Mohon tunggu...
Sang Pamanah Rasa
Sang Pamanah Rasa Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Menulis adalah cara memintal harapan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bunga Revolusi, Tapak Reformasi, dan Keharusan Rekonsiliasi

27 Juni 2019   02:08 Diperbarui: 27 Juni 2019   03:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika revolusi dapat diartikan sebagai sebuah perubahan sosial dengan tujuan untuk berdikari sesuai kehendak diri, jauh dari kapitalisme dan imperialisme. Reformasi hanya bersinggungan dengan perubahan sistem, lebih jauh yang dimaksudkan adalah perubahan sistem kekuasaan, atau dengan kata lain menuntut Orde Baru untuk jatuh sejatuh-jatuhnya. Di era sekarang, reformasi hanya dimaknai sebagai jalan merengkuh kebebasan, karena pengalaman empiris semasa Orde Baru yang jauh dari kata bebas, baik itu bebas berpendapat, bersikap atau berserikat.

Era reformasi hanya menyiapkan antitesis dari apa yang ada di era Orde Baru, sementara konsep ideal yang lebih matang tentang bagaimana negara ini berjalan, tidak ada yang benar-benar memperhatikan. Tujuan dari reformasi jelas, menganulir kekuasaan Suharto beserta Orde Barunya. Dengan begitu, massa dan rakyat berharap ada perubahan sistem ke arah yang lebih baik, karena menganggap otak dari kesengsaraan selama Orde Baru berkuasan telah ditumbangkan.

20 tahun reformasi berlalu, Indonesia nampak berjalan limbung tanpa arah yang jelas. Kini sasaran, target bahkan pengharapan tentang bagaimana Indonesia dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaan yakni terciptanya masyarakat yang sejahtera belum mampu diwujudkan. Pun begitu dengan cita-cita Soekarno dengan diksi revolusinya yang bermaksud menganulir keberadaan kapitalisme serta imperialisme dari bumi Indonesia.

Era reformasi dewasa ini, sayup terdengar begitu gaduh suara. Kebebasan yang diagungkan sebagai sebuah nilai dari reformasi telah berjubah rupa menjadi kicauan-kicauan kepalsuan yang memperdagangkan kebenaran. Kita memasuki gua dengan gema suara di sepanjang perjalanan yang pengap. Tahun 2019 menjadi puncak, minimal tanpa memperhatikan hari esok, bahwa revolusi serta reformasi selalu bersisian dengan konflik sosial. Sebagian dari kita belum hidup sewaktu orang berlarian memekikkan kata-kata tersebut di sepanjang jalan, sebagian lagi menjadi saksi mata bahkan pelaku dari gejolak perubahan sosial tersebut.

Kita tentu tidak menginginkan Indonesia kembali dalam masa-masa kelam penuh konflik yang mengharuskan adanya darah tertumpah, bukan? Karenanya jalan panjang menyamakan persepsi, menihilkan perbedaan bahkan melenyapkan perasaan absolutisme kebenaran telah menemui momentumnya. Untuk kita yang merasakan betapa tidak nyamannya hidup dalam sekam jerami yang menusuk kiri kanan tubuh selama Pemilu 2019 kemarin, ini adalah saatnya kita bersama lagi.

Saya ingin berbicara mengenai residu dari Pemilu 2019 kemarin, terutama di agenda pemilihan presiden. Tidak ada yang mengatakan bahwa kita sedang baik-baik saja sekarang. Itu hanya kata-kata menghibur untuk menutupi ketakutan, kemarahan juga ratapan dan sebagian menutupi kesombongan. Secara tersirat kita tidak sedang baik-baik saja, demokrasi yang praktis baru kita bangun saat reformasi terwujud mulai tak bisa disikapi secara dewasa oleh beberapa pihak.

Dalam kontestasi Pemilu 2019, ada sedikit distraksi atau gangguan dari ideologi sempalan yang berharap akan mendapatkan durian runtuh saat kehendaknya terwujud. Meskipun secara eksplisit keberadaan mereka juga dipolitisasi, tetapi mereka menikmati. Kita yang kemudian dipaksa untuk terus waspada dan hati-hati dengan gerakan mereka. Kelompok ini sedang menjadi trend di dunia internasional dengan terus mendorong agar eksistensinya terpelihara. Mereka meletakkan sistem dengan menggunakan berbagai cara, salah satunya perlawanan fisik seperti yang terjadi di Iraq atau Yaman.

Di Indonesia, jika mereka memaksakan perlawanan fisik, maka dalam sekejap akan dibumihanguskan, dilenyapkan sampai ke akar-akarnya, saya meyakini itu. Bukan hanya aparat keamanan negara yang melawan, segenap rakyat Indonesia juga akan angkat senjata untuk melenyapkan mereka. Oleh karenanya mereka masuk melalui jalur yang legal, saluran yang telah disediakan oleh konstitusi RI, yakni Pemilu di 2019 ini.

Jika kemudian figur utama di negara ini, minimal mereka yang ikut kontestasi Pemilu 2019 terus memberi celah bagi keberadaan mereka, bukan tak mungkin mereka akan melakukan segala cara agar tujuannya tercapai. Termasuk melakukan perlawanan fisik. Atas kekhawatiran ini, saya perlu rasanya memberi catatan khusus kepada pelaku politik agar melakukan rekonsiliasi sedini mungkin. Bukan hanya persoalan adanya keberadaan mereka, tetapi rekonsiliasi juga penting guna menjamin stabilitas keamanan negara dari kekuatan politik, baik itu yang sudah diperhitungkan maupun yang belum mendapat perhitungan.

Rekonsiliasi juga memiliki dampak yang positif bagi energi bangsa ini ke depan. Bagaimanapun Prabowo dicatat oleh sejarah sebagai peserta Pemilu yang belum pernah mendapat kemenangan, tetapi jiwa besarnya ketika menerima kekalahan akan dijadikan judul besar ensiklopedia sejarah jika ada seorang purnawirawan TNI yang benar-benar berjiwa ksatria. Toh jika Prabowo tidak hanya mementingkan kekuasaan dan seperti apa yang dikatakannya bahwa ia melakukan segalanya untuk bangsa, maka jalur mengabdi di negara ini pasti akan terbuka lebar untuknya. Apalagi Prabowo dan Jokowi juga merupakan sahabat baik. Tentu agenda rekonsiliasi tidak akan sulit diwujudkan, persoalannya kemudian adalah orang-orang di belakang keduanya, apakah bisa menerima atau tidak.

Hari ini, sidang putusan MK akan dibacakan, hal itu juga mengartikan jika segala macam perdebatan dan perbedaan harus diakhiri. Kita harus memulai kembali menata kondisi bangsa ini menuju Indonesia sejahtera dengan segenap energi yang dimiliki. Tidak ada jalan yang baik dibanding dengan memberikan kebaikan kepada manusia lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun