Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Maaf, Aku Tak Bisa

14 Agustus 2019   20:32 Diperbarui: 14 Agustus 2019   20:33 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SUASANA kedai kopi Sultan malam itu tidak terlalu ramai, mungkin karena hujan. Tino mengambil posisi duduknya. Ia memilih tempat duduk favoritnya, tempat duduk yang selalu ia pilih tiap mampir di kedai itu atau ngumpul dengan teman-temannya, posisi duduk di tempat pojok.
Ya, ia memilih posisi pojok kedai kopi yang kosong, tempat paling jarang dikunjungi tamu.

Seperti mau duduk di restoran mahal, Tino mulai duduk dengan perlahan, melihat suasana dari pojok tempat duduknya ke arah luar. Wartawan ini merasakan suasana tidak berubah seperti hari-hari biasanya.

"Ini bang kopinya" pelayan mengantarkan pesanan.

"Iya terima kasih" jawab Tino

"Sama-sama"

Setelah menuangkan gula dan mengaduk kopi dan menyeruput kopi, Tino tersenyum,

"Rasa ini tidak tidak berubah sama sekali, suasana dan rasa kopi ini"

Setelah meletakkan gelas kopi, Tino mengambil tas kecilnya, dan mulai membuka hape. Lallu mengecek notifikasi beberapa aplikasi medsos. Asik mengecek notifikasi dan membalas beberapa pesan masuk, tiba-tiba hapenya berdering, seseorang dengan nomor tak dikenal, mengontaknya.

"Ya, hallo"

"Ini dengan mas Tino?" Tanya si penelpon

"Iya betul. Ada perlu apa?"

"Saya Rahmat, ada hal penting yang perlu saya sampaikan. Maaf, posisi mas dimana?" Jawab seseorang yang mengaku Rahmat ini.

"Saya lagi di Kedai Sultan pak....!"

"Baiklah, saya ke sana sekarang..!" Kata Rahmat.

"Oke"

Sambil meneruskan minum kopi, hati Tino menduga-duga maksud Rahmat. Karena dia tidak pernah mengenalnya. Selang 40 menit kemudian, Rahmat sampai di Kedai Sultan dan langsung bergabung di meja Tino.

"Maaf, kalau boleh saya tahu, apa maksud kedatangan pak Rahmat?" Tanya Tino, tanpa banyak basa-basi.

Rahmat menjelaskan, bahwa ia mewakili ayahnya, seorang pengusaha Galian C (usaha eksploitasi pengerukan pasir), membujuk Tino untuk tidak menulis berita tentang pelanggaran perusahaan ayahnya, yang tak mengantongi izin dari pemerintah daerah.

"Jadi saya mohon pengertian mas Tino dan bisa bekerja sama dengan saya. Apapun permintaan mas, pasti saya kabulkan...!" Bujuk Rahmat, sambil memelas.

Tino bergeming, tetap pada pendiriannya. Tekadnya sudah bulat, membongkar kecurangan perusahaan ayah Rahmat, yang diduga kuat melibatkan pejabat negara.

"Saudara tahu, apa yang telah dilakukan ayah saudara itu merugikan keuangan pemerintah. Tak ada pajak masuk, karena usaha ayah saudara ilegal. Tak hanya itu, masyarakat sekitar pun dirugikan. Soalnya bekas galian tak di reklamasi kembali. Dan ini mengancam keselamatan penduduk" Jawab Tino tegas.

"Saya tahu mas, tapi tolonglah.." Melas Rahmat lagi, sambil menyodorkan sejumlah uang yang dibungkus amplop.

"Maaf jangan buat saya jadi orang hina. Lebih baik bawa lagi amplop ini....!" Tegas Tino

Wajah Rahmat langsung memerah. Menahan malu dan amarah. Ia berniat segera meninggalkan tempat itu, sebelum terhenti oleh suara perempuan yang menyapa keduanya.

"Kakak, Tino....! Sedang apa kalian berdua di sini?" Perempuan ini adiknya Rahmat, bernama Lestari.

Rahmat, terutama Tino kaget dengan kemunculan Lestari. Dia tak menduga, bakal bertemu perempuan ini pada situasi tidak tepat.

"Kamu juga ngapain malam-malam ke sini dan memangnya kamu kenal dengannya?" Ketus Rahmat, sambil menunjuk ke arah Tino.

"Ya kenal lah, dia kan pacarku" jawab Lestari berseri-seri.

Rahmat melongo. Tapi, tiba-tiba dalam otaknya muncul pikiran untuk memanfaatkan hubungan adiknya dengan Tino.

Sementara Tino tak enak hati. Sama sekali tak menduga, Lestari seorang anak pengusaha yang kasusnya sedang ditangani.

"Oh kebetulan kalau gitu..!" Ucap Rahmat.

"Maksud kakak?" Lestari bingung.

"Udah sekarang duduk aja dulu....!" Tandas Rahmat.

Setelah adiknya duduk satu meja, Rahmat kemudian menjelaskan keberadaannya di kedai itu bareng Tino. Mendengar itu, paras Lestari yang putih mulus berubah pucat. Lalu, menoleh ke arah Tino.

"Plisss Tin, kasihani ayahku. Jangan kau buat malu dengan pemberitaanmu. Sekali lagi plissss....!" Mohon Lestari pada pacarnya itu.

Tino tak langsung mampu menjawab. Dilematis hebat menyerang tepat ke ulu hati. Satu sisi Lestari itu pacarnya, tapi di sisi lain harus konsisten menjalankan tugas selaku sosial kontrol. Setelah melalui perang batin yang cukup hebat, wartawan politik dan hukum ini mengambil sikap tegas.

"Maaf Tar (panggilan Lestari) aku tak bisa" jawabnya lirih.

"Jadi kamu keukeuh akan memberitakan ayahku?" Tanya Lestari, sedikit cemas.

"Iya" Jawabnya singkat.

Tiba-tiba dengan nada marah, Rahmat menimpali perbincangan sejoli ini. 

"Udahlah Tar kita tinggalkan tempat ini. Percuma bicara dengan orang keras kepala"

"Bentar kak, aku masih mau ngomong dengannya...!"

"Ya udah jangan lama-lama...!" Aku tunggu kau di luar" Tandas Rahmat, bergegas meninggalkan tempat itu.

"Aku mohon sekali lagi. Batalkan niatmu itu demi aku..!" Pinta Lestari. Dijawab Tino hanya dengan gelengan kepala.

"Kamu yakin?" Tanya Lestari memastikan.

"Ya" Jawabnya sambil menganggukan kepala.

"Oke. Kalau gitu kita putus. Kau lebih peduli dengan pekerjaanmu daripada perasaanku sendiri. Bye...!" Dengan amarah, Lestari pun segera meninggalkan tempat itu.

Sejenak hati dan pikiran Tino kacau. Tak lama, pria ini sudah bisa mengendalikan perasaannya. Dia rela mengorbankan cintanya, namun tak sudi melacurkan harga diri demi sebuah rasa dan segepok rupiah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun