"Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh. Maka, jika aku esok mati, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa memandang wajahmu, ketika kau memandang wajahku."
***
8 Juli 2014, malam sebelum pemilihan presiden.
Malam ini aku teringat akan pertanyaan bapak, siapa tokoh dalam kisah Mahabharata yang paling hebat?.
Waktu kecil dulu, aku dengan lantang menjawab, Pandawa Lima!. Sejalan dengan waktu, jawabanku berubah saat bapak menayakan pertanyaan yang sama, dan aku menjawab, Bhisma dan Karna!. Lalu kulihat bapak hanya tersenyum mendengar jawabanku.
Selepas Isya', bapak kembali bertanya saat kami duduk berdua di teras rumah, kali ini bukan tentang Mahabharata, pertanyaan sederhana, siapa yang kamu pilih menjadi presiden besok pagi.
Sepertinya bapak tak membutuhkan jawabanku karena kudengar bapak kembali berkata, jangan pilih Sengkuni. Dan dia kembali bercerita tentang kisah yang paling aku suka, kisah Mahabharata.
Kata bapak, dalam falsafah wayang Jawa, Sengkuni bukanlah bentuk dari raga manusia, akan tetapi, Sengkuni adalah cerminan dari sifat manusia yang rakus, tamak, culas dan haus akan kekuasaan. Dia simbol yang mewakili sifat buruk manusia. Sifat Sengkuni akan selalu mengikuti napsu manusia. Bahkan manusia keturunan dewapun bisa memiliki sifat dari seorang Sengkuni bila sudah menyangkut urusan kekuasaan dan tahta.
Aku larut dalam kisah yang diceritakan bapak, walaupun kisah itu sering aku dengar, seringkali aku baca, tetapi aku tak pernah bosan. Selalu ada pemahaman baru yang dalam kisah Mahabharata yang diceritakan bapak. Bapak kembali berkisah, tentang upaya licik Sengkuni dalam permainan dadu untuk mengelabui pihak Pandawa. Pada permainan selanjutnya, Yudhistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Drupadi di meja judi (dalam versi India, Drupadi adalah istri dari kelima Pandawa).
Karena kelicikan Sengkuni, Pandawa akhirnya kalah dan harus merelakan Drupadi menjadi milik Kurawa. Seluruh dunia mengutuk dan marah atas sikap Kurawa, tetapi hanya satu orang yang mengutuk Yudhistira, orang itu adalah Drupadi.
"Seorang penjudi yang paling keji sekalipun, tidak akan mempertaruhkan istrinya di meja judi. Tetapi kau, seorang raja yang terkenal bijaksana, malah tega melakukannya"
Keinginan Yudhistira untuk meraih tahta sudah bercampur dengan napsu kekuasaan dan tanpa memperdulikan lagi cara meraihnya, sesungguhnya jiwa Sengkuni sudah masuk kedalam dirinya.
Bapak menghentikan ceritanya, kemudian meminum kopi yang ada di meja. Sejenak bapak terdiam, mungkin mengumpulkan lagi kisah yang beserakan dalam ingatannya, dan aku membiarkan bapak dalam diamnya. Tak lama, bapak kembali melanjutkan ceritanya...
Tahukah kau nak, kenapa bapak hanya tersenyum saat mendengar jawabanmu?. Aku hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan bapak.
Dengar nak! kekuasaan bisa membutakan, tapi tidak bagi Bhisma dan Karna. Bagi Bhisma, bakti kepada orangtuanya lebih berarti daripada tahta. Permintaan Setyawati agar keturunannya dengan prabu Santanu yang menjadi raja, merupakan syarat yang harus dipenuhinya. Lalu kekhawatiran Setyowati, jika kelak keturan Bhisma menuntut tahta, dijawab dengan sumpah untuk tidak menikah dan mempunyai keturunan. Tak ada hal yang terbaik, selain memberikan bakti pada prabu Santanu ayahnya, agar bisa menikahi Setyowati. Kebahagiaan ayahnya lebih berharga dibandingkan tahta. Sumpah untuk berbakti pada Astina, yang membuatnya berdiri di pihak Kurawa.