Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Debat Kusir Pindah Ibu Kota Berujung Bogem Mentah

30 Agustus 2019   05:43 Diperbarui: 30 Agustus 2019   12:59 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEPUTUSAN mutlak Presiden Joko Widodo tentang pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan timur yang diumumkan pada Senin (26/08/2019) lalu, terus menjadi topik hangat di berbagai kalangan akademisi, birokrasi serta politisi. Bahkan viral di berbagai media sosial. Betapa tidak, sebelum adanya rencana dan akhirnya jadi keputusan presiden. Penulis rasa tak ada satu kepala pun di negeri ini yang berani memikirkan tentang kepindahan ibu kota. Bahkan mungkin dalam mimpipun tidak.

Pro kontra dalam satu kebijakan pemerintah wajib hukumnya terjadi di negara demokrasi manapun. Karena  dua magnet bersebrangan ini tak bisa lepas dari kehidupan bernegara. Tak ramai rasanya jika segala keputusan pemerintah diterima sepenuhnya oleh semua kalangan penyelenggara negara atau penduduk negeri. Riak, atau intrik politik pasti terjadi.

Namun pada kesempatan ini penulis tak bermaksud menggiring apalagi menggoreng isu ini ke ranah politik atau elemen manapun. Biarlah hal itu jadi persoalan atau pemikiran kelompok-kelompok elite di atas sana.

Dalam hal ini, penulis hanya ingin menegaskan, bahwa isu kepindahan ibu kota ke Provinsi Kalimatan Timur juga mendapatkan perhatian serius di kalangan akar rumput alias penduduk kecil yang selama ini hidupnya lebih sering memikirkan tentang isi perut. Setidaknya itu yang penulis saksikan, di sebuah kedai kopi, dua hari lalu.  Selepas menjalankan tugas rutin, penulis suka melepaskan penat di sebuah kedai kopi langganan.

Di kedai itu tampak sekelompok pria yang usianya rata-rata di atas 35 tahun. Mereka asik ngobrol diselingi canda tawa. Penulis pikir, mereka merupakan orang-orang satu komunitas. Tampak, kaos yang dikenakan hampir semuanya seragam.

Jelas, awalnya tak mau ambil pusing dengan keberadaan mereka. Cukup fokus dan menikmati kopi panas. Tapi, entah kenapa, sekelompok orang tersebut jadi membahas tentang isu pindahnya ibu kota. Canda tawa yang sebelumnya jadi bumbu, berubah serius.

Penulis perhatikan dua di antara mereka adalah orang yang tidak setuju dengan kepindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Maklum, sepertinya mereka adalah pendukung partai oposisi waktu Pilpres lalu.

Dengan gestur dan gaya bicara layaknya pemerhati atau politisi elite, ke dua orang ini menjelaskan alasan tentang ketidak setujuannya itu.  Bahwa keputusan Presiden Jokowi merupakan putusan yang tidak populis dan terkesan dipaksakan. Namun, hal yang paling mengancam  dan merugikan bagi rakyat adalah calon beban hutang negara yang bakal luar biasa besarnya. Hal tersebut diyakini akan menjadi warisan hutang anak cucunya.

Ketidak setujuan kawannya itu dibantah keras oleh lawannya. Mereka bergantian menyampaikan argumen-argumennya sebagai bentuk pembenaran atas keputusan Presiden Jokowi. Kesimpulannya, fihak pro Jokowi ini berpendapat, pindahnya ibu kota bakal menguntungkan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Karena sentra ekonomi tidak lagi terpusat di Jakarta atau pulau Jawa pada umumnya. Tapi menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara. Selain itu, perhatian pro Jokowi ini juga terarah pada pemerataan penduduk yang selama ini terlalu menumpuk di pulau jawa.

Dari sinilah debat seru diantara mereka terjadi layaknya nonton program talk show di Televisi. Makin lama, perdebatan terus meruncing. Puncaknya, salah satunya berdiri dan langsung memberikan bogem mentah pada bagian wajah lawan debatnya itu. 

Perkelahian pun hampir terjadi jika kawan-kawan mereka yang lain tidak segera melerai. Meski masing-masing masih kelihatan belum puas dan mendumel, tak urung keduanya saling memaafkan dan berangkulan.

Jangan sampai terpecah belah
Seperti penulis tulis di atas, bahwa setiap keputusan pemerintah bakal menimbulkan pro kontra. Namun, penulis berharap segala perbedaan pendapat ini janganlah dijadikan sebagai pemicu perpecahan di antara saudara sendiri. 

Anggaplah perbedaan itu anugerah dan biasa dalam dinamika berpolitik atau dalam pemerintahan. Justeru alangkah eloknya, kalau perbedaan itu dijadikan kekuatan. Kritik (yang membangun) dari fihak kontra tentunya sangat dibutuhkan sebagai kontrol atau penyeimbang dalam segala bidang. Hingga akhirnya bermuara pada out put yang optimal. Hasilnya bisa benar-benar dirasakan bangsa dan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Wassallam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun