DESA Astina, adalah salah satu desa yang sekitar sepuluh tahun lalu adalah desa yang terkenal kaya dengan potensi alamnya. Pesawahan luas hujau membentang. Air sungai mengalir bersih, sering kali jadi tempat main anak-anak di kala sore, Hutannya lebat, dan pegunungannya yang sejuk, menambah indah desa tersebut. Tak hanya itu, masyarakatnya yang mayoritas petani, hidup dengan sejahtera. Namun, semenjak kepemimpinan desa dikendalikan Burhan, lebih dari lima tahun lalu, keadaan Desa Astina berubah drastis.
Air sungai menjadi kotor penuh limbah, masyarakat hampir sebagian besar tak bisa bertani lagi karena lahan pesawahannya terkontaminasi zat-zat kimia berbahaya yang berasal dari pembuangan limbah pabrik. Sementara, pegunungan yang awalnya hijau, mendadak jadi gersang dan kering kerontang akibat adanya perusahaan galian C yang mengeksploitasi lahan tambang di sekitar pegunungan.Â
Sedangkan hutan pun jadi gundul, akibat pembukaan lahan yang terus terjadi di desa itu. Sungguh pemandangan kontras, waktu desa ini masih dinahkodai kepala desa sebelumnya. Lantaran, saat itu si kepala desa selalu menolak tegas, siapa pun investor yang ingin mendirikan perusahaan di daerahnya.
Menjamurnya perusahaan dan eksploitasi lahan yang kian merajalela, saat ini tak sedikit masyarakat Desa Astina yang terancam hidup miskin. Karena, mereka, sudah tidak bisa lagi bertani, sebagai sumber mata pencaharian utama.Â
Sementara, pemandangan kontradiktip tampak pada kondisi Burhan. Dia mendadak jadi orang kaya raya dengan rumah mewah, mobil mewah dan hidup terus berpoya-poya. Tak pelak, prilakunya ini tidak disenangi masyarakat. Namun, tidak ada satu orang pun yang berani protes. Karena, dipastikan babak belur digebuki anak buah Burhan.
Pada suatu sore, Burhan tampak asik nongkrong di ruang tamu sambil menikmati kopi panas. Namun, sesekali dia melihat jam tangan mahalnya, terus matanya menoleh ke luar. Rupanya dia sedang menunggu seseorang.Â
Benar saja, tak lama kemudian, satu kendaraan mewah dengan flat nomor asal Jakarta, masuk ke pekarangan rumahnya yang luas. Sejurus kemudian, turunlah dua orang pria berambut klimis dengan setelan jas mahal.
Melihat kedua orang itu turun, Burhan beringsut keluar, menyambut kedua orang tersebut.
"Silahkan, masuk tuan-tuan..!" Sambut Burhan, ramah.
"Iya, Pak Burhan. Maaf, kami berdua agak terlambat. Maklum, jalanan macet..!" Jawab salah seorang tamu.
"Oh, tidak apa-apa. Santai saja, tuan-tuan," Sahut Burhan.
"Oh, mari silahkan masuk.!" Timpal Burhan.