"Tak lelo lelo lelo ledung Cup menenga aja pijer nangis Anakku sing bagus rupane Yen nangis ndak ilang baguse
Tak gadang bisa urip mulyo. Dadiyo priyo kang utomo Ngluhurke asmane wong tuwa Dadiyo pandekaring bangsa..."
Lelaki tua itu duduk sendiri di pendopo rumah, sambil menikmati tembang yang mengalun indah. Matanya yang masih terlihat tajam, memandang kosong kearah hamparan sawah yang ada di seberang pendopo, pikirannya seperti bermain disana.
"Ndoro, silahkan diminum tehnya!". Ucapan lelaki muda itu, menyadarkan lamunannya. "Matur nuwon, teh buatan kamu memang enak sekali Wan" "Oh ya Ndoro, saya dengar kabar, cucu Ndoro sudah lahir, laki laki" Lelaki tua itu seperti mengacuhkan ucapan Wawan, dia asik menikmati secangkir teh ditangannya.
"Berapa hari ini, teh bikinanmu berbeda Wan, tak seperti biasanya. Satu hal lagi, sudah seringkali bapak katakan, jangan panggil bapak lagi dengan sebutan Ndoro, panggil saja bapak!" Lelaki muda bernama Wawan pun tersenyum, lalu pamit undur diri dari hadapan tuannya. Dan tanpa sempat melihat, ada air mata menetes di pipi tuannya.
*** Namanya Saptaman, orang orang di desa itu kerap memanggilnya eyang, ada juga yang memanggilnya dengan mbah Saptaman. Lelaki paling kaya di desa itu, dia memiliki sawah yang luas, perkebunan dan juga peternakan, dia juga menguasai perdagangan hasil bumi di desa itu dan juga desa desa sekitarnya. Lelaki tua itu hanya tinggal berdua dengan Wawan, pembantunya yang setia. Dia tidak mempunyai istri maupun anak.
Dulu memang dia mempunyai anak dan istri, namun keduanya sudah lama pergi meninggalkan lelaki itu. Para tetua di desa itu mengerti dengan apa yang pernah terjadi pada eyang Saptaman, lelaki yang di masa mudanya suka menggoda para perawan desa, lelaki yang kerap berganti istri. Istri pertamanya terpaksa pergi meninggalkan dirinya, dan membawa serta anak lelakinya. Anak lelaki yang menjadi kebanggaan lelaki tua itu. Sejak itu, dia seperti ditakdirkan untuk tidak mempunyai keturunan dari istri berikutnya. Para tetua masih ingat, saat anak itu lahir, betapa bahagia dan bangganya lelaki itu. Diadakan pesta syukuran kelahiran yang melibatkan seluruh warga desa. Dia anakku, penerusku, itu yang sering diucapkannya saat bertemu dengan penduduk desa itu.
*** Lelaki muda itu menatap seorang bayi mungil yang tengah tertidur pulas. Sesekali tangannya mengusap lembut kening sang bayi. "Mas, apa bapak sudah diberitahu tentang kabar kelahiran anak kita?" tanya istri lelaki itu. "Buat apa Nik? aku toh sudah dianggap tiada oleh bapak" ucap lelaki itu pelan dan sedih. Perempuan yang dipanggil Nunik segera memeluk suaminya. Dia sangat memahami dengan apa yang terjadi pada lelaki itu, sangat memahami. "Maaf ya mas, bukan maksud Nunik untuk membuka masa lalu kangmas"
Lalu lelaki muda itu melepaskan pelukan, kemudian meletakkan jari telunjuknya di bibir istrinya, sebagai isyarat untuk diam. Kemudian matanya melirik ke arah bayi itu, sepertinya dia tak ingin bayi yang terlelap itu terganggu. Perlahan dia tersenyum, lalu mengecup kening istrinya. "Mas keluar sebentar ya Nik, tolong jaga anak kita Raka!" ucapnya pelan, lalu lelaki itu keluar dari kamar menuju teras rumah.
**** Seorang lelaki berjalan perlahan memasuki pekarangan rumah mewah itu. Sesampainya di depan pintu, ia lalu mengetuk pintu itu. Tak lama kemudian, keluar seorang lelaki yang sebaya dengannya, lelaki yang sudah ia kenal.. "Permisi mas Wawan, apa bapak ada dirumah?" "Apa kabar mas Elang? Ndoro ada koq di dalam. Ada perlu apa?" "Hmm..anu mas, saya mau pinjam uang sama bapak, ibu saya lagi sakit!" Lalu, lelaki yang dipanggil Wawan mempersilahkan Elang untuk duduk. "Siapa yang bertamu Wan!", terdengar teriakan dari dalam rumah. "Mas Elang yang bertamu, Ndoro Putri!" ucap Wawan dengan wajah pucat. Kemudian.....
Elang terdiam dalam lamunan. Ingatannya kembali melayang ke masa silam, saat malam malam dia datang mengunjungi bapaknya. Dia ingat, bagaimana dia diusir dari rumah itu oleh perempuan yang dipanggil Wawan dengan sebutan Ndoro Putri. Kehadirannya memang tak diharapkan, upayanya untuk meminjam uangpun gagal. Dan dia masih ingat, saat dirinya mulai berjalan meninggalkan rumah itu, mas Wawan menyusul dirinya, untuk meminjamkan uang hasil kerjanya sebagai pembantu dirumah itu.