   03:51 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MEMINJAM salah satu tulisan mahasiswa pada saat menggelar aksi demo di depan gedung DPR, kemarin (24/09/2019), "DPR Anti Kritik" memang ada benarnya. Ini, jika mengacu pada disahkannya Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) menjadi UU KPK baru versi revisi.

Bagaimana tidak bisa disebut anti kritik, sejak inisiasi revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 dicanangkan oleh PDI Perjuangan, nada-nada keberatan yang berujung protes, gencar dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat termasuk pengiat anti korupsi.

Bahkan tidak hanya rencana revisi UU KPK saja yang diprotes, para calon pimpinan KPK pun dipertanyakan. Karena, beberapa diantaranya dianggap tidak pantas. 

Namun, apa yang terjadi?... UU KPK versi revisi akhirnya disahkan. Pun dengan ketua KPK yang baru juga sudah sama-sama kita ketahui, yaitu Firli Bahuri.

Rupanya semua protes, segala tuntutan dan seluruh aksi protes ini tidak pernah didengar DPR. Ibarat pribahasa, anjing menggonggong, kafilah berlalu. Mereka (DPR) terus saja memaksakan kehendaknya dengan mengesahkan UU KPK.

Padahal, para politisi senayan ini sudah beberapa kal dikasih tahu, bahwa dalam poin-poin UU KPK yang baru tersebut berpotensi melemahkan lembaga antirasuah.

Sebut saja, pembentukan dewan pengawas yang kewenangannya melebihi para komisioner pimpinan KPK itu sendiri. Malah bisa disebut dalam UU KPK yang baru ini, para pimpinan KPK tak lebih dari wayang semata.

Pasalnya dalam setiap menjalankan tugasnya harus seizin dewan pengawas. Ini, jelas berbeda dengan tugas pimpinan KPK sebelum undang-undangnya di revisi. Setiap kebijakan atau kewenangan apapun bisa ditentukan langsung pimpinan KPK. Sehingga, pergerakan KPK bisa berjalan cepat dan sigap.

Begitupun dengan kewenangan penyadapan. KPK tidak bisa lagi bergerak cepat, karena lagi-lagi harus meminta izin kepada dewan pengawas, dan itupun masa berlakunya bisa 1 x 24 jam.

Mending, kalau dewan penasehat ini memberi izin. Kalau tidak, berarti penyadapan pun urung dilalaksanakan. Ini berarti, memberikan peluang pada bakal target penyadapan melenggang mulus melakukan pelanggaran-pelanggaran melawan hukumnya. Dalam hal ini, pelanggaran tindak pidana korupsi.

Itulah dua poin penting diantara poin-poin lainnya yang berpotensi besar bisa melemahkan kinerja lembaga antirasuah. Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi dengan negara ini jika KPK sebagai role model lembaga pemberantasan korupsi, sebagian kewenangannya di amputasi.

Dengan kewenangan penuh saja, korupsi masih begitu menggurita, apalagi dengan keberadaan KPK paska disahkannya UU KPK baru.

Berangkat dari ini pula, kepercayaan masyarakat awam, mahasiswa dan penggiat anti korupsi terhadap Presiden Joko Widodo terjun bebas. Orang yang dianggap satu-satunya bisa menggagalkan rencana terselubung para politisi senayan, malah ikut larut didalamnya. Tanpa diduga, Jokowi menyetujui pembahasan RUU KPK dilanjutkan.

Entah apa yang mendasari Jokowi membuat kebijakan tidak populis seperti itu. Padahal, dia sendiri yang berjanji, bahkan sudah tercatat dalam visi misinya waktu mencalonkan jadi presiden, yakni bakal berdiri paling depan sebagai panglima tertinggi dalam hal pemberantasan korupsi di Nusantara.

Tapi, nyatanya jauh panggang dari api. Opini yang berkembang, Jokowi sudah tersandera oleh partai politik pendukungnya sendiri.

Akibatnya, kebijakan tidak populis ini menohok pada presiden Jokowi sendiri. Terbukti, aksi demo di beberapa daerah termasuk di Jakarta, menuntut Jokowi mundur dari jabatannya.

Memang bukan saja tentang UU KPK, tapi ada hal lainnya yang sama-sama tengah jadi masalah besar di negeri ini, seperti kisruh Papua dan Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Kalimatan dan Sumatera.

Tapi, intinya sekarang, Jokowi tengah di ujung tanduk. Jika ini dibiarkan terus akan menjadi bola salju, makin lama makin membesar dan mengancam posisinya sebagai presiden.

Apalagi, situasi politik paska Pilpres belum sepenuhnya pulih. Bisa jadi, situasi yang tidak menentu seperti ini dimanfaatkan dan diboncengi oleh kepentingan politik lain.

Sebenarnya, jika kepercayaan rakyat ingin kembali, Jokowi bisa mengeluarkan kartu As, yaitu dengan menerbitkan Peraturan pengganti undang-undang (Perppu). Lagi-lagi, Jokowi bergeming dengan sikapnya. Dia dengan tegas tidak akan menerbitkan Perppu dan UU KPK versi revisi jalan terus. 

Alasan yang dilontarkannya adalah karena situasi negara masih normal. Yang jadi pertanyaan, apakah Jokowi menungu dulu negara kacau, baru Perppu dikeluarkan? Menurut penulis, hal tersebut sama halnya menantang kemarahan rakyat. Dan ini sangat berbahaya bagi stabilitas keamanan maupun politik.

Wassalam

Malang voice
Malang voice

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun