Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ultra Nasionalisme

15 Agustus 2019   12:15 Diperbarui: 15 Agustus 2019   14:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JARI jemari Andika bergerak lincah menjelajahi hurup demi hurup di atas laptop kesayangannya. Bagi dia, merangkai ribuan kata menjadi sebuah karya jurnalistik sudah menjadi keahliannya. Tak butuh waktu lama bagi dia membuat artikel atau berita tentang politik dan hukum. Tapi kali ini beda. Materi yang dihadapinya adalah tentang rasa nasionalisme. Sebuah karya tulis yang hampir tak pernah dia buat. Mentok, inspirasi sepertinya enggan mendekat. Kepulan asap yang tak henti merajah paru, belum mampu membantunya memunculkan sebuah ide.

"Ah bodohnya aku" Andika menepok dahinya sendiri. Sang jurnalis ingat akan kejadian yang menimpa tetangganya tadi pagi. Dia putar kembali memorinya, menelusuri detil kejadian itu dari awal sampai akhir, kemudian tersenyum membayangkan kejadiannya.

"Ibuuuuuu...!" Dari belakang rumah seorang laki-laki setengah tua berteriak memanggil isterinya.

"Iya ayah, ada apa ngagetin ibu aja?!" Sahut isterinya, bergegas hampiri si suami.

"Ibu lihat tiang bendera kita nggak?" ayah cari di belakang rumah, nggak ada" Matanya liar, mencari benda yang dibutuhkannya itu.

"Nggak..lagian tumben ayah cari tiang bendera segala"

"Ibu ini gimana, sebentar lagi kan hari kemerdekaan. Kita diwajibkan pasang bendera...!" Jawabnya, kesal.

"Ya udah jangan cemberut gitu...! Coba pinjam ke tetangga, barangkali aja punya" Saran isterinya.

"Ya nanti ayah coba"

***
"Eh pak Salim. Ada ya pak?"....

"Maaf nak Andre, barangkali punya tiang bendera cadangan, bapak mau pinjam...!"

"Duh maaf pak. Cuma satu, itu juga udah dipake" sahut Andre, sambil menunjuk ke arah tiang bendera yang berdiri kokoh depan rumahnya.

"Aduh bisa malu kalau gini. Takut di sangka tidak nasionalis" ucap Salim, bingung.

"Nggak apa-apa pak Salim. Rasa nasionalis itu tidak diukur dari pasang atau tidaknya bendera. Itu hanyalah simbolis. Nasionalisme itu dilihat dari ucap dan prilaku kita sebagai warga negara. Jadi buat apa pasang bendera, kala diri kita tidak mencerminkan itu"

"Bagi kamu bisa aja ngomong seperti itu, karena tidak pernah merasakan kebanggaan dengan bendera merah putih. Harap kamu tahu, orang tua dan kakek buyutku itu semuanya pejuang kemerdekaan. Jadi jangan hina aku dengan tutur katamu tadi....!" Hardik pak Salim. Laki-laki setengah tua ini telah salah faham dengan perkataan Andre. Dipikirnya, tetangganya ini menuduh dia tidak nasionalis.

Darah muda Andre bergejolak, dia pun merespon hardikan tetangganya tersebut.

"Eh pak Salim, jangan mentang-mentang anda lebih tua, lalu seenaknya saja menghardik saya...! Jangan kira bapak aja yang punya jiwa nasionalis itu. Saya juga demikian. Lagi pula,  bukan maksud menuduh pak Salim tak nasionalis. Justeru sebaliknya, biar bapak tidak merasa malu hanya karena tidak pasang bendera"

Adu mulut keduanya terus terjadi, akhirnya berujung pada adu fisik. Beruntung, ada beberapa warga dan Andika sendiri melerainya. Hingga, pertikaian lebih sengit urung terjadi. Kedua orang tetanggan ini sadar, masalah yang terjadi bukan dipicu urusan pribadi. Melainkan, karena rasa nasionalisme semata. Ya....nasionalisme berlebihan.

Usai membayangkan kejadian tadi pagi, Andika kembali tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tanda prihatin atas sikap kedua tetangganya itu. Kemudian, kembali fokus menghadap laptop dan menuangkan seluruh isi yang ada dalam otaknya ke dalam bentuk tulisan.

Ketika rasa cinta terhadap negara digelorakan berlebihan hingga mematikan nalar sehat dan kewajaran, rasa cinta tersebut telah kehilangan esensinya yang sarat makna. Rasa cinta yang diungkapkan Salim dan Andre sebetulnya rapuh. Jika bersenyawa dengan kepentingan lain dan menyelinap dalam nafsu egoisme diri, boleh jadi dapat menumbuhkan gelap mata. Hal ini ujungnya akan menumbuhkan rasa cemburu buta dan kehilangan rasionalitas. Indonesia seolah miliknya sendiri, orang lain dianggap penumpang gelap.

Beruntung, nasionalisme berlebihan (Ultra nasionalisme) hanya terjadi pada sekelompok kecil, seperti Salim dan Andre. Tak dapat dibayangkan, jika rasa cinta seperti ini merasuki seluruh warga negara. Bukan tak mungkin bakal tumbuh ideologi extrem. Merasa Negeri dan bangsa sendiri paling digdaya dibanding dengan negara-negara yang ada di muka bumi. Meskipun sebenarnya ringkih dan dirundung banyak masalah.

Usai menuangkan seluruh isi otaknya. Andika kembali tersenyum, kepulan asap rokok yang dihisapnya terasa makin lebih nikmat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun